Jumat, 26 Juli 2019

Makalah Wakaf Tunai dalam Perspektif Al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Wakaf merupakan salah satu tuntunan ajaran agama Islam yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dalam rangka ibadah itjima’iyah (ibadah sosial). Karena wakaf adalah ibadah, maka tujuan utamanya adalah pengabdian kepada Allah SWT dan ikhlas karena mencari ridho-Nya. Wakaf dilaksanakan dengan lillahi ta’ala. Perbuatan tersebut murni dilandasi oleh rasa iman dan ikhlas semata-mata pengabdian kepada Allah SWT.
Kata wakaf yang sudah menjadi Bahasa Indonesia itu berasal dari kata kerja Bahasa Arab Waqafa (Fi’il Madhi), Yaqifu (Fi’il Mudhari) dan Waqfan (Isim Masdhar) yang secara etimologi (Lughah, bahasa) berarti berhenti, berdiri, berdiam di tempat, atau menahan. Ketika diutarakan kata “Wakaf” maka kerap sekali kata-kata itu diarahkan kepada suatu benda yang tidak bisa bergerak, seperti waqaf tanah, bangunan, pohon untuk diambil manfaatnya, dan lain sebagainya.
Wakaf adalah berarti menahan harta seseorang, baik hati tersebut sebagai benda tidak bergerak seperti tanah maupun benda bergerak seperti uang (wakaf tunai) untuk diambil manfaat nya, baik untuk kepentingan ibadah seperti masjid maupun untuk membantu fskir miskin dan lain-lain.
Rumusan Masalah
Apa itu wakaf?
Bagaimana konsep dari wakaf tunai?
Bagaimana wakaf tunai dalam perspektif Al-Quran?
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini ditujukan untuk para pembaca agar memahami pengertian dari wakaf, memahami tentang wakaf tunai, serta mengetahui bagaimana perspektif Al-quran dalam wakaf tunai.

BAB II
 PEMBAHASAN
Pengertian Wakaf

Kata wakaf yang sudah menjadi Bahasa Indonesia itu berasal dari kata kerja Bahasa Arab Waqafa (Fi’il Madhi), Yaqifu (Fi’il Mudhari) dan Waqfan (Isim Masdhar) yang secara etimologi (Lughah, bahasa) berarti berhenti, berdiri, berdiam di tempat, atau menahan. Ketika diutarakan kata “Wakaf” maka kerap sekali kata-kata itu diarahkan kepada suatu benda yang tidak bisa bergerak, seperti wakaf tanah, bangunan, pohon untuk diambil manfaatnya, dan lain sebagainya.
Secara bahasa kata Wakaf berarti Habs yang artinya menahan. Hal ini sebagaimana perkataan seorang Waqafa Yaqifu Waqfan, artinya Habasa Yahbisu Habsan. Sedangkan secara syara’ yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.
Kata Waqafa Yaqifu Waqfan, sama artinya dengan Habasa Yahbisu Habsan. Dan kata Al-Waqf dalam bahasa arab mengandung beberapa pengertian, Yaitu:
Artinya : “Menahan, Menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindah milikkan”.
Dalam peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (Tahbisul Ashli), lalu menjadikan manfaatnya itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.
Definisi wakaf yang di kemukakan Madzhab Hanafi, yaitu menahan benda Wakif (orang yang berwakaf) dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebaikan. Mewakafkan harta bukan berarti meninggalkan hak milik secara mutlak. Dengan demikian, wakif boleh saja menarik wakafnya kembali kapan saja dikehendakinya dan boleh diperjual belikannya.
Menurut Mazhab Maliki, yaitu menjadikan manfaat harta wakif, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diberikan kepada yang berhak secara berjangka waktu sesuai kehendak wakif. Memperlihatkan pendapat Mazhab Maliki di sebutkan bahwa kepemilikan harta tetap pada wakif dan masa berlakunya wakaf tidak untuk selama-lamanya kecuali untuk waktu tertentu menurut keinginan wakif yang telah di tentukannya sendiri.
Menurut Mazhab Syafi’i yaitu menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang tersebut hilang kepemilikannya dari wakif, serta dimanfaatkan pada sesuatu yang di bolehkan. Dikemukakan di atas menampakkan ketegasan terhadap status kepemilikan harta wakaf. Apabila wakaf dinyatakan sah, maka kepemilikan pun beralih dari pemilik harta yang diwakafkan menjadi milik umat, bukan lagi milik orang yang mewakafkan.
Menurut Mazhab Hambali, yaitu menahan secara mutlak kebebasan pemilik harta dalam menjalankan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan seluruh hak penguasaan terhadap harta, sedangkan manfaat harta adalah untuk kebaikan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Apabila suatu wakaf sudah sah berarti hilanglah kepemilikan wakif terhadap harta yang diwakafkannya.
Seperti yang terjadi pada pemahaman kebanyakan masyarakat, bahwa wakaf itu hanya dapat dilakukan dalam bentuk benda yang tidak bergerak. Seperti orang mewakafkan tanah untuk kepentingan sekolah atau madrasah.
Akhir-akhir ini muncul pembahasan tentang wakaf dalam bentuk barang yang bergerak yang mana kebanyakan orang menyebut dengan Wakaf Tunai atau Cash Waqf. Masyarakat muslim khususnya yang ada di Indonesia masih banyak yang belum memahami apa yang dimaksud dengan wakaf tunai dan bagaimana masyarakat dapat melakukan wakaf tersebut.
Untuk dapat memahami tentang wacana yang berkembang dalam hukum islam maka sehendaknya masyarakat turut mengikuti perkembangan dari pada hukum itu sendiri, masyarakat hendaknya senantiasa menambah wawasan baru yang selalu dibahas dalam forum-forum tertentu.
Untuk menambah pengetahuan dari pada penulis dan serta memberikan sosialisasi terhadap masyarakat maka dalam makalah ini penulis akan membahas tentang apa yan dimaksud dengan wakaf tunai, dasar hukum dari pada wakaf tunai, strategi pengelolaan wakaf tunai, serta peluang dan hambatannya tak lupa hikmah dari pengelolaan dan pemberdayaan wakaf tunai.
Konsep Wakaf Tunai

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum b Islam di Indonesia pada buku III, Hukum Perwakafan pasal 215, maka Wakaf adalah: “Perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memindahkan sebagian dari miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum sesuai dengan ajaran Islam.
Sedangkan dalam buku UU RI No. 41 tahan 2004 tentang Wakaf pada Bab I diterangkan pengertian wakaf adalah “Perbuatan hukum wakb  if untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagaian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang wakaf tersebut baik secara bahasa maupun istilah, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum atau kelompok atau kelompok orang yang menyisihkan sebagaian dari harta miliknya untuk diambil hasilnya atau dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Merujuk pada pengertian wakaf tersebut dapat dipahami bahwa bentuk benda yang dapat diwakafkan dapat berupa apa saja asalkan dapat diambil manfaatnya bagi kepentingan mensejahterakan orang banyak. Akan tetapi di kalangan masyarakat wakaf yang sangat popular adalah masih terbatas pada persoalan tanah dan bangunan yang diperuntukan untuk tempat ibadah.
Dewasa ini ada wakaf bentuk baru yang berbentuk tunai atau Cash, yang biasa disebut dengan wakaf tuani atau Cash waqf yang ditawarkan oleh Prof. MA Mannan, Ahli Teori ekonomi dari Bangladesh. Yang dimaksud dengan wakaf tuani adalah benda bergerak yang manfaatnya untuk kepentingan pendidikan, riset, rumah sakit, pemberdaya dan lain-lain.
Pada tulisan kali ini, penulis sedikit akan mengulas soal hukum wakaf tunai. Banyak pihak di kalangan Nahdliyin yang menjadikan persoalan ini sebagai wacana baru di bidang kajian fiqih, khususnya di kalangan Mazhab Syafi’i. Namun, seiring didirikannya Bank Wakaf Mikro di Pondok Pesantren Nawawi Tanara, Serang, Banten yang diasuh oleh Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin, maka persoalan hukum menarik untuk diungkap kembali. Hal ini disebabkan, NU merupakan organisasi yang memayungi jamaah terbesar di Indonesia yang berhaluan fiqih Syafiiyah. Bagaimanakah sebenarnya hukum wakaf tunai tersebut?
Wakaf Tunai di Indonesia secara umum diatur di dalam UU No. 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 yang berisi Pedoman Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004. Di dalam aturan ini dijelaskan bahwa seorang wakif (pewakaf) dapat melakukan wakaf tunai dengan dibayarkan pada lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri. Sifat pembayarannya adalah fleksibel dan bisa dilakukan sewaktu-waktu. Keberadaan aturan ini secara tidak langsung memberikan payung hukum bagi masyarakat menengah ke bawah, di dalam melakukan wakaf tanpa harus menunggu kaya. Hal ini disebabkan di dalam pelaksanaannya, wakaf tunai dijaring melalui proses transfer uang ke sejumlah rekening tertentu sesuai dengan besaran nominal keuangan yang diinginkan oleh wakif.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa berkenaan dengan wakaf tunai yang menyatakan bahwa (1) wakaf uang (cash wakaf atau waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, (2) termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga, (3) wakaf uang hukumnya boleh (jawaz),  (4) wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i dan (5) nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.

Wakaf Tunai menurut Perspektif Alquran

Allah subhânahu wata‘âlâ berfirman di dalam kitab suci Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 261-262:
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih bijian yang menumbuhkan tujuh bulir, yang pada tiap-tiap tandannya berbuah 100 biji-bijian. Allah akan melipat gandakan (pahala) bagi orang yang dikehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261).
Di dalam ayat selanjutnya Allah subhânahu wata‘âlâ berfirman:
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُون
Artinya: Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah kemudian tidak mengiringi nafkahnya itu dengan mengundat-ngundat dan tidak pula menyakiti, maka bagi mereka adalah pahala di sisi Tuhan-nya. Tiada ketakutan bagi mereka serta tiada merasa sedih.” (QS. Al-Baqarah: 262).
Kedua ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah subhânahu wata‘âlâ adalah ibarat menanam kebajikan, yang kelak kebajikan itu pasti berbuah dengan kebajikan lainnya. Buah kebajikan yang paling diharapkan adalah pahala dari Allah. Kedua ayat ini setidaknya dapat dijadikan dasar, bahwa apa yang diinfaqkan oleh seorang hamba, baik itu berupa wakaf, zakat, shadaqah, nafaqah, sumbangan suka rela dan lain sebagainya, asal diniatkan di jalan Allah subhânahu wata‘âlâ, maka tiada kesia-siasaan atas infaqnya tersebut. Infaq bisa batal dari sisi kajian fiqih, namun ia tidak akan pernah batal di sisi pahala jariyahnya.
Meskipun pelaksanaan wakaf tunai ini sudah mendapatkan payung hukum, bagi warga NU, kebijakan pembolehan wakaf tunai ini masih menyisakan kendala problem fiqih. Hal ini berangkat dari bunyi teks kajian turats sendiri yang selama ini dijadikan pedoman acuan hukum fiqih bagi masyarakat. Bunyi teks turats menyebutkan bahwa wakaf didefinisikan sebagai:
الوقف شرعا حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف في رقبته على مصرف مباح وجهة
Artinya: “Wakaf secara syara’ bermakna menahan (habsu) suatu aset manfaat bersama tetapnya wujud aset (baqâu ‘ainihi) dengan memutus jalan tasharuf dari tanggungan pewakaf untuk suatu tujuan dan jalur yang mubah (mauqûf ‘alaih).” (Abu Bakar bin Muhammad Shatha’, I’ânatuth Thâlibîn, Dâru Ihyâi al-Kutub al-Arabiyyah, Juz 3, halaman 186)
Syarat dari bidang wakaf yang diperbolehkan dalam kitab yang sama, yaitu:
وشرط الموقوف عليه إن كان معينا، إمكان تملكه للموقوف حال الوقف عليه، فلا يصح الوقف على جنين، لعدم صحة تملكه، ولا وقف عبد مسلم أو مصحف على كافر
Artinya: “Syarat bidang wakaf adalah jika keberadannya tidak fiktif (mu’ayyan), bisa memegang/menguasai (tamalluk) barang yang diwakafkan ketika wakaf tersebut diserahkan. Oleh karenanya, tidak sah wakaf atas janin, karena ketiadaan memegang/menguasainya. Dan tidak sah wakaf atas seorang hamba Muslim atau mushaf yang diserahkan atas orang kafir.” (Abu Bakar bin Muhammad Shatha’, I’ânatuth Thâlibîn, Dâru Ihyâi al-Kutub al-Arabiyyah, Juz 3, halaman 186).
Syarat barang yang diwakafkan adalah sebagai berikut:
وشرط الموقوف أن يكون عينا معينة مملوكة، إلى آخر ما سيأتي
Artinya: “Adapun syarat dari aset yang bisa diwakafkan adalah apabila berupa aset wujud yang bisa dikuasakan kepada orang lain sebagaimana akan dijelaskan mendatang.” (Abu Bakar bin Muhammad Shatha’, I’ânatuth Thâlibîn, Dâru Ihyâi al-Kutub al-Arabiyyah, Juz 3, halaman 186).
Syarat shighat wakaf adalah sebagai berikut:
وشرط الصيغة، لفظ يشعر بالمراد صريحا: كوقفت، وسبلت، وحبست كذا على كذا، وكناية: كحرمت، وأبدت هذا للفقراء، وكتصدقت به على الفقراء، ويشترط فيها عدم التعليق، فلو قال إذا جاء رأس الشهر فقد وقفت كذا على الفقراء، لم يصح، وعدم التأقيت: فلو قال وقفت كذا على الفقراء سنة، لم يصح
Artinya: “Syarat shighat wakaf adalah memuat lafadh yang bisa dirasakan maksudnya secara jelas (shârih), seperti lafadh: Aku wakafkan, Aku serahkan penyalurannya, atau aku tahan seperti ini untuk maksud seperti ini. Atau menggunakan lafadh kiasan: Aku haramkan (atas diriku), Aku tetapkan sepenuhnya selemanya barang ini untuk kaum fakir. Disyaratkan dalam shighat ketiadaan penggantungan. Maka apabila seorng pewaqif berkata: “Ketika ra’su al-shah.

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Thabrany, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
نية المؤمن خير من عمله وعمل المنافق خير من نيته
Artinya: “Niat seorang mukmin adalah lebih baik dari amalnya. Sementara niatnya orang munafik adalah lebih baik dibanding niatnya.” (Yahya bin Hamzah al-Yamany, kitab Tashfiyatul Qulûb min Idrânil Auzâr wadz Dzunûb, Al-Muassisah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, halaman 338).
Hadits ini mendapatkan syarah dari Imam Yahya bin Hamzah al-Yamany di dalam kitab yang sama, beliau menyebutkan bahwasanya:
1) Sebuah amal tidak akan ada nilai dan pengaruhnya sama sekali bila tidak disertai dengan niat
2) Niat seorang mukmin sudah dihitung kebaikan setimbang dengan amalnya. Niat orang fasiq (rusak agama dan aqidahnya) juga demikian halnya, dihitung sebagai keburukan setimbang dengan amalnya. Oleh karenanya, tidak ada yang lebih utama antara amal ataukah niat. Keduanya menduduki posisi kebaikan bagi mukmin dan menduduki keburukan bagi seorang fasiq.
3) Niat seorang mukmin akan selalu dinilai sebagai kebaikan meskipun amalnya rusak (batal, red). Amal rusak bisa disebabkan karena ada unsur riya’ atau kurang memenuhi syaratnya amal.
Berangkat dari statement yang disampaikan oleh Imam Yahya bin Hamzah al-Yamany di atas, maka melanjutkan dari kajian sebelumnya, bahwa andaikan wakaf tunai dianggap sebagai tidak sah secara fiqih, pahala amal dari pewakaf tidak akan pernah sia-sia di hadapan Allah subhânahu wata‘âlâ, disebabkan niat awal pewakaf akan senantiasa dicatat sebagai kebaikan oleh Allah subhânahu wata‘âlâ. Dengan demikian, dari sisi adab tasawuf, tidak ada wujud batalnya pahala disebabkan tidak sahnya amal dari sisi fiqih, kecuali bila menyangkut rukun terpisah dan saling bergantungan antara satu sama lain. Misalnya seperti wudlu dengan shalat. Bila tidak sah wudlu, maka tidak sah shalatnya seorang muslim. Namun, tidak sahnya salat tidak menghilangkan pahala dari qiraah di dalamnya, selagi orang yang membaca tidak sedang hadats besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar