Jumat, 26 Juli 2019

Makalah Konsep Riba dan Bunga Bank Perspektif Al-Qur'an

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang
Islam mengajarkan kepada umatnya agar tolong menolong, salah satu contohnya adalah dalam bentuk peminjaman uang. Namun pemberian pinjaman itu jangan sampai merugikan dan menyengsarakan orang lain. contoh peminjaman yang merugikan adalah sistem riba yang mengandung unsur kelebihan dan tambahan tanpa ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang yang melakukan transaksi/akad. Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang.
Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya, timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba. Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi.
Rumusan Masalah
Apa definisi riba dan bunga?
Bagaimana tinjauan historis riba dan bunga?
Bagaimana pandangan Al-qur’an terhadap riba dan bunga?
Tujuan Penulisan
Mengetahui definisi riba dan bunga
Dapat memahami tinjauan historis riba dan bunga
Dapat memahami pandangan Al-qur’an terhadap riba dan bunga
BAB II PEMBAHASAN

Pengertian Riba dan Bunga
Pengertian Riba
Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan pinjaman sat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok pengambilan tambahan atau modal secara batil. Ada bebrapa pendapat dalam menjelaskan riba, tetapi secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam islam.
Riba dalam agama islam
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Sehingga mendorong maraknya perbankan syariah yang konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bungan bank termasuk  ke dalam riba.
Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang
Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang. Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.
Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.
Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.
Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.
Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.
Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang
Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan.
Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.
Pengertian Bunga
Bunga merupakan terjemahan dari kata “interest” yang berarti tanggungan pinjaman uang atau persentase dari uang yang dipinjamkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bunga adalah imbalan jasa penggunaan uang atau modal yang dibayar pada waktu tertentu berdasarkan ketentuan atau kesepakatan, umumnya dinyatakan sebagai persentase dari modal pokok.
Bunga bank juga dapat didefinisikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank dengan prinsip konvensional kepada nasabah yang melakukan transaksi simpan atau pinjam kepada bank. Ada berbagai macam jenis bunga bank, misalnya bunga deposito, bunga tabungan, giro, dan lain-lain.



Berdasarkan metodenya, bunga bank dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
Bunga Simpanan
Bunga simpanan merupakan bunga yang diberikan oleh bank kepada nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Pemberian bunga ini didasarkan pada porsentase dari simpanan pokok, dimana sumber bunganya berasal dari keuntungan utang-piutang yang dilakukan pihak bank.
Bunga Pinjaman
Bunga pinjaman adalah bunga yang diberikan kepada nasabah yang melakukan peminjaman uang di bank, dimana nantinya nasabah harus membayar melebihi jumlah pinjaman pokok dengan batasan waktu tertentu.
Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tabel Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
Bunga
Bagi Hasil

Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi

Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh

Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
Tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak

Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan

Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Riba
Dalam konteks peminjaman dapat di misalkan, si A memberikan pinjaman uang kepada si B dengan mempersyaratkan si B akan mengembalikan pinjaman tersebut dengan tambahan yang berupa uang atau barang . Tambahan (ziyadah)  atas pinjaman tersebut yang dinamakan riba. Dalam konteks perdaganganpun riba bisa muncul seperti perdagangan yang bersifat pertukaran atau barter (muqayadlah). Si A melakukan barter dengan si B berupa 1 kg beras dengan 1,5 kg beras. Si A mempersyaratkan agar beras si B harus lebih banyak 0,5 kg dari beras si A. Tambahan atau selisih antara keduanya itulah yang disebut riba. Riba yang pertama dalam konteks hukum islam disebut riba  nasi’ah dan yang kedua dinamakan riba fadl .

Tinjauan Historis Riba dan Bunga
Tinjauan Historis Riba
Riba dikenal pada masa peradaban Farao di Mesir, peradaban Sumeria, Babilonia dan Asyuriya di Irak, dan peradaban Ibrani Yahudi.Termaktub dalam perjanjian lama bahwa diharamkan Yahudi mengambil riba dari orang Yahudi, namun dibolehkan orang Yahudi mengambil riba dari orang diluar Yahudi.
Tidak dapat dipastikan kebenaran perkiraan di atas kecuali keberadaan riba pada peradaban Yahudi. Karena Alqur’an menjelaskan bahwa Bani Israil (umat Nabi Musa AS) melakukan riba dan Allah-pun telah melarang mereka memakan riba. Allah berfirman,
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.“ (QS. An Nisaa: 160-161)
Kemudian umat Yahudi memperkenalkan riba kepada bangsa arab di Semenanjung Arabia, tepatnya di kota Thaif dan Yatsrib (kemudian dikenal dengan Madinah). Di dua kota ini Yahudi berhasil meraup keuntungan yang tak terhingga, sampai-sampai orang-orang Arab jahiliyah menggadaikan anak, istri dan diri mereka sendiri sebagai jaminan utang riba. Bila mereka tidak mampu melunasi utang maka jaminan mereka dijadikan budak Yahudi. Dari kota Thaif praktik riba menjalar ke kota Makkah dan dipraktikkan oleh para bangsawan kaum Quraisy jahiliyah. Maka riba marak di kota Makkah. Sebagaimana yang kita ketahui dalam khutbah Rasulullah di Arafah pada haji wada’ beliau bersabda,
“Riba jahiliyah telah dihapuskan. Riba pertama yang kuhapuskan adalah riba Abbas bin Abdul Muthalib, sesungguhnya riba telah dihapuskan seluruhnya”. (HR. Muslim)
Bentuk-bentuk Riba yang dilakukan orang-orang jahiliyah:
Seseorang memberikan pinjaman 10 keping uang emas selama waktu yang ditentukan dengan syarat nanti dibayar sebanyak 11 keping uang emas.
Seseorang meminjamkan 10 keping uang emas, bila jatuh tempo pelunasan dan ia (peminjam) belum mampu membayar, ia mengatakan, “Beri saya masa tangguh, nanti piutang anda akan saya tambah”.
Seseorang memberikan pinjaman modal usaha 100 keping uang emas. Setiap bulannya ia mendapat bunga 2 keping uang emas. Bila telah sampai masa yang ditentukan, si peminjam harus mengembalikan modal utuh sebanyak 100 keping uang emas. Jika ia telat melunasi, maka ia harus membayar denda keterlambatan yang terkadang rasionya lebih besar dari pada bunga bulanan.
Seseorang membeli barang dengan cara tidak tunai. Bila ia belum melunasi hutang pada saat jatuh tempo maka ia harus membayar denda keterlambatan selain melunasi hutang pokok.
Tinjauan Historis Bunga
Ulama saat ini sesungguhnya telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali konferensi, muktamar, simposium dan seminar, para ahli ekonomi Islam dunia, Chapra menemukan terwujudnya ksepakatan para ulama tentang bunga bank. Artinya tak satupun para pakar yang ahli ekonomi yang mengatakan bunga syubhat atau boleh. Ijma’nya ulama tentang hukum bunga bank dikemukakan Umer Chapra dalam buku The Future of Islamic Economic, (2000). Semua mereka mengecam dan mengharamkan bunga, baik konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena bungan telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai negara. Krisis ekonomi dunia yang menyengsarakan banyak negara yang terjadi sejak tahun 1930 s/d 2000, adalah bukti paling nyata dari dampak sistem bunga.
Menurut Hosen dan Hasan Ali (PKES, 2008:12) beberapa alasan mengapa bunga menjadi dilarang dalam Islam, diantaranya addalah:
Bunga(interest) sebagai biaya produksi yang telah ditetapkan sebelumnya cenderung menghalangi terjadinya lapangan kerja penuh (full employment)
Krisis-krisis moneter internasional terutama disebabkan oleh institusi yang memberlakukan bunga. Siklus-siklus bisnis dalam kadar tertentu dinisbahkan kepada fenomena bunga
Teori ekonomi modern yang berbasis bunga ini belum mampu memberikan justifikasi terhadap eksistensi bunga
Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan fatwa tentang bunga bank (interest/fa’idah), yaitu:
Bunga (interest atau fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al qaradh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan atau hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan presentase
Riba adalah tamabahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya.
Pandangan Al-qur’an Terhadap Riba dan Bunga
Hal paling mendasar dari pengembangan sistem lembaga keuangan syariah adalah adanya pelarangan riba dan dan pengembangan transaksi syariah. Dalam hal ini instrumen bunga yang dikembangkan dalam ekonomi konvensional dan sebagai satu-satunya parameter dalam sistem keuangannya merupakan hal yang bertolak belakangan sama sekali dengan ekonomi Islam. Hal ini bukan saja karena secara normatif adanya pelarangan yang tegas dalam Al Qur’an, tetapi sistem bunga dalam realitasnya adalah riba yang mengandung aspek kezaliman berupa  adanya eksploitasi satu pihak terhadap pihak lain. Keadilan ekonomi dan keseimbangan sosial seperti yang dipaparkan di atas tidak dapat terwujud ketika sistem berbasis bunga masih terus dipraktikkan.
Secara normatif, keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadist Rasululloh Saw. Di dalam Al Qur’an, para musafir mengatakan bahwa proses keharaman riba disyariatkan Alloh secara bertahap, yaitu :
Tahap pertama, Alloh menunjukkan bahwa riba bersifat negatif. Pertanyaaan ini disampaikan Alloh dalam surat Al Rum (30):39
         
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Alloh. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Alloh, maka (yang berbuat demikian) itulah orag-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Ayat ini merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba. Menurut para musafir, ayat ini termasuk ayat Makiyah (ayat-ayat yang diturunkan pada periode Makkah). Akan tetapi, para ulama sepakat menyatakan bahwa ayat ini tidak berbicara tentag riba yang diharamkan.
Tahap kedua, Alloh telah memberi isyarat tentang keharaman riba melalui kecaman terhadap praktik riba di kalangan masyarakat Yahudi. Hal ini disampaikan-Nya dalam surat Al-Nisa’ (4): 161 yang berbunyi:

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Tahap ketiga, Alloh mengaramkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas. Hal ini disampaikan oleh  Alloh dalam surat Ali Imran (3) :130 yang berbunyi :

“Hai orang-orang  yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipatganda dan bertakwalah kamu kepada Alloh supaya kamu mendapat kebenruntungan.”
Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukan merupakan syarat dari terjadinya riba tetapi merupakan sifat/karakteristik dari praktik membungakan uang saat itu. Dalam hal ini, ath-Thabari, menjelaskan bahwa adh’afan mudha’afah dapat terjadi juga atas permintaan perpanjangan waktu saat utang jatuh tempo dan salah satu pihak yang berutang akan memberi kelebihan ataupun pemberi piutang itu sendiri meminta kelebihan atas piutangnya (ath-Thabari, 1954: 90). Dengan demikian, bunga dalam jumlah besar berlipat ganda atau kecil sekalipun tetap merupakan riba. Demikian pula ayat ini juga perlu dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat Al-Baqarah.
Tahap keempat, Alloh mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya. Hal ini disampaikan melalui firmanNya dalam surat Al-Baqarah (2) : 275-278. Dalam ayat 275 Allah menyatakan bahwa jual-beli sangat berbeda dengan riba, dalam ayat 276 Allah menyatakan memusnahkan riba :

Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adlah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padhal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adlah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya(275). Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa (276)”.
Dan terakhir dalam surat Al-Baqarah ayat 278 yang berbunyi :



Artinya : “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman”.
Pada tahap terakhir ini Allah memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada. Keharaman riba secara total ini, menurut para pakar fikih, terjadi pada akhir abad kedelapan atau awal abad ke9 Hijriah.
Alasan keharaman riba juga dijelaskan dalam sunnah Rasulullah Saw. Diantaranya sabda Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah yang menjelaskan bahwa Allah melaknat orang yang memakan dan memberi makan dengan cara riba, menuliskan dan menyaksikan pencatatan riba.
Allah secara jelas telah memberikan penjelasan dalam Al-Qur’an maupun Sunnah tentang pelarangan riba pada segala bentuk transaksi bisnis. Selain adanya unsur penambahan riba juga menimbulkan adanya kezaliman pada salah satu pihak.
Dalam ilmu fiqih, dikenal tiga jenis riba, yaitu :
Riba Fadh
Riba Fadh disebut juga riba buyu’, yaitu timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa’an bi sawa’in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran semisal ini mengandung gharar, yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain. Contoh berikut ini akan memperjelas adanya gharar.
Kaum Yahudi berusaha membeli perhiasannya yang terbuat dari emas dan perak yang menjadi harta rampasan perang kaum muslimin, dengan uang yang terbuat dari emas (baca: dinar) dan uang yang terbuat dari perak (baca:dirham). Jadi, yang akan terjadi sebenarnya bukan jual-beli, tetapi pertukaran barang yang sejenis. Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak. Perhiasan perak seberat satu ‘uqiyah dijual oleh kaum muslimin seharga dua sampai tiga dirham. Padahal satu ‘uqiyah perak setara dengan 40 dirham (nilai uang perak). Jadi muncul ketidakjelasan (gharar) akan nilai perhiasan perak dan nilai uang perak (dirham).
Dalam perbankan konvensional, riba fadh dapat ditemui dalam transaksi jual-beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai (spot).
Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah disebut juga riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat utang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al-ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bid dhaman). Untung (al-ghunmu) dan hasil usaha (al-kharaj) muncul hanya karena berjalannya waktu.
Padahal dalam bisnis selalu ada kemungkinan untung atau rugi. Memastikan sesuatu (apalagi memastikan keuntungan yang tidak disertai kegiatan usaha riil) adalah diluar wewenang manusia, dan hal ini merupakan bentuk kezaliman. Pertukaran kewajiban menanggung beban ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu atau kedua pihak, atau pihak-pihak lain. Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu.
Dalam perbankan konvensional, riba nasi’ah dapat ditemui dalam pembayran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro, dan lain-lain. Sebagai kreditor, bank mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya ditentukan di awal transaksi. Padhal nasabah belum tentu mendapatkan keuntungan yang pasti. Jadi, mengenakan bunga untuk sesuatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu (keuntungan) yang tidak pasti, karena itu diharamkan. Keuntungan pasti di pihak kreditor, tetapi tidak pasti di pihak nasabah. Inilah bentuk kezalimannya.

Riba Jahiliyah
Riba jahiliyah adalah utang yang dibayar harus lebih dari pokok pinjaman tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Hakikat pinjaman adalah transaksi kebaikan , sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis. Jadi, transaksi yang semula bermotif kebaikan tidak boleh diubah menjadi bermotif bisnis. Dari segi waktu, riba jahiliyah termasuk riba nasi’ah, karena keuntungan timbul berdasarkan berjalannya waktu. Dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan, riba jahiliyah termasul riba fadh.
Dalam perbankan konvensional, riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
Jadi, selain mengandung unsur kezaliman, dan eksploitasi pada salah satu pihak, aktivitas riba juga akan membuat orang hidup malas dengan asumsi tanpa bekerja keras sesorang akan memperoleh rate of inforest yang bersifat certainly. Hal-hal lain yang berkaitan dengan risiko dinafikan hingga pada saatnya terjadi dan tidak dapat dielakkan dan diderita kerugian besar.
 Kebiasaan melakukan riba juga akan menghambat tumbuhnya sektor riil yang dalam kerangka makro berimplikasi pada menurunnya partisipasi kerja, penurunan daya beli masyarakat akibat menurunnya pendapatan. Senapas dengan pelarangan riba ini terkandung pula pelarangan terhadap berbagai transaksi yang diharamkan termasuk adanya unsur penipuan, kecurangan, pemalsuan, monopoli, dan semua yang berjujung pada eksploitasi satu pihak terhadap pihak lain.


















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan makalah di atas, kami dapat membuat kesimpulan bahwa bunga adalah kelebihan uang yang harus dibayarkan oleh nasabah kepada bank, sedangkan riba adalah tindakan yang diarang oleh Islam karena tidak berdampak buruk bagi semua pihak.
 Dalam pihak peminjam jelas-jelas merasa dirugikan karena terkadang bunga yang diberikan terlalu tinggi. Meskipun dalam pihak yang meminjamkan sekarang mendapatkan keuntungan, namun jika dilihat dari firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 276-279, menjelaskan bahwa hartanya yang diperoleh itu tidak akan membuahkan kebaikan padanya.
Mereka akan selalu merasa kurang dengan apa yang dimilikinya. Agama Islam tidak akan mempersulit umatnya dalam mencari rezeki. Jangan sampai niat dalam mencari rezeki justru membuat apa yang kita miliki menjadi haram. Karena dijelaskan dalam salah satu riwayat hadits, diharamkan masuk surga jika ada daging secuwil yang tumbuh dari hasil riba.


DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Euis. 2009. Keadilan Distributif  dalam Ekonomi Islam. Jakarta : Rajagrafindo Persada
Hadi, ASA. 1993. Bunga Bank dalam Islam. Surabaya : Al-Ikhlas
Mardani. 2011.  Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah. Jakarta : Rajagrafindo Persada
https://id.wikipedia.org/wiki/Riba
https://sekolahmuamalah.com/sejarah-riba/
https://www.kompasiana.com/azizahzahra/5721f305167b61b808ac9f7a/bunga-bank-dalam-pandangan-islam?page=all



Tidak ada komentar:

Posting Komentar