BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Semua bangsa berusaha keras untuk melestarikan warisan pemikiran dan sendi-sendi kebudayaannya. Demikian juga umat Islam amat memperhatikan kelestarian risalah Nabi Muhammad SAW yang memuliakan semua umat manusia. Itu disebabkan risalah Nabi Muhammad SAW bukan sekedar risalah ilmu dan pembaharuan yang hanya diperhatikan sepanjang diterima akal dan mendapat respons manusia, tetapi di atas itu semua, ia agama yang melekat pada akal dan terpateri pada hati.Oleh sebab itu, kita dapati para pengemban petunjuk yang terdiri atas para sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya meneliti dengan cermat tempat turunnya Al-Qur’an ayat demi ayat, baik dalam waktu ataupun tempatnya. Penelitian ini merupakan pilar kuat dalam sejarah perundang-undangan yang menjadi landasan bagi para peneliti untuk mengetahui metode dakwah, macam-macam seruan, dan pentahapan dalam penetapan hokum dan perintah. Mengenai hal ini antara lain seperti dikatakan oleh Ibn Mas’ud r.a:
“Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, setiap surah Qur’an kuketahui di mana surah itu diturunkan; dan tiada satu ayat pun dari Kitab Allah kecuali pasti kuketahui mengenai apa ayat itu diturunkan. Sekiranya aku tahu ada seseorang yang lebih tahu daripadaku mengenai Kitab Allah, dan dapat kujangkau orang itu dengan untaku, pasti aku pacu untaku kepadanya.”
Dakwah menuju jalan Allah itu memerlukan metode tertentu dalam menghadapi segala kerusakan akidah, perundang-undangan, dan perilaku. Beban dakwah itu baru diwajibkan setelah benih subur tersedia baginya dan fundasi kuat telah dipersiapkan untuk membawanya. Dan asas-asas perundang-undangan dan aturan sosialnya juga baru digariskan setelah hati manusia dibersihkan dan tujuannya ditentukan, sehingga kehidupan yang teratur dapat terbentuk atas dasar bimbingan dari Allah.
Orang yang membaca Al-Qur’anul Karim akan melihat bahwa ayat-ayat Makkiyyah mengandung karakteristik yang tidak ada dalam ayat-ayat Madaniyyah, baik dalam irama maupun maknanya, sekalipun yang kedua ini didasarkan pada yang pertama dalam hukum-hukum dan perundang-undangan.
Pada zaman jahiliyyah masyarakat sedang dalam keadaan buta dan tuli, menyembah berhala, mempersekutukan Allah, mengingkari wahyu, mendustakan hari akhir dan mereka mengatakan:
“Apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang-belulang, benarkah kami akan dibangkitkan kembali?” (As-Saffat [37]:16).
“Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan yang akan membinasakan kita hanyalah waktu.” (Al-Jasiyah [45]:24).
Meraka ahli bertengkar yang sengit sekali, tukang berdebat dengan kata-kata pedas dan retorika luar biasa, sehingga wahyu Makki (yang diturunkan di Mekah) juga merupakan goncangan-goncangan yang mencekam, menyala-nyala seperti api yang memberi tanda bahaya disertai argumentasi sangat tegas dan kuat. Semua ini dapat menghancurkan keyakinan mereka pada berhala, kemudian mengajak mereka pada agama tauhid.
Dengan demikian tabir kebobrokan mereka berhasil dirobek-robek, begitu juga segala impian mereka dapat dilenyapkan dengan memberikan contoh-contoh kehidupan akhirat, surga, dan neraka yang ada di dalamnya. Mereka yang begitu fasih berbahasa dengan kebiasaan retorika tinggi, ditantang agar membuat seperti apa yang ada dalam Al-Qur’an, dengan megemukakan kisah-kisah para pendusta terdahulu sebagai pelajaran dan pembelajaran.
Demikianlah, akan kita lihat Qur’an Surah Makkiyah iu penuh dengan ungkapan-ungkapan yang kedengarannya amat keras di telinga, huruf-hurufnya seolah-olah melontarkan api ancaman dan siksaan, masing-masing sebagai penahan dan pencegah, sebagai suara pembawa malapetaka, seperti dalam Surah Qari’ah, Gasyiah, dan Waqi’ah, dengan huruf-huruf hijaiyah di permulaan Surah, dan ayat-ayat berisi tantangan di dalamnya, nasib umat-umat terdahulu, bukti-bukti alamiah dan yang dapat di terima akal. Semua ini menjadi ciri-ciri Surah Makkiyyah.
Setelah terbentuk jamaah yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab, dan Rasul-Nya, kepada hari akhir dan Qadr, baik dan buruknya, serta akidahnya telah diuji dengan berbagai cobaan dari orang musyrik dan ternyata dapat bertahan, dan dengan agamanya itu mereka berhijrah karena lebih mengutamakan apa yang ada di sisi Allah daripada kesenangan hidup duniawi.
Maka di saat itu kita melihat ayat-ayat Madaniyah yang panjang-panjang membicarakan hukum-hukum Islam serta ketentuan-ketentuannya, mengajak berjihad dan berkorban di jalan Allah kemudian menjelaskan dasar-dasar perundang-undangan, meletakkan kaidah-kaidah kemasyarakatan, menentukan hubungan pribadi, hubungan internasional dan antarbangsa. Juga menyingkapkan aib dan isi hati orang-orang munafik, berdialog dengan Ahli Kitab dan membungkam mulut mereka. Inilah ciri-ciri umum Qur’an yang Madani..
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perlu merumuskan masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini, diantaranya :
Bagaimana perhatian para Ulama terhadap ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah ?
Apa faedah mengetahui Makkiyah dan Madaniyah ?
Bagaimana pengetahuan mengenai Makkiyah dan Madaniyah ?
Bagaimana perbedaan dan ciri khas dari Makkiyah dan Madaniyah ?
Manfaat dan Tujuan Penulisan
Adapun manfaat dan tujuan dari penulisan makalah ini, diantaranya:
Untuk mengetahui tentang perhatian para Ulama terhadap ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah
Untuk mengetahui faedah mengetahui Makkiyah dan Madaniyah
Untuk mengetahui mengenai Makkiyah dan Madaniyah serta perbedaannya
Untuk mengetahui perbedaan dan ciri khas daru Makkiyah dan Madaniyah
BAB II
PEMBAHASAN
Perhatian Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Makkiyah dan MadaniyahPara ulama begitu tertarik untuk menyelidiki surah-surah Makki dan Madani. Mereka meneliti Qur’an ayat demi ayat dan surah demi surah untuk ditertibkan sesuai dengan nuzulnya, dengan memperhatikan waktu, tempat, dan pola kalimat. Bahkan lebih dari itu, mereka mengumpulkan antara waktu, tempat, dan pola kalimat. Cara demikian merupakan ketentuan cermat yang memberikan kepada peneliti objektif, gambaran mngenai penyelidikan ilmiah tentang ilmu Makki dan Madani. Dan itu pula sikap ulama’ kita dalam melakukan pembahasan-pembahasan terhadap aspek kajian Qur’an lainnya.
Memang suatu usaha besar bila seorang peneliti menyelidiki turunnya wahyu dalam segala tahapannya, mempelajari ayat-ayat Qur’an sehingga dapat menentukan waktu serta tempat turunnya, dan dengan bantuan tema surah atau ayat, merumuskan kaidah-kaidah analogis untuk menentukan apakah sebuah seruan itu termasuk Makki atau Madani, ataukah ia merupakan tema-tema yang menjadi titik tolak dakwah di Mekah atau Mandinah. Apabila sesuatu masalah masih kurang jelas bagi seorang peneliti karena terlalu banyak alsan yang berbeda-beda, maka ia kumpulkan perbandingan dan mengklasifikasikannya mana yang serupa dengan yang turun di Madinah.
Apabila ayat-ayat itu turun di suatu tempat, kemudian oleh salah seorang sahabat dibawa segera setelah diturunkan untuk disampaikan di tempat lain, maka para ulama pun akan menetapkan seperti itu. Mereka berkata: “ayat yang dibawa dari Mekah ke Madinah, dan ayat yang dibawa dari Madinah ke Mekah.”
Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi ,enyebutkan dalam kitabnya At-Tanbih ala fadli Ulumil Qur’an: “Diantara ilmu-ilmu Qur’an yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzul Qur’an dan daerahnya, urutan turunnya di Mekah dan Madinah, tentang yang diturunkan di Mekah tetapi hukumnya Madani dan sebaliknya, yang serupa dengan yang diturunkan di Mekah (Makki) tetapi termasuk Madani dan sebaliknya, dan tentang yang diturunkan di Juhfah, di Baitul Makdis, di Ta’if atau di Hudaibiyah.
Demikian juga tentang yang diturunkan di waktu malam, di waktu siang, diturunkan secara bersama-sama, atau yang diturunkan secara tersendiri, ayat-ayat Madaniah dari surah-surah Makkiyah, ayat-ayat Makkiyah dalam surah-surah Madaniyah. Para ulama sangat memperhatikan Qur’an dengan cermat.
Mereka menertibkan surah-surah sesuai dengan tempat turunnya. Mereka mengatakan misalnya: “Surah ini diturunkan setelah surah itu.” Dan bahkan lebih cermat lagi sehingga mereka membedakan antara yang diturunkan di malam hari dengan yang diturunkan di siang hari, antara yang diturunkan di musim panas engan yang diturunkan di musim dingin, dan antara yang diturunkan di waktu sedang berada di rumah dengan yang diturunkan di saat bepergian.
Yang terpenting dipelajari para ulama dalam pembahasan ini ialah yang diturunkan di Mekah, yang diturunkan di Madinah, yang diperselisihkan, ayat-ayat Makkiyah dalam surah-surah Madaniyah, ayat-ayat Madaniyah dalam surah-surah Makkiah, yang diturunkan di Mekah sedang hukumnya Madani, yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya Makki,.
Selain itu juga yang serupa dengan yang diturunkan di Mekah (Makki) dalam kelompok Madani, yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah (Madani) dalam kelompok Makki, yang dibawa dari Mekah ke Madinah, yang dibawa dari Madinah ke Mekah, yang turun di waktu malam dan di waktu siang, yang turun di musim panas dan di musim dingin, dan yang turun di waktu menetap dan dalam perjalanan.
Inilah macam-macam ilmu Qur’an yang pokok, berkisar di sekitar Makki dan Madani, oleh karenanya dinamakan “ilmu Makki dan Madani.”
Beberapa contoh:
Pendapat yang paling mendekati kebenaran tentang bilangan surah-surah Makkiyah dan Madaniyah ialah bahwa Madaniyah ada 20 surah. Sedangkan yang Makki ada 82 surah. Maka jumlah surah-surah Qur’an itu semuanya 114 surah.
Ayat-ayat Makkiyah dalam surah-surah Madaniyah. Dengan menamakan sebuah surah itu Makkiyah atau Madaniyah tidak berarti bahwa surah tersebut seluruhnya Makkiyah atau Madaniyah, sebab di dalam surah Madaniyah terkadang terdapat ayat-ayat Madaniyah, dan didalam surah Madaniyah pun terkadang terdapat ayat-ayat yang terkandung di dalam nya. Karena itu, dalam penamaan surah sering di sebutkan dalam surah itu Makkiyah kecuali ayat tertentu adalah Madaniyah, dan surah ini Madaniyah kecuali ayat tertentu adalah Makkiyah. Demikianlah, kita jumpai di dalam mushab-mushab Qur’an.
Ayat-ayat Madaniyah dalam surah Makkiyah. Misalnya surah Al-An’am. Ibn Abbas berkata: “Surah ini diturunkan sekaligus di Mekah, maka ia Makkiyah, kecuali tiga ayat diturunkan di Madinah, yaitu ayat: “Katakanlah: marilah aku bacakan...” sampai dengan tiga ayat itu selesai (al-An’am 6:151-153). Dan surah Al-Hajj adalah Makkiyah kecuali tiga ayat diturunkan di Madinah, dari awal firman Allah: “Inilah dua golongan yang bertengkar mengenai Tuhan mereka...” (Al-Hajj 22:19-21).
Ayat yang dditurunkan di Mekah sedang hukumnya Madani. Mereka memberi contoh dengan firman Allah pada Surah Al-Hujurat ayat 13. Ayat ini diturunkan di Mekah pada hari penaklukan kota Mekah, tetapi sebenarnya Madaniyah, karena diturunkan sesudah hijrah. Di samping itu seruannya itu bersifat umum. Ayat seperti ini oleh para ulama tidak dinamakan Makki dan tidak juga dinamakan Madani secara pasti. Tetapi mereka katakan “Ayat yang diturunkan di Mekah sedang hukumnya Madani.”
Ayat yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya Makki. Mereka memberi contoh dengan surah Al-Mumtahanah. Surah ini diturunkan di Madinah dilihat dari sagi tempat turunnya, tetapi seruannya di tujukan kepada orang musyrik penduduk Mekah. Juga seperti permulaan surah Al-Baraah yang diturunkan di Madinah, tetapi seruannya di tujukan kepada orang-orang musyrik penduduk Mekah.
Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Mekah (Makki) dalam Madani. Yang dimaksud oleh para ulama ialah ayat-ayat yang dalam surah Madaniyah tetapi mempunyai gaya bahasa dan ciri-ciri umum surah Makkiyah.
Yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah (Madani) dalam Makki. Yang dimaksud oleh para ulama ialah kebalikan dari yang sebelumnya. Ayat yang dibawa dari Mekah ke Madinah. Contohnya ialah surah Al-A’la.
Yang dibawa dari Madinah ke Mekah. Contohnya ialah awal surah Al-Baqarah, yaitu ketika Rasulullah memerintahkan kepada Abu Bakar untuk berhaji pada tahun kesembilan. Ketika awal surah Al-Baqarah turun, Rasul memerintahkan Ali Bin Abu Talib untuk membawa ayat tersebut kepada Abu Bakar, agar ia disampaikan kepada kaum musyrikin. Maka Abu Bakar membacakannya kepada mereka dan mengumumkan bahwa setelah tahun ini tidak seorang musyrikin pun diperbolehkan berhaji.
Ayat yang turun pada malam hari dan pada siang hari. Kebanyakan ayat Qur’an itu turun pada siang hari. Mengenai yang diturunkan pada malam hari Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib An-Naisaburi telah menelitinya. Dia memberikan beberapa contoh, diantaranya: bagian-bagian akhir surah Ali-‘Imran. Ibn Hibban dalam kitab Sahih-nya, Ibnul Munzir, Ibn Mardawaih dan Ibn Abud Dunya, meriwayatkan dari Aisya r.a.
Yang turun dimusim panas dan musim dingin. Para ulama memberi contoh ayat yang turun dimusim panas dengan ayat tentang kalalah yang terdapat diakhir surah An-Nisa’. Dalam sahih muslim, dari umar dikemukakan, yang artinya:
“Tidak ada yang sering kutanyakan kepada Rasulullah tentang sesuatu seperti
pertanyaan ku mengenai kalalah. Dan ia pun tidak pernah bersikap kasar tentang sesuatu urusan seperti sikapnya kepada ku mengenai soal kalalah ini, sampai-sampai ia menekan dadaku dengan jarinya sambil berkata: “Umar, belum cukupkah bagimu satu ayat yang diturunkan pada musim panas yang terdapat di akhir surat An-Nisa’ ?”.
Yang turun diwaktu menetap dan yang turun didalam pejalanan. Kebanyakan dari Qur’an itu turun diwaktu menetap. Tetapi peri kehidupan Rasulullah penuh dengan jihad dan peperangan di jalan Allah, sehingga wahyu pun turun juga dalam perjalanan tersebut. Diantaranya ialah awal surah Al-Anfal yang turun di Badar setelah selesai perang, sebagai mana diriwayatkan oleh Ahmad melalui Sa’ad bin Abi Waqqas. Dan ayat:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya dijalan Allah...” (At-Taubah [9]:34).
Diriwayatkan oleh Ahmad melalui Sauban, bahwa ayat tersebut turun ketika Rasulullah dalam salah satu perjalanan.
Faedah Mengetahui Makkiyah dan Madaniyah
Faedah mengetahui surat Makkiyah dan Madaniyah adalah:
Bukti ketinggian bahasa Al-Qur’an. Sebab di dalamnya Allah mengajak berbicara setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan menyampaikan yang keras maupun yang lembut.
Sebagai pelaksanaan syariat islam secara bertahap. Sebab Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur sesuai keadaan dan kesiapan umat di dalam menerima dan melaksanakan syariat yang di turunkan.
Sebagai pendidikan para dai untuk mengikuti metode al-qur’an dalam tata cara penyampaian tema, yaitu memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai kondisi.
Pembedaan antara nasikh dengan mansukh. Kalau ada dua ayat yaitu Madaniyah dan Makkiyah yang keduanya memenuhi naskh, maka ayat Madaniyah menjadi nasikh, sebab ayat Madaniyah datang setelah ayat Makkiyah.
Pengetahuan Mengenai Makkiyah dan Madaniyah
Untuk mengetahui dan menentukan Makki dan Madani para ulama bersandar pada dua cara utama; sima’I naqli (pendengaran seperti apa adanya) dan qiyasi ijtihadi (kias hasil ijtihad). Cara pertama didasarkan pada riwayat shahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu; atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, di mana, dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu.
Sebagian besar penentuan Makki dan Madani itu didasarkan pada cara pertama ini. Dan contoh-contoh di atas merupakan bukti paling baik baginya. Penjelasan tentang penentuan tersebut telah memenuhi kitab-kitab tafsir bil-ma’sur, kitab-kitab asbabun nuzul dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu-ilmu Qur’an. Namun demikian, tentang hal tersebut tidak terdapat sedikitpun keterangan Rasulullah, karena ia tidak termasuk suatu kewajiban, kecuali dalam batas yang dapat membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh.
Qadi Abu Bakar Ibnut Tayyib al-Baqalani dalam al-Intisar menegaskan: “ Pengetahuan tentang Makki dan Madani itu mengacu pada hafalan para sahabat dan tabi’in. tidak ada suatu keterangan pun yang datang dari Rasulullah mengenai hal itu, sebab ia tidak diperintahkan untuk itu, dan Allah tidak menjadikan ilmu pengetahuan mengenai hal itu sebagai kewajiban umat. Bahkan sekalipun sebagian pengetahuannya dan pengetahuan menganai sejarah nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak harus diperoleh melalui nas dari Rasulullah.
Cara qi yasi ijtihadi didasarkan pada ciri-ciri Makki dan Madani. Apabila dalam surah Makki terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Madani atau mengandung peristiwa Madani, maka dikatakan bahwa itu ayat Madani. Dan apabila dalam surah Madani terdapat terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Makki atau peristiwa Makki, maka ayat tadi dikatakan sebagai ayat Makki.
Bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri Makki, maka surah itu dinamakan surah Makki. Demikian pula bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri Madani, maka surah tersebut dinamakan surah Madani. Inilah yang disebut dengan qiyas ijtihadi. Oleh karena itu, para ahli mengatakan: “Setiap surah yang didalamnya mengandung kewajiban atau ketentuan, surah itu adalah Madani, dan begitu seterusnya.”
Ja’bari mengatakan, “Untuk mengetahui Makki dan Madani ada dua cara: sima’I (pendengaran) dan qiyasi (kias).” Sudah tentu sima’I pegangannya berita pendengaran, sedangkan qiyasi berpegang pada penalaran. Baik pendengaran maupun penalaran, keduanya merupakan metode pengetahuan yang valid dan metode ilmiah.
Perbedaan dan Ciri Khas dari Makkiyah dan Madaniyah
Perbedaan antara Makkiyah dan Madaniyah
Untuk membedakan Makki dan Madani, para ulama’ mempunyai tiga macam pandangan yang masing-masing mempunyai dasarnya sendiri. Pertama: Dari segi waktu turunnya. Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan di Mekah. Madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di Madinah. Yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun di Mekah atau Arafah, adalah Madani, seperti yang diturunkan pada tahun penaklukan kota Mekah, misalnya firman Allah pada Q.S An-Nisa’ ayat 58 sebagai berikut:
Artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampikan amanat kepada yang berhak…”.
Ayat ini diturunkan di Mekah, dalam Ka’bah pada tahun penaklukan Mekah; atau yang diturunkan pada haji Wada’, seperti firman Allah dalam Q.S Al-Maidah ayat 3 sebagai berikut:
Artinya “ Hari ini telah Kusempurnakanuntukmu agamamu, telah Kucukupkan agamamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridai Islam menjadi agama bagi agamamu”.
Pendapat ini lebik dari kedua pendapat berikut, karena ia lebih memberikan kepastian dan konsisten.
Kedua: Dari segi tempat turunnya. Makki ialah yang turun di Mekah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Kuba, dan Sil’. Pendapat ini mengakibatkan tidak adanya pembagian secara konkrit yang mendua, sebab yang turun dalam perjalanan, di Tabuk atau di Baitul Maqdis tidak termasuk ke dalam salah satu baginya, sehinnga ia tidak dinamakan Makki dan tidak juga Madani. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan di Mekah sesudah hijrah disebut Makki.
Ketiga. Dari segi sasarannya. Makki adalah seruannya ditujukan kepada penduduk Mekah dan Madani adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Madinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa ayat Qur’an yangmengandung seruan ya ayyuhan nas (wahai manusia) adalah Makki; sedang ayat yang mengandung seruan ya ayyuhal ladzina amanu ( wahai orang-orang yang beriman) adalah Madani.
Namun melalui pengamatan cermat, nampak bagi kita bahwa kebanyakan surah Qur’an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan itu. Dan ketentuan demikian pun tidak konsisten. Misalnya, surah Baqarah itu Madani, tetapi di dalamnya terdapat ayat:
“Wahai manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu da orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah [2:21])
Dan Surah an-Nisa’ itu Madani, tetapi permualaannya”ya ayyuhan nas.” Surah al-Hajj, Makki, tetapi di dalamnya terdapat juga:
“Wahai orang-orang yng berimn, rukulah kam, sujudlah kamu dan beribadahlah kepada Tuhanmu serta perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan.” (al-Hajj [22]:77).
Al-Qur’anul Karim adalah seruan Ilahi terhadap semua makhluk. Ia dapat saja menyeru orang yang beriman denga sifat, nama atau jenisnya. Begitu pula orang yang tidak beriman dapt diperintah untuk beribadah, sebagaimana orang yang beriman diperintahkan konsisten dan menambah ibadahnya.
Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan Makki dan Madani, perhatikan tabel berikut:
No.
Perbedaan
Makki
Madani
1.
Waktu turunnya
diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan di Mekah
diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di Madinah
2.
Tempat turunnya
turun di Mekah dan sekitarnya
turun di Madinah dan sekitarnya
3.
Sasarannya
ditujukan kepada penduduk Mekah
ditujukan kepada penduduk Madinah
Ciri Khas dari Makkiyah dan Madaniyah
Para ulama telah meneliti surah-surah Makki dan Madani; dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dari ciri-ciri tersebut.
Ketentuan Makki dan Ciri Khas Temanya
Setiap surah yang di dalamnya mengandung “sajdah” maka surah itu Makki.
Setiap surah yang mengandung lafal kalla,berarti Makki. Lafal ini hanya terdapat dapat separuh terakhir dari Qur’an dan disebutkan sebanyak 33 kali dalam 15 surah.
Setiap surah yang menganding ya ayyuhan nas dan tidak mengandung ya ayyuhal lazina amanu, berarti Makki, kecuali pada surah al-Hajj pada akhir surah terdapat ya ayyuhal lazina amanur-ka’u wasjudhu. Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makki.
Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makki, kecuali surah Baqarah.
Setiap surah yang dibuka dengan hufuh-huruf singkatan, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra’, Ha Mim, dan lain-lainnya, adalah Makki, kecuali surah Baqarah dan Ali ‘Imran. Sedangkan surah Ra’d masih diperselisihkan.
Ini adalah dari segi ketentuan, sedangkan dari segi tema dan gaya bahasa dapat diringkas sebagai berikut:
Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang-orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan menggunakan ayat-ayat kauniah.
Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara dzalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.
Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka; dan sebagai hiburan buat Rasulullah sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat dengan menggunakan lafal-lafal sumpah; seperti surah-surah yang pendek, dan perkecualiannya hanya sedikit.
Ketentuan Madani dan Ciri Khas Temanya
Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madani.
Setiap surah yang di dalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah Madani, kecuali surah al-Ankabut adalah Makki.
Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan Ahli Kitab adalah Madani.
Ini dari segi ketentuan, sedangkan dari segi ciri khas tema dan gaya bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut:
Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik diwaktu damai maupun perang, kaidah hukum dan perundang-undangan.
Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada meraka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu dating kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.
Menyingkap perilaku orang munafik, mengalisis kejiwaannya, membuka kedoknya, dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
BAB III
PENUTUP
SimpulanKita dapat menyimpulkan bahwa ayat-ayat dan surah-surah dalam Al-Qur’an terdiri dari Makkiyyah dan Madaniyah, yang mana ayat-ayat Makkiyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an turun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, yang turun di Mekah dan sekitarnya, dan ditujukan kepada orang-orang Mekah.Sedangkan ayat-ayat Madaniyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang turun setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, yang turun ke Madinah, dan ditujukan kepada orang-orang Madinah.
Kita dapat mengetahui ayat-ayat dan surah-surah dalam Al-Qur’an tersebut termasuk Makkiyyah atau Madaniyah dengan melihat ciri-cirinya, isi kandungan ayatnya, waktu dan tempat diturunkannya, dan ditujukan kepada siapa ayat itu diturunkan. Dengan mempelajari Makki dan Madani ini dapat membantu kita dalam menafsirkan Al-Qur’an, sebagai pedoman untuk berdakwah, dan memberi informasi mengenai sirah kenabian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar