Rabu, 06 Maret 2019

Makalah Filsafat Ilmu Ontologi

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setiap manusia yang berakal sehat pasti memiliki pengetahuan, baik berupa fakta, konsep, prinsip, maupun prosedur tentang suatu objek. Pengetahuan dapat dimiliki berkat adanya pengalaman atau melalui interaksi antar manusia dan lingkungannya.
Filsafat merupakan cara berfikir yang kompleks, suatu pandangan atau teori yang sering tidak bertujuan praktis, tetapi teoritis. Filsafat selalu memandang sebab-sebab terdalam, tercapai dengan akal budi murni. Filsafat membantu untuk mendalami pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas dan ruang lingkupnya yang dapat dipelajari secara sistematik dan historis.
Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik bersifat abstrak ataupun riil meliputi tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga untuk faham betul semua masalah filsafat sangantlah sulit tanpa adanya pemetaan-pemetaan dan mungkin kita hanya bisa menguasai sebagian dari luasnya ruang lingkup filsafat.
Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau bagian yaitu; epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita memperoleh pengetahuan, ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang hakikat segala sesuatu yang melahirkan pengetahuan dan aksiologi atau teori nilai yang membahas tentang guna pengetahuan. Sehingga, mempelajari ketiga cabang tersebut sangatlah penting dalam memahami filsafah yang begitu luas ruang lingkup dan pembahasannya.
Ketiga teori di atas sebenarnya sama-sama membahas tentang hakikat, hanya saja berangkat dari hal yang berbeda dan tujuan yang beda pula. Epistemologi sebagai teori pengetahuan membahas tentang bagaimana mendapat pengetahuan, bagaimana kita bisa tahu dan dapat membedakan dengan yang lain. Ontologi membahas tentang apa objek yang kita kaji, bagaimana wujudnya yang haakiki dan hubungannya dengan daya pikir. Sedangkan aksiologi sebagai teori nilai membahas tentang pengetahuan kita akan pengetahuan di atas, klasifikasi, tujuan dan perkembangannya.
Akan tetapi, untuk sekarang ini penulis akan menitik-beratkan pembahasannya kepada masalah ontologi yang mana membahas tentang apa objek yang kita kaji, bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan daya pikir.

Justifikasi Masalah
Bagaimana definisi ontologi?
Apa saja objek yang ada dalam ontologi?
Apa saja aliran yang ada dalam ontologi?






























BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Ontologi
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia ontology diartikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup. Kata ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi, ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada pada ilmu. Dalam Kamus Webster, ontologi diartikan dengan the branch of metaphysics dealing with the nature of being, reality, or ultimate substance (ontologi yaitu cabang metafisika yang berhubungan dengan hakikat yang ada, realitas atau substansi asal).
Dan selanjutnya dikatakan Muhadjir, pengertian ontologi menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani, yaitu ontos = being atau ada, dan logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Atau bisa juga disebut sebagai ilmu tentang yang ada atau keberadaan itu sendiri. Maksudnya, satu pemikiran filsafat selalu diandaikan berasal dari kenyataan tertentu yang bersifat ada atau yang sejauh bisa diadakan oleh kegiatan manusia.
Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumatri menyebut ontologi sebagai hakikat yang dikaji. Maksudnya adalah pengkajian mengenai hakikat realitas dari objek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan. Lebih lanjut, dalam buku Pengantar Ilmu dalam Perspektif, ontologi dimaknai dengan membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Amsal Bakhtiar dalam buku Filsafat Agama ontology, ontologi adalah teori atau ilmu tentang wujud, hakikat yang ada. Ontologi tidak banyak berdasarkan pada alam nyata, tetapi berdasarkan pada logika semata-mata.
Sementara itu, secara terminologis dalam kajian filsafat, terdapat sejumlah pengertian umum tentang ontologi yakni :
Pertama, studi tentang ciri-ciri esensial dari Yang Ada dalam dirinya sendiri yang berada dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari Yang Ada dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti : “Apa itu Ada dalam dirinya sendiri?” “Apa hakikat Ada sebagai Ada?”
Kedua, cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada/menjadi, aktualitas/ potensialitas, nyata/tampak, perubahan waktu, eksistensi/ noneksistensi, esensi, keniscayaan, yang ada sebagai yang ada, ketergantungan pada diri sendiri, hal mencakup diri sendiri, hal-hal terakhir, dasar.
Ketiga, cabang filsafat yang mencoba
Melukiskan hakikat Ada yang terakhir (Yang satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna)
Menunjukkan bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya
Menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu.
Keempat, cabang filsafat
Yang melontarkan pertanyaan “apa arti ada, BERADA? (Pertanyaaan yang sama dilontarkan tentang kategori-kategori atau konsep-konsep lain yang digunakan dalam pengertian kedua, dan
Yang menganalisis bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan Ada, Berada.
Kelima, cabang filsafat yang
Menyelidiki status realitas suatu hal (misalnya, “ Apakah objek pencerapan atau persepsi kita nyata atau bersifat ilusi (menipu)?”, “Apakah bilangan itu nyata?”, “Apakah pikiran itu nyata?”,
Menyelidiki jenis realitas yang di miliki hal-hal (misalnya. Apa jenis realitas yang dimiliki bilangan? Persepsi?, Pikiran?”), dan
Yang menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas dan atau ilusi (misalnya, “Apakah realitas atau ciri ilusif suatu pikiran atau objek tergantung pada pikiran kita, atau pada suatu sumber eksternal yang independen?”).
Argumen ontologi ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348) dengan teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk tiap-tiap yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun yang sudah mati. Idea kuda itu adalah paham, gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua mana pun di dunia ini.
Demikian pula manusia punya idea. Idea manusia menurut Plato adalah “badan hidup” yang kita kenal dan dapat berfikir. Dengan kata lain, idea manusia adalah “binatang berfikir”. Konsep binatang berfikir ini bersifat universal, berlaku untuk seluruh manusia besar-kecil, tua-muda, lelaki-perempuan, manusia Eropa, Asia, India, Cina, dan sebagainya. Tiap-tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah yang merupakan hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea-idea itu berada di balik yang nyata dan idea itulah yang abadi. Benda-benda yang kita lihat atau yang dapat ditangkap dengan panca indra senantiasa berubah. Karena itu, ia “bukanlah hakikat”, tetapi hanya “bayangan”, “kopi” atau “gambaran” dari idea-ideanya. Dengan kata lain, benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indra ini hanyalah khayal dan ilusi belaka.
Argumen antologi kedua dimajukan oleh St. Augustine (354-430). Menurut Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini terdapat kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahui apa yang benar, tetapi terkadang pula merasa ragu-ragu bahwa apa yang diketahuinya itu adalah suatu kebenaran. Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu kebenaran tetap (kebenaran yang tidak berubah-ubah), dan itulah yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya untuk mengetahui apa yang benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran yang mutlak. Kebenaran mutlak inilah oleh Augustine disebut Tuhan. 
Hakikat kenyataan atau realitas memang dapat didekati ontologi melalui dua macam sudut pandang :
Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki nilai tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, dan bunga mawar yang beraroma harum.
Berikut ini beberapa istilah yang terdapat dalam bidang ontologi ialah, yang-ada (being), kenyataan (reality), eksistensi(existence), perubahan (change), tunggal (one), dan jamak (many). Pertama-tama akan dibahas adalah isi atau makna yang dikandung oleh istilah-istilah tersebut, termasuk di dalamnya sejumlah pernyataan yang menggunakan istilah-istilah tadi.
Ada dan Nyata
Kajian ontologi antara ada dan nyata mempunyai pengertian yang tidak sama karena yang ada tidak harus nyata, tetapi yang nyata pasti ada. Tipe-tipe ada pertama, adalah ada yang konkret yang bisa dilihat, diraba, dirasa, ditimbang dan diukur sehingga dengan jelas dapat ditentukan wujudnya seperti gunung, samudra, kursi, sapi dan sebagainya. Kedua, adalah ada yang abstrak yang tidak bisa dilihat dengan penglihatan abstrak pula melalui kacamata konsep seperti tentang keberadan Pencipta segala sesuatu yang ada. Sementara itu, yang nyata merupakan bagian dari yang ada yakni ada yang faktual yang bersifat dinamis.
Kenampakan dan Ketampakan
Kenampakan sebagai kenampakan adalah bersifat nyata, sedangkan yang tampak demikian itulah yang tidak nyata. Misalnya, sebuah contoh yang menggambarkan ada seseorang yang mengira bahwa ia melihat gajah berwarna jingga. Ilusinya itu sendiri bersifat nyata, karena membawa pengaruh tertentu terhadap pola tingkah laku orang yang bersangkutan, tetapi barangnya sendiri, yaitu gajah yang berwarna jingga, itulah yang tiada nyata.
Esensi dan Eksistensi
Dalam setiap yang ada, baik yang nyata maupun yang tidak nyata selalu ada dua sisi di dalamnya, yaitu sisi esensi dan sisi eksistensi. Bagi yang ghaib, sisi yang nampak adalah eksistensi, sedangkan bagi yang ada yang konkret, sisi yang nampak bisa kedua – duanya, yaitu esensi dan eksistensi. Dalam kehidupan manusia, yang terpenting adalah eksistensinya, seperti kayu akan lebih bermakna ketika sebuah kayu mempunyai eksistensinya sebagai meja kursi. Eksistensi berada pada hubungan – hubungan yang bersifat konkret, baik vertikal maupun horizontal dan bersifat aktual dan eksistensi juga berorientasi pada masa kini dan masa depan, sedangkan esensi adalah kemasalaluan.
Substansi
Substansi dapat ditafsirkan sebagai ’yang membentuk sesuatu,’ atau yang pada dasarnya merupakan sesuatu atau dapat disempitkan menjadi itu. Pembahasan mengenai substansi akan selalu terkait dengan esensi (essence).
Esensi ialah hakekat barang sesuatu. Setiap substansi mengandung pengertian esensi;tetapi tidak setiap esensi mengandung pengertian substansi. Aristoteles menunjukan bahwa substansi dapat dikatakan merupakan sesuatu yang di dalamnya terwujud esensi. Substansi dipandang sebagai sesuatu yang adanya terdapat di dalam dirinya sendiri.
Jika kita memperhatikan secarik kertas, kertas tersebut mempunyai kulitas-kualitas yang tertentu, namun kertas tadi tidak nampak seperti kualitas-kualitas itu. Jika bangun kertas tersebut diubah, kertas tadi tetap merupakan kertas. Karena itu yang dinamakan kertas bukanlah bangunnya, atau warnanya, atau sesuatu kualitasnya yang lain yang dapat ditangkap oleh indera.Yang dinamakan kertas ialah substansinya, yaitu kertas.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar arau paling dalam dari segala seauatu yang ada. Sedangkan metafisika khusu masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusu membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalang cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusiaa. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
Objek Ontologi
Objek Ontologi sama halnya dengan objek filsafat yakni,
Pertama, objek formal, yaitu objek formal ontologi sebagai hakikat seluruh realitas. Objek formal ini yaitu cara memandang yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek materialnya. Objek formal dari suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dengan bidang yang lain. Satu objek formal dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda.
Kedua, objek material, yaitu sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencakup hal konkret, misalnya manusia, tumbuhan, batu atau hal-hal yang abstrak seperti ide, nilai-nilai, dan kerohanian.
Aliran – Aliran Ontologi
Beberapa aliran ontologi terkenal berupaya menjelaskan haakikat realitas antara lain : monisme, dualisme, pluralisme, materialisme, idealisme, nihilisme, dan agnotisisme. Itulah aliran-aliran yang umumnya diuraikan ketika membahas ontologi. Namun, karena ontologi juga berbicara tentang realitas supranatural, maka tulisan ini akan menghadirkan pula aliran mistisisme dalam menjelaskan realitas supranatural tersebut.
Monisme
Istilah monisme berasal dari bahasa Yunani monos yang berarti tunggal atau sendiri. Dari istilah tersebut, terdapat beberapa pengertian tentang monisme
Teori yang menyatakan bahwa segala hal dalam alam semesta dapat dijabarkan pada (atau dijelaskan dalam kerangka) kegiatan satu unsur dasariah. Misalnya, Allah, materi, pikiran, energi, bentuk
Teori yang menyatakan bahwa segala hal berasal dari saatu sumber terakhir tunggal
Keyakinan bahwa realitas adalah satu, dan segala sesuatu lainnya adalah ilusi. Berbeda dengan dualisme dan pluralisme dan
Ajaran yang mempertahankan bahwa dasar pokok seluruh eksistensi adalah satu sumber.
Jadi monisme berpandangan bahwa realitas secara mendasar adalah satu dari segi proses, struktur, substansi, atau landasaannya. Secara historis monisme pertama kali digulirkan oleh permenides, filsuf yunani abad ke-6 SM. Permenides menganggap panca indra kita bersifat menipu dan berbagai bentuk benda indrawi yang kita saksikan sejatinya hanya ilusi, “The only true being”, kata permenides, is the one, which infinite and invisible, “satu-satunya eksistensi yang sejati adalah ‘Yang Tunggal’, yakni yang tak terbatas dan tak terbagi-bagi”. Bagi permenides, hanya ada sebuah wujud tunggal yang memukimi semua keberadaan-keberadaan dan wujud tunggal tersebut tidak akan pernah tersentuh perubahan.
Dualisme
Istilah dualisme berasal dari bahasa latin, dualis yang berarti bersifat dua. Jika monisme berpandangan bahwa hanya ada satu substansi yang tidak tersentuh perubahan dan bersifat abadi, maka dualisme justru berpandangan bahwa ada dua substansi dalam kehidupan ini.
Aliran ini berpandangan bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumber segala sesuatu, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari benda. Keduanya merupakan substansi yang bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan alam ini. Contoh yang jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia. Dengan kata lain faham dualisme ini merupakan sintesis atau jalan tengah antara faham idealisme dan materialisme.
Penganut pahan dualisme ini diantaranya adalah Descartes (1596-1650), spinoza (1632-1677), dan leibniz (1646-1716).
Pluralisme
Istilah pluralisme berakar pada kata dalam bahasa latin pluralis yang berarti jamak atau plural. Aliran ini menganggap bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Aliran pluralisme secara umum dicirikan oleh keyakinan-keyakinan berikut :
Pertama, realitas fundamental bersifat jamak, berbeda dengan dualisme (yang menyatakan bahwa realitas fundamental ada dua) dan monisme (yang menyatakan bahwa realitas fundamental hanya satu).
Kedua, ada banyak tingkatan hal-hal dalam alam semesta yang terpisah, yang tidak dapat direduksi, dan pada dirinya independen.
Ketiga, alam semesta pada dasarnya tidak tertentukan dalam bentuk, tidak memiliki kesatuan atau kontinuitas harmonis yang mendasar, tidak ada tatanan koheren dan rasional fundamental.
Dalam sejarah filsafat yunani klasik, ide pluralisme bisa dilacak pada pemikiran filosofis anaxagoras dan empedokles. Ketika berbicara tentang alam semesta, empedokles menyatakan bahwa alam jagat raya yang kita saksikan ini terdiri dari empat unsur atau akar, yaitu tanah, udara, api, dan air. Dalam konsep filosofis empedokles, masing-masing unsur tersebut bersifat abadi, tetapi unsur-unsur itu bisa saling berbaur dengan ukuran yang berbeda-beda dan dengan demikian menghasilkan berbagai ragam zat yang terus berubah sebagaimana kita temukan di dunia ini.
Jostein Gaarder dalam dunia sophie, menguraikan da memberi ilustrasi yang cukup menarik tentang pemikiran pluralisme empedokles. Semua proses alam disebabkan oleh menyatu atau terpisahnya keempat unsur ini. Sebab semua benda merupakan campuran  dari tanah, udara, api, dan air, namun dalam proporsi yang beragam. Jika sebatang bunga dan seekor binatang mati, katanya, keempat unsur itu terpisah lagi. Kita dapat mengamati perubahan-perubahan ini dengan mata telanjang. Namun, tanah dan udara, api dan air tetap abadi, “tak tersentuh” oleh semua campuran di mana mereka menjadi bagiannya.
Maka tidak benar jika dikatakn bahwa “segala sesuatu” berubah. Pada dasarnya,tidak ada yang berubah. Yang terjadi adalah bahwa keempat unsur itu bergabung dan terpisah untuk menjadi bergabung lagi. Kita dapat membuat perbandingan dengan lukisan. Jika seorang pelukis hanya mempunyai satu warna merah misalnya, dia tidak dapat melukis pohon yang hijau. Namun, jika dia mempunyai warna kuning, merah, biru, dan hitam, dia dapat melukis ratusan warna yang berbeda sebab dia dapat mencampurkan warna-warna itu dalam takaran yang berlainan.
Pemaparan empedokles tentang unsur-unsur alam semesta yang bersifat pluralistik membuat anaxagoras tertarik, namun ia tidak puas dengan solusi yang ditawarkan empedokles bahwa unsur-unsur alam semesta hanya berpijak pada empat hal tersebut. Anaxagoras ingin membawanya lebih jauh. Setelah melakukan kajian secara seksama, anaxagoras mencapai kesimpulan bahwa terdapat lebih dari empat unsur yang membentuk alam semesta.
Bagi anaxagoras terdapat jutaan unsur bahkan substansi yang tak terhitung jumlahnya. Substansi-substansi yang begitu banyak ini terbagi dalam serpihan-serpihan unsur terkecil yang juga tidak terhitung jumlahnya..gumpalan daging merupakan hasil dari jutaan unsur daging yang menyatu dalam satu tempat. Tulang merupakan hasil dari jutaan unsur tulang-belulang yang menyatu. Demikian juga dengan alam semesta yang berasal dari beragm  unsur-unsur yang tak terkira banyaknya dan akhirnya membentuk wajah alam semesta seperti yang kita saksikan saat ini.
Materialisme
Materialisme menolak hal-hal yang tidak kelihatan. Aliran ini sering disebut naturalisme. Baginya, yang ada sesungguhnya adalah keberadaan yang semata-mata bersifat material atau sama sekali tergantung pada material. Jadi realitas yang sesungguhnya adalah lambang kebendaan dan segala sesuatu yang mengatasi alam kebendaan. Dengan kata lain materiaisme memandang bahwa hakikat yaang ada hanyalah materi atau zat/benda (fisika). M
Sedangkan ruh, jiwa dan tuhan yang bersifat immaterial (metafisika) dipandang tidak ada karena bukan merupakan kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa atau ruh hanyalah merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu. Sidi Gazalba menyebut materialisme dengan faham serba zat yang berpandangan bahwa hakikat kenyataan yang serba ragam dan serba rupa ini adalah zat atau materi. Oleh sebab itu seluruh realitas hanya mungkin dijelaskan secara materialistis. Pendapat ini didukung oleh Leukippos dan Demokritos (460-370), Thomas Hobes (1058-1679), Ludwig Andreas Feurbach.
Idealisme
Idealisme adalah lawan dari materialisme yang dinamakan spiritualisme. Materialisme berasal dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam ini semuanya berasal dari ruh, yaitu sesuatu yang tidak terbentuk dan tidak menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari daripada penjelmaan ruhani. Sidi Gazalba menyebutnya dengan faham serba ruh yang berpandangan bahwa hakikat yang ada atau kenyataan adalah roh atau jiwa. Roh bersifat gaib (immateri), bentuk wujud atau keber “ada” annya tidak dapat ditangkap oleh panca indraa.
Teori ini mengajarkan bahwa ada yang sesungguhya berada di dunia ide. Sedangkan segala sessuatu yang tampak dan terwujud nyata dalam alam inderawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya, yang berada di dunia idea. Tokoh yang menganut faham ini di antaranya adalah Plato, Barkeley, Hegel, Immanuel Kant dan lain-lain.
Nihilisme
Istilah nihilisme berasal dari bahasa Yunani yang berarti nothing atau tidak ada. Pengertian nihilisme dapat dirinci dalam bebreapa poin berikut ini:
Penyangkalan mutlak. Dalam konteks ini nihilisme berarti titik pandang yang menolak ideal posistif mana pun.
Dalam epistemologi, penyangkalan terhadap setiap dasar kebenaran yang objektif dan real.
Teori bahwatidak ada yang dapat diketahui. Semua pengetahuan adalah ilusi, tidak bermanfaat, tidak berarti, relatif (nisbi) dan tidak bermakna.
Tidak ada pengetahuan yang mungkin.
Keadaan psikologisdan filosofis di mana tidak ada nilai etis, religius, politis, sosial.
Penyangkalan skeptis terhadap semua yag dianggap sebagai real/tidak real, pengetahuan/kekeliruan, ada/tiada, ilusi/nonilusi, penyangkalan terhadap nilai dari semua pembedaan.
Secara umum, nihilisme berarti pandangan bahwa keberadaan dan hidup di dunia sama sekali tidak berarti dan sama sekali tidak bermanfaat. Dalam raangka kemasyarakatan, nihilisme berarti kepercayaan dan ajaran bahwa keadaan masyarakat sudah demikian buruk dan tak tertolong lagi sehingga lebih baik dihancurkan saja. Tujuan penghancuran adalah agar hancur demi kehancuran sendiri. Karena menurut mereka, bagi masyarakat dengan keadaan semacam itu, program dan usaha perbaikan atau pembangunan apa pun tak mungkin mengubahnya menjadi lebih baik.
Istilah nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, terbukti dalam pandangan Grogias (483-360 SM) yang memberikan tiga proporsi tentang realitas :
Tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada.
Bila sesuatu itu ada, maka hal itu tidak dapat diketahui karena disebabkan oleh pengindraan itu tidak dapat dipercaya, pengindraan itu sumber ilusi.
Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, hal itu tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Secara filosofis, nihilisme berkeyakinan bahwa yang ada itu tidak ada, dan bila ada, tidak dapat diketahui. Dari keyakinan ini, nihilisme juga menyangkal adanya kebenaran apa pun, dan bila ada, menurutnya juga tak dapat dibuktikan. Dari pendirian filosofis itu lahirlah nihilisme etis. Sebagai pandangan, pendirian, atau paham etis, nihilisme berfikir bahwa kebenaran etis itu tidak ada. Karena itu, nilai etis pun tidak ada. Segala nilai etis tradisional yang diakui dan diikuti kebanyakan orang sama sekali tak ada dasarya, apalagi nilai etis yang baru atau edang dipikirkan. Karena itu, tidak ada norma dan kriteria etis yang dapat dipergunakan sebagai dasar pemikiran maupun patokan untuk menilai apa pun secara etis.
Alhasil, menurut nihilisme etis, tak ada perbuatan baik dan buruk. Yang ada paling-paling perbuatan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, berguna dan tak berguna menurut penilaian masing-masing orang, terserah apa norma dan kriterianya. Tentu saja pandangan nihilisme memiliki sejumlah kesalahan fatal, sebab dalam setiap aspek kehidupan menusia pasti mempunyai makna, nilai, dan tujuan-tujuan ideal yang dibungkus dalam norma-norma etis atau moral. Tujuannya tidak lain, agar terwujudnya kelestarian eksistensi hidup manusia sekaligus meraih kebahagiaan hidup.
Agnotisisme
Istilah agnotisisme berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu a yang berarti bukan ‘bukan’, ‘tidak’, dan gnostikos yang berarti ‘orang yang mengetahui atau mempunyai pengetahuan tentang’. Secara global, terdapat beberapa pengertian mengenai agnotisisme, yaitu :
Keyakinan bahwa kita tidak dapat memeliki pengetahuan tentang tuhan. Atau keyakinan bahwa mustahil untuk membuktikan ada atau tidak adanya tuhan.
Kadang-kadang digunakan untuk menunjuk pada penangguhan putusan tentang beberapa jenis pengetahuan. Misalnya pengetahuan tentang jiwa, kebakaan, roh-roh, neraka, kehidupan di luar bumi.
Keyakinan atau ketidakmampuan untuk memahami atau memperoleh pengertian, terutama pengertian tuhan dan tentang asas-asas pokok agama dan filsafat.
Ajaran yang secara keseluruhan atau sebagian menyangkal kemungkinan untuk mengetahui alam semesta.
Dari berbagai pengertian di atas, secara umum agnotisisme paling tidak terbagi dalam dua wacana besar.
Pertama, paham yang berhubungan dengan wacana ketuhanan. Agnotisisme di sini mengklaim bahwa manusia tidak pernah mampu untuk mengetahui hakikat eksistensi tuhan. Sehingga manusia tidak akan pernah memberi kepastian apakah eksistensi tuhan itu ada atau tidak. Hal ini disebabkan pada faktor kelemahan diri manusia sendiri dalam mencandra keberadaan tuhan.
Kedua, paham yang berhubungan dengan realitas segala sesuatu. Dalam hal ini, agnotisisme menyatakan bahwa manusia tidak mungkin mampu mengetahui hakikat sesuatu yang berada di balik realiats. Alam semesta dengan segala pernak-perniknya tidak akan pernah terkuak hakikat pengertiannya oleh manusia. Pasalnya, menurut agnotisisme, pengetahuan manusia sangat terbatas, sehingga tidak mungkin manusia bisa mengetahui esensi segala sesuatu atau realitas semesta, baik melalui panca indranya maupun melalui kapasitas penalarannya.
Eksistensi tuhan (mistisisme)
Dalam pembahasan ontologi, biasanya wacana mistisisme sangat jarang dibahas, kalau enggan mengatakan tidak pernah didiskusikan. Wacana ontologi secara garis besar hanya berkutat pada persoalan sains dan filsafat saja, tanpa mendiskusikan persoalan-persoalan mistisisme. Padahal kalau dilihat dari pengertian ontologi seacar luas, yang mencakup eksistensi yang nyata sekaligus sumber eksistensi yang berada di balik nyata, maka idealnya eksistensi abstrak yang berada di balik fenomena faktual mesti dibahas pula.
Akan tetapi, dalam perkembangan wacana-wacana filsafat ilmu kontemporer, pembahasan mistisisme dimasukkan dalam salah satu cakupan persoalan ontologi. Ahmad Tafsir dengan karyanya filsafat ilmu merupakan salah satu contoh demonstratif bagaimana wacana mistisisme dengan beragam aspeknya termasuk dalam cakupan pembahasan ontologi.
Salah satu realitas fundmental yang diperbincangkan dalam wacana mistisisme adalah eksistensi Tuhan sebagai realitas tertinggi yang menjadi sumber bagi eksisitensi segala sesuatu. Jika keberadaan segala sesuatu apa pun itu meniscayakan katerkaitan dan ketergantungan dengan segala sesuatu  yang lain, maka eksistensi tuhan justru bersifat independen secara mutlak. Eksistensi Tuhan malah menjadi tempat bergantung bagi segala sesuatu dalam kebereksistensian mereka.
Namun, tidak seperti wacana aliran-aliran ontologi yang eksistensinya bisa dipahami melalui fakultas indrawi dan nalar semata, eksistensi Tuhan memang tidak memadai jika hanya di dekati dengan kemampuan indrawi dan penalaran saja. Dalam menyingkap eksistensi Tuhan, dibutuhkan piranti yang lain yakni hati dan intuisi yang dalam bahasa agama Islam pengolahan hati tersebut harus melalui jalan, riyadhoh (latihan spiritual) dan tazkiyatun nafs (proses pensucianhati). Pengetahuan mengenai eksistensi Tuhan melalui metode latihan spiritual dan keyakinan inilah yang dinamakan sebagai pengetahuan mistik (mystical knowledge).






















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut bahasa, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata on/ontos artinya ada dan logos artinya ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada pada ilmu. Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada.
Objek ontologi terbagi menjadi dua, Pertama, objek formal, yaitu objek formal ontologi sebagai hakikat seluruh realitas. Objek formal ini yaitu cara memandang yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek materialnya.
Kedua, objek material, yaitu sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencakup hal konkret, misalnya manusia, tumbuhan, batu atau hal-hal yang abstrak seperti ide, nilai-nilai, dan kerohanian.
Aliran-aliran yang ada pada ontologi yaitu monisme, dualisme, pluralisme, materialisme, idealisme, nihilisme, agnotisisme serta mistisisme.












Daftar Pustaka
Adib, Mohammad. 2015. Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Zaprulkhan, Zaprulkhan. 2015. Filsafat Ilmu; Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jamin, Ahmad, dkk. 2016. Filsafat Ilmu; Telaah Pengetahuan, Ilmu, Sain dalam Studi Islam. Bandung: Alfabeta.
Jalaluddin, Jalaluddin. 2013. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Blogushuluddin.blogspot.com/2016/04/ filsafat-ilmu-ontologi.html diakses pada tanggal 7 Februari 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar