Jumat, 26 Juli 2019
Makalah Akuntansi Perspektif Al-Qur'an
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Benarkah ilmu akuntansi ada dalam Islam? Pertanyaan ini begitu samar, karena agama sebagaimana dipahami banyak kalangan hanyalah kumpulan norma yang lebih menekankan pada persoalan moralitas saja. Dan karenanya prinsip-prinsip kehidupan praktis yang mengatur tata kehidupan modern dalam bertransaksi yang diatur dalam akuntansi tidak masuk dalam cakupan agama. Anggapan terhadap akuntansi Islam (akuntansi yang berdasarkan syariah Islam) wajar saja dipertanyakan orang. Sama halnya pada masa lalu orang meragukan dan mempetanyakan seperti apakah ekonomi Islam.
Jika kita mengkaji lebih jauh dan mendalam terhadap sumber dari ajaran Islam Al-Qur’an maka kita akan menemukan ayat-ayat maupun hadist-hadist yang membuktikan bahwa Islam juga membahas ilmu akuntansi. Agama diturunkan untuk menjawab persoalan manusia, baik dalam tataran makro maupun mikro. Ajaran agama memang harus dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan.
Eksistensi akuntansi dalam Islam dapat kita lihat dari berbagai bukti sejarah maupun dari Al-Qur’an. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 282 dibahas masalah muamalah termasuk di dalamnya kegiatan jual-beli, utang-piutang dan sewa-menyewa. Dari situ dapat kita simpulkan bahwa dalam Islam telah ada perintah untuk melakukan sistem pencatatan yang tekanan utamanya adalah untuk tujuan kebenaran, kepastian, keterbukaan, dan keadilan antara kedua pihak yang memiliki hubungan muamalah.
Tujuan akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental, dan teologis. Dengan akuntansi syariah, realitas sosial yang dibangun mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada ketentuan Allah swt.
Rumusan Masalah
Definisi Akuntansi Syariah?
Sejarah Akuntansi dan Bank Syariah (Lahir-Berkembang)?
Pandangan Alqur΄an Terhadap Akuntansi Syariah?
Konklusi?
Tujuan
Untuk mengetahui lebih dalam definisi Akuntansi Syariah
Untuk memahami lebih dalam sejarah lahirnya Akuntansi Syariah
Untuk memahami lebih dalam tentang pandangan Alqur΄an Terhadap Akuntansi Syariah
Untuk mengetahui konklusi atau kesimpulan materi tentang Akuntansi Syariah
D. Manfaat
Supaya kami semua dan para pembaca memahami ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Ulumul Qur`an dan Hadist khususnya mengenai Akuntansi Perspektif Al-qur΄an serta mampu mengenal dan menjelaskan tentang aspek mengenai kasus tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Akuntansi Syariah.
Akuntansi dalam bahasa arabnya adalah Al-Muhasabah berasal dari kata masdar hassaba-yuhasbu yang artinya menghitung atau mengukur. Secara istilah, Al-Muhasabah memiliki berbagai asal kata yaitu ahsaba yang berarti “menjaga” atau “mencoba mendapatkan” juga berasal dari kata ihtiasaba yang berarti “mengharapkan pahala di akhirat dengan diterimanaya kitab seseorang dari Tuhan”, juga berarti “menjadikan perhatian” atau “mempertanggung jawabkannya.”
Jika kata muhasabah dikaitkan dengan ihtisab dan citranya dikaitkan pencatatan, maka artinya adalah perbuatan seseorang secara terus-menerus sampai pada pengadilan akhirat dan melalui timbangan (mizan) sebagai alat pengukurnya, serta Tuhan sebagai akuntannya.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian Akuntansi dalam Agama Islam adalah:
1. Pembukuan keuangan (menghitung dan mendata semua transaksi keuangan).
2. Perhitungan, Perdebatan, dan Pengimbalan.
Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
1 h Ali Mauludi , “Akuntansi Syariah: Pendekatan Normatif, Historis Dan Aplikatif”, diakses dari http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/iqtishadia/article/download/366/357, pada tanggal 06 April 2019 pukul 20:43.
B. Sejarah Akuntansi Syariah
1. Zaman Awal Perkembangan Islam
Akuntansi sudah ada sebelum Paciolli dan bahkan sebelum peradaban Islam dan akuntansi sudah ada sejak masa kejayaan Islam dari 610 M-1250 M. Pendeklarasian negara Islam di Madinah (tahun 622 M atau bertepatan dengan tahun 1 H) didasari oleh konsep bahwa seluruh muslim adalah bersaudara tanpa memandang ras, suku, warna kulit dan golongan, sehingga seluruh kegiatan kenegaraan dilakukan secara bersama dan gotong-royong di kalangan para muslimin. Hal ini dimungkinkan karena negara yang baru saja berdiri tersebut hampir tidak memiliki pemasukan ataupun pengeluaran. Muhammad Rasulullah SAW bertindak sebagai seorang Kepala Negara yang juga merangkap sebagai Ketua Mahkamah Agung, Mufti Besar, dan Panglima Perang Tertinggi juga penanggung jawab administrasi negara. Bentuk sekretariat negara masih sangat sederhana dan baru didirikan pada akhir tahun ke 6 Hijriyah.
Telah menjadi tradisi bahwa bangsa Arab melakukan dua kali perjalanan kafilah perdagangan, yaitu musim dingin dengan tujuan perdagangan ke Yaman dan musim panas dengan tujuan ke Asy-Syam (sekarang Syria, Lebanon, Jordania, Palestina dan Esrael). Perdagangan tersebut pada akhirnya berkembang hingga ke Eropa terutama setelah penaklukan Mekah.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika ada kewajiban zakat dan ‘ushr (pajak pertanian dari muslim), dan perluasan wilayah sehingga dikenal adanya jizyah (pajak perlindungan dari non muslim) dan kharaj (pajak pertanian dari non muslim), maka Rasul mendirikan Baitul Maal pada awal abad ke-7. Fungsinya sebagai penyimpanan ketika adanya pembayaran wajib zakat dan usur (pajak pertanian dari muslim) dan adanya perluasan wilayah atau jizia yaitu pajak perlindungan dari non muslim, dan juga adanya kharaj yaitu pajak pertanian dari non muslim. Konsep ini cukup maju pada zaman tersebut dimana seluruh penerimaan dikumpulkan secara terpisah dengan peminpin negara dan baru akan dikeluarkan untuk kepentingan negara. Walaupun disebutkan pengelolaan Baitul Maal masih sederhana, tetapi nabi telah menunjuk petugas qadi, ditambah para sekretaris dan pencatat administrasi pemerintahan. Mereka ini berjumlah 42 orang dan dibagi dalam empat bagian yaitu: sekretaris pernyataan, sekretaris hubungan dan pencatatan tanah, sekretaris perjanjian, dan sekretaris peperangan.
2. Zaman Empat Khalifah
Pada pemerintahan Abu Bakar, pengelolaan baitul maal masih sangat sederhana dimana penerimaan dan pengeluaran dilakukan secara seimbang sehingga hampir tidak pernah ada sisa.
Perubahan sistem administrasi yang cukup signifikan dilakukan di era kepemimpinan Khalifah Umar bin Khatthab dengan memperkenalkan istilah Diwan oleh Sa’ad bin Abi Waqqas (636 M). Asal kata Diwan dari bahasa Arab yang merupakan bentuk kata benda dari kata Dawwana yang berarti penulisan. Diwan dapat diartikan sebagai tempat di mana pelaksana duduk, bekerja dan di mana akuntansi dicatat dan disimpan. Diwan ini berfungsi untuk mengurusi pembayaran gaji.
Khalifah Umar menunjuk beberapa orang pengelola dan pencatat dari Persia untuk mengawasi pembukuan baitul maal. Pendirian Diwan ini berasal dari usulan Homozon-seorang tahanan Persia dan menerima Islam dengan menjelaskan tentang sistem administrasi yang dilakukan oleh Raja Sanian (Siswanto, 2003). Ini terjadi setelah peperangan Al-Qadisiyyah Persia dengan panglima perang Sa’ad bin Abi Waqqas yang juga sahabat nabi, Al-Walid bin Mughirah yang mengusulkan agar ada pencatatan untuk pemasukan dan pengeluaran negara.
Hal ini kembali menunjukkan bahwa akuntansi berkembang dari suatu lokasi ke lokasi lain sebagai akibat dari hubungan anatar masyarakat. Selain itu, baitul maal juga sudah tidak terpusat lagi di Madinah tatapi juga di daerah-daerah taklukan Islam. Pada Diwan yang dibentuk oleh Khalifah Umar terdapat 14 departemen dan 17 kelompok, di mana pembagian departemen tersebut menunjukkan adanya pembagian tugas dalam sistem keuangan dan pelaporan keuangan yang baik. Pada masa itu istilah awal pembukuan dikenal dengan jarridah atau menjadi istilah journal. Di Venice istilah ini dikenal dengan sebutan zournal. Fungsi akuntansi telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam Islam seperti: Al-Amel, Mubashor, Al-Kateb, namun yang paling terkenal adalah Al-Kateb yang menunjukkan orang yang bertanggung jawab untuk menuliskan dan mencatat informasi baik keuangan maupun non keuangan. Sedangkan untuk khusus akuntan dikenal juga dengan nama Muhasabah/Muhtasib yang menunjukkan orang yang bertanggung jawab melakukan perhitungan.
Muhtasib adalah orang yang bertaggung jawab atas lembaga Al-Hisba, yaitu sebuah institusi yang menjaga amar makruf dan menjauhi kemungkaran. Hisbah dalam cakupan yang luas mengatur segala jenis hal dalam kehidupan kemasyarakatan termasuk ekonomi di dalamnya. Ketika Hisbah berdiri tegak dengan perangkat-perangkatnya, maka ekonomi dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan syariatnya, perangkat-perangkat yang di butuhkan dalam Hisbah khususnya yang mengatur dalam perekonomian. Muhtasib bisa juga menyangkut pengawasan pasar yang bertanggung jawab tidak hanya masalah ibadah. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa Muhtasib adalah kewajiban publik. Muhtasib bertugas menjelaskan berbagai tindakan yang tidak pantas dalam berbagai kehidupan.
Mengacu pada Imam Al Ghazali dalamkitab Ihya Ulumuddin Vol.VII, ada 4 elemen penting:
1. Kualifikasi dari Muhtasib
Muhtasib adalah Hakim atau Qadi, yang harus mampu mengambil keputusan setiap tempat dan setiap waktu. Muhtasib haruslah orang yang paham terhadap Islam atau faqih. Dan paham terhadap masalah yang di hadapi. Muhtasib haruslah orang yang membela kepentingan umum. Sifat-sifat seorang pemimpin juga mutlak di miliki karena ia harus bijak dalam melihat masalah dan mengambil keputusan
2. Kondisi dari Proses Hisbah
Kondisi dari Hisbah terkadang berada dalam posisi syubhat. Harus hati-hati juga dalam membedakan mana yang halal, syubhat dan haram.
3. Tugas dari Muhtasib.
Tugas menjadi muhtasib adalah dalah tugas yang berat. Tugas dimana segala sesuatu harus dijalankan dengan komprehensif. Muhtasib haruslah orang yang paham dalam kehidupan sosial terutama perdagangan day to day atau dari hari ke hari.
Bahkan DR. Mukhtar Holland yang menterjemahkan dari Buku Imam Ibnu Taymiyya: Tugas Umum dalam Islam (Institusi Hisbah) yang di publikasikan pada tahun1983 membagi tugas Muhtasib dalam dua bagian:
1. Mengatur Ekonomi secara Islami sesuai dengan Al-Qur’an, hadist dan ijtihad, ijma para ulama.
2. Menegakkan keadilan sosial keadilan bagi semua, bagi muslim maupun non muslim.
4. Derajat Pengukuran Hisbah
Ada Sepuluh tingkatan tindakan muhtasib menurut Imam Abu Hamid Al Ghazali yang harus dilakukan dengan benar dan penuh kesungguhan, yaitu:
1. Mencari tahu tentang kemungkaran tanpa harus memata-matai atau memaksa orang untuk memberi informasi.
2. Menasihati orang yang berbuat kedzaliman sebelum memberi hukuman.
3. Melarang dan menasihati dengan kata-kata.
4. Menggiatkan untuk takut yang sebenarnya pada Allah SWT.
5. Mengingatkan dengan keras ketika kata-kata lembut sudah tidak mempan.
1 h Zainul , “Makalah Ekonomi Islam Makalah Lembaga Hisbah”, diakses dari http://cakzainul.blogspot.com/2012/02/makalah-ekonomi-islam-makalah-lembaga.html, pada tanggal 06 April 2019 pukul 20:55.
6. Usahakan untuk membuat kemungkaran di jauhi secara fisik.
7. Mewaspadai hal-hal yang mungkin akan buruk di masa yang bentar lagi datang, apalgi jika si pembuat kemungkaran belum sadar.
8. Menjatuhi hukuman fisik tanpa menggunakan senjata untuk menghindari kerusakan atau darah tertumpah.
9. Menggunakan senjata yang cocok mengindikasikan ada tindakan serius yang akan di ambil.
10. Untuk memaksa regulasi, bisa lewat bantuan polisi juga untuk menuntut si pelaku kemungkaran dalam sistem konvensional ketika perangkat-perangkat sudah tegak dalam penerapan Hisbah, maka Hisbah akan sangat berperan dalam hal ekonomi.
Perkembangan akuntansi tidak berhenti pada zaman Khalifah, tetapi dikembangkan oleh filsuf Islam antara lain: Imam Syafi’i (768 M-820 M) dengan menjelaskan fungsi akuntansi sebagai Review Book atau Auditing. Menurutnya seorang auditor harus memiliki kualifikasi tertentu yaitu orang yang hafal Quran (sebagai value judgement), intelektual, dapat dipercaya, bijaksana dan kualitas manusia yang baik lainnya.
C. Pandangan Alqur΄an Terhadap Akuntansi Syariah.
Al-Quran menitik beratkan akuntansi pada surat al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (kitabah), dasar dan manfaatnya.
1. QS Al-Baqarah (2) Ayat 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya, jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu) kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya, persaksikanlah apabila kamu berjual beli dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu, dan bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Penjelasan:
Merupakan ayat terpanjang dalam Al-Quran dan secara jelas berisi perintah praktek pencatatan dalam transaksi ekonomi. Ayat ini merupakan ayat yang paling terang-terangan membahas praktek akuntansi, terdapat 8 kata yang berakar dari kata mencatat ( كتب ) dalam ayat tersebut, sedang mencatat merupakan bagian dari fungsi utama akuntansi.
Konklusi
Akuntansi Syariah adalah Akuntansi yang berbasiskan Islam. Ada yang menyebut dengan istilah Akuntansi Islam. Akuntansi Syariah atau akuntansi Islam adalah Akuntansi yang berbasiskan al-Quran dan al-Hadits dan ijma’ ulama. Perbedaan yang mendasar antara akuntansi syariah dan akuntansi konvensional adalah pada akuntansi syariah memakai sistem cash basis dan pada akuntansi konvensional memakai prinsip acrual basis. Secara struktur, aktiva pada akuntansi syariah berbeda dengan akuntansi konvensional. Pada kolom passiva akuntansi syariah terdapat akun Investasi Tidak Terikat yang tidak termasuk kewajiban.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab diatas, maka akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari Sumber-Sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
B. Saran
Dengan berakhirnya makalah yang kami buat ini, kami menyadari bahwa dalam pnulisan makalah ini terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan khususnya bagi para pemakalah. Sebagai seorang mahasiswa yang peka akan perkembangan peradaban yang semakin modern dan serba canggih, dalam berfikir tidaklah hanya melihatnya dengan satu sisi akan tetapi melihat dari segi atau sisi yang lain dimana terdapat pandangan yang berbeda dalam berfikir.
DAFTAR PUSTAKA
Syahtah, husein. 2001. Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam. Jakarta: AKBAR Media Eka Sarana.
Triyuwono, Iwan dan Moh. As’udi. 2001. Akuntansi Syari’ah: Memformulasikan Konsep Laba dalam Konteks Metafora Zakat. Salemba Empat. Jakarta.
Harahap, Sofyan Syafri, 2001. Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam, Penerbit Quantum, Jakarta.
Muhammad, 2002. Pengantar Akuntansi Syari’ah. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
Ash-Shadr, Syahid Muhammad. 2002. Keunggulan Ekonomi Islam. Pustaka Zahra, Jakarta.
www.google.com
Ayat Al-Qur`an dan Hadist
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar