PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam sejarah penghimpunan dan kondifikasi hadist mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kondifikasi alquran. Hal ini karena Al-Quran sejak awal mendapat perhatian secara khusus, baik dari rasulullah shalallahu alaihi wasalam maupun para sahabat berkaitan dengan penulisanya. Bahkan Al-Quran secara resmi dikondifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar yang dilanjutkan dengan usman bin affan, yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa rasulullah.
Sementara itu, perhatian dalam menulis alquran hadist telah melewati proses sejarah yang sangat panjang. Setidaknya sampai sekarang ini, hadist telah melewati kurang lebih 7 masa atau priode perkembangan.
Hadis merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an, Hadist menjadi penjelas dari apa yang terkandung dalam Al-Qur’an. Hadist sumber hukum islam selain Al-Qur’an ini wajib diikuti baik dalam bentuk perintah maupun larangan. Oleh karena itu, sangatlah penting dan mendasar mengetahui pembagian Hadist sumbernya yaitu Hadist qudsi dan Hadist nabawi.
Rumusan Masalah
Bagaimana perkembangan penulisan hadits
Bagaimana sejarah perkembangan pembukuan hadits
Jelaskan metode penulisan hadits
Tujuan Penulisan
Agar semua memahami bagaimana cara para sahabat melakukan penulisan dan pembukuan hadits yang dilakukan pada masa Nabi SAW.
BAB II
PEMBAHASAN
Penulisan Hadist
Penulisan adalah suatu media terpenting bagi pemeliharaan ilmu pengetahuan dan penyebarannya kepada masyarakat luas. Tidak terkecuali ini telah menjadi suatu media dalam upaya pemeliharaan hadist, meskipun dalam hal ini terdapat sejumlah riwayat yang berbeda dan pandangan yang beraneka ragam. Berkenaan dengan penulisan hadist telah lahir sejumlah kitab, baik di zaman dahulu maupun di zaman belakanngan.
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a., katanya, “Tidak seorang pun dari sahabat Nabi yang lebih banyak dariku dalam meriwayatkan hadist, kecuali Abdullah bin ‘Amr. Dahulunya ia menulis sedangkan aku tidak.”
Riwayat lain dalam sunah Abi Dawud, dari al-Musnad dan Abdullah bin Amr, beliau berkata, “Saya telah menulis segala yang aku dengar dari Rasulullah Saw untuk aku hafalkan. Maka orang-orang Quraisy melarangku dengan berkata: ‘Apakah kamu menulis segala sesuatu sedangkan Rasulullah Saw itu adalah manusia yang kadang-kadang berkata dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah’. Maka aku pun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya kepada Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw melarang penulisan hadist tetapi setelah beliau melihat bahwa Sunah semakin banyak dan hafalan itu lambat laun akan hilang, maka beliau memerintahkan agar Sunah ditulis dan didokumentasikan. Kemungkinan kedua adalah bahwa kebolehan menulis Sunah itu dikhususkan bagi beberapa orang sahabat, seperti Abdullah bin ‘Amr karena ia dapat membaca kitab-kitab terdahulu dan dapat menulis dengan bahasa Siryani dan Arab, sedangkan sahabat yang lain adalah orang-orang yang ummi, tidak dapat membaca dan menulis, kecuali satu-dua orang yang apabila menulis belum dapat dipertanggungjawabkan karena tidak sesuai dengan kaidah penulisan huruf hijaiyah. Oleh karena itu, ketika beliau yakin bahwa kekhawatirannya itu tidak akan terjadi pada Abdullah bin ‘Amr, maka beliau mengizinkannya.”
Al-Khaththabi menyatakan dalam kitabnya Ma’alim al-Sunan: “Kemungkinan besar larangan penulisan itu datang terlebih dahulu , kemudian datang pembolehannya.” Pendapat lain menyatakan bahwa larangan itu ditujukan kepada penulisan hadis bersama Al-quran dalam satu lembar. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan bagi para pembacanya. Adapun penulisan hadis dan ilmu lainnya bukanlah suatu hal yang dilarang. Al-Ramahurmuzi cenderung atas dinasakhanya larangan penulisan. Untuk itu ia menyatakan: “Saya cenderung berpendapat bahwa hadis itu relevan untuk awal tahun Hijrah saja, dan ketika ada kekhawatiran bahwa umat Islam akan berpaling dari Al-quran apabila mereka menggeluti penulisan hadis.
Demikian pendapat para ulama dalam upaya mengatasi kontradiksi hadis-hadis itu. Namun pendapat mereka hanya berdasarkan ijtihad yang sulit ditemukan sandaran riwayatnya, kecuali mereka yang menyatakan bahwa dalam kasus kontradiksi itu terjadi nasikh dan mansukh yang berpijak pada riwayat. Hal ini dipegang oleh para ulama, seperti Al-Mundziri, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hajar. Mereka bersikap demikian karena izin penulisan itu datang setelah pelarangan.
Jalan penyelesaian yang dapat kita terima adalah bahwa penulisan hadis itu pada hakikatnya tidak dilarang, karena ia bukan hal yang ta’abbudi (ritual) dan berada diluar jangkauan akal manusia. Dan seandainya keberadaan penulisan hadis itu dilarang niscaya tidak mungkin akan keluar izin penulisan hadis kepada seorang pun.
Atas dasar inilah pelarangan penulisan itu pasti dilatarbelakangi oleh suatu “illat yang tepat menurut pandangan kami adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat islam dari Al-quran karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.
Apabila kita perhatikan ucapan para sahabat yang tidak mau menulis hadist dan melarang penulisannya, maka akan kita dapatkan bahwa mereka telah menjelaskan ‘illat itu. Misalnya Abu Hurairah berkata, “ Aku pernah berkata kepada Abu Said , “Seandainya kamu menuliskan hadist untuk kami, karena kami tidak hafal.” Abu Said berkata: “Kami tidak akan menuliskan hadist buat kamu dan kami tidak akan menjadikannya dalam lembaran-lembaran. Rasulullah Saw menyampaikan hadis kepada kami dan kami menghafalkannya. Maka hafalkanlah dari kami sebagaimnana kami menghafalkan dari nabimu.
Abu Sa’id adalah orang yang meriwayatkan hadist tentang pelanggaran penulisan hadist. Ia menafsirkan pelanggaran itu sebagai kekhawatiran Rasulullah Saw akan ditempatkan hadist dalam posisi mengalahkan Al-quran. Dan rawi suatu hadist pasti lebih tahu tentang hadist yang bersangkutan, sebagaimana ditegaskan oleh ulama.
Diriwayatkan dari Urwah bin Zubair bahwa Umar bin Al-Khaththab ingin meniliskan sunah-sunah Rasulullah Saw , lalu beliau merundingkan keinginannya itu dengan para sahabat, dan mereka sepakat agar beliau mewujudkan keinginan itu. Namun kemudian beliau bingung. Beliau beristikharah selama sebulan untuk menentukan sikapnya. Setelah mendapatkan petunjuk dan Allah, beliau berkata “Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan. Sunah-Sunah Rassulullah Saw. Akan tetapi, bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka asyik menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah, saya tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan suatu apapun buat selama-lamanya.
Oleh karena itu penulisan hadist yang diizinkan oleh Rasul adalah penulisan yang tidak dijadikan sebagai bahan bacaan umum di kalangan sahabat. Oleh karena itu Rasul tidak memerintah seorang pun untuk menulis hadist seperti perintah beliau untuk menulis Al-quran. Beliau hanya memberi izin penulisan itu kepada beberapa sahabat secara individu dan mereka tidak pernah tukar menukar catatan hadist. Tulisan hadist yang mereka miliki hanya mereka simpan sebagai penguat hafalan mereka. Baru setelah ilmu A-quran tersebar luas, para penghafal dan pembacanya telah banyak, dan telah diyakini bahwa Al-quran telah dapat menjiwai seluruh masyarakat serta tidak lagi dikhawatirkan bercampur dengan yang lain, maka umat islam mulai melangkah dengan pembukuan hadist dengan melibatkan peran serta masyarakat umum dan tulisan-tulisan hadist pun mulai beredar. Hal ini terjadi atas instruksi seorang khalifah yang sangat adil, Umar bin Abdul Aziz.
Dari uraian diatas di atas kita ketahui bahwa penulisan hadist itu melalui dua tahap. Tahap yang pertama, penghimpunan hadist dalam lembaran-lembaran untuk kepentingan para penulisnya secara pribadi. Tahap ini bermula ketika Rasul masih hidupdan dilaksanakan atas izinnya/ tahap kedua, penulisan hadist dengan tujuan dijadikan sebagai referensi yang akan diedarkan kepada masyarakat umum. Tahap ini bermula pada abad kedua Hijriah.
Pada umumnya penulisan hadist pada kedua tahap ini sekedar untuk menghimpun hadist kedalam lembaran-lembaran saja. Karenanya tidak menggunakan sistematika tertentu. Pada pertengahan abad kedua, penulisan hadist mulai sistematis, yakni bedasarkan bab-bab tertentu. Dan penyusunan hadist secara sistematis ini mencapai puncaknya pada abad ketiga Hijriah. Kemudian abad ini dikenal sebagai abad pembukuan hadist.
Sebenarnya penulisan hadist dimasa Rasulullah Saw telah mencakup sejumlah besar hadis yang apabila dikumpulkan akan menjadi sebuah kitab yang cukup tebal. Diantara tulisan hadist pada waktu itu adalah sebagai berikut:
Al-Shahifah al-Shadiqah
Ditulis oleh Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Ia berkata, “Saya hafal seribu buah kata mutiara dari nabi Saw. Ia sangat menghargai hasil tulisannya itu, ia berkata, “Tidak ada yang lebih menyenangkan diriku didunia ini kecuali Al-Shahifah al-Shadiqah dan al-Wahth Pada gilirannya shgahifah itu berpindah tangan kepada seorang cucunya, yaitu ‘Amr bin Syu’aib. Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan sebagian besar isi shahifah ini dalam bab Musnad Abdullah bin ‘Amr melalui riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya.
Shahifah Ali bin Abi Thalib
Shahifah ini sangat tipis dan hanya berisi hadist-hadist tentang ketentuan hukum diat dan pembebasan tawanan.
Shahifah Sa’ad bin ‘Ubadah
Sa’ad bin ubadah adalah seorang sahabat senior At-Turmudzi meriwayatkan dalam kitab Sunan nya dari Ibnu Sa’ad bahwa Rasulullah Saw menjatuhkan hukuman bedasarkan sumpah dan seorang saksi.” Akan tetapi kita tidak temukan selain hadist itu dari kitab ini.
Surat-surat Rasulullah Saw.
Surat-surat kepada gubernur dan pegawai beliau berkenaan dengan pengaturan wilayah Islam dan negara-negara terdekat , serta penjelasan hukum-hukum agama. Surat-surat tersebut cukup banyak jumlahnya. Semuanya mengandung sejumlah hukum dan akidah islam yang penting, strategi pengembangannya, penjelasan nisab dan kadar zakat, diat, hat, hal-hal yang haram, dan sebagainya
Pendapat Sejumlah Orientalis tentang Penulisan Hadist
Meskipun faktor-faktor pendukung pemeliharaan hadist di kalangan sahabat sedemikian kompletnya, tetapi sebagian orientalis melancarkan serangan dengan tuduhan yang bukan-bukan sehubungan dengan hal ini. Kebanyakan mereka , terutama tokoh mereka Goldziher, sejak semula telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan hadist pada masa sahabat sampai awal abad kedua Hijriah. Atas dasar ini kemudian mereka berkesimpulan bahwa pada kurun waktu yang cukup lama ini hadist tersia-sia adanya karena tidak ditulis.
Sebenarnya sikap mengingkari pemeliharaan hadist pada waktu Rasulullah masih hidup akan tidak mungkin datang dari orang yang yang bersikap ilmiah dan objektif, karena riwayat tentang penulisan hadist-hadist kuat dan sanadnya juga sangat banyak. Hal ini terdapat di berbagai kitab hadist sehingga mencapai derajat mutawatir.
Adapun pembukuan hadist pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz itu sama sekali tidak menunjukan bahwa sebelumnya tidak prah ada upaya penulisan hadist. Upaya pembukuan hadist dan tidak mau tukar-menukar kitab hadist untuk dijadikan pegangan bersama. Oleh karena itu, beliau mengeluarkan instruksi untuk diandalkan pembukuan hadist sebagai media penyebaran ilmu menuju pembukaan secara besar-besaran. Beliau menjadikan kitab hasil pembukuan waktu itu sebagai pegangan untuk umum, bukan hanya bagi penyusunnya saja. Hal itulah yang dimaksud oleh Ibnu Hajar dengan pernyataannya sebagai berikut, “Sesungguhnya hadist-hadist Nabi Saw pada masa sahabat dan tabhi’in nyang agung belum dilakukuan dalam kitab-kitab jami’ dan belum tersusun rapi.” Apabila orang memahami pernyataan ini tidak seperti yang kami jelaskan diatas pasti Akan berpandangan negatif dan tidak kritis.
Sejalan dengan pembelaan kami ini, kami tidak berpendapat bahwa seluruh hadist Nabi Saw sudah ditulis waktu itu. Kami tidak sependapat dengan sejumlah penulis yang mengarah kepada berlebih-lebihan dengan beranggapan bahwa penulisan hadist pada masa Rasulullah masih hidup telah meliputi seluruh hadist. Dengan sikap sedemikian mereka seakan mengabaikan para orientalis yang mengoyak pagar lindung yang disebabkan ketidak pedulian mereka tentang hakikat.
Sejarah Pembukuan Hadits Pada Masa Prakodifikas
Hadits pada Masa Rosulullah
Masa yang dikenal dengan ‘Ashr al Wahyu wa al Takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan karena pada masa Nabi wahyu masih turun dan banyak hadist Nabi yang ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadist Nabi. Sehingga muncullah pelarangan penulisan hadits, karena beberapa sebab.
Para sahabat sangat mencintai Rosulullah melebihi kecintan pada keluarga mereka dan diri mereka sendiri. Mereka selalu berusaha menghafalkan ajaran-ajaran islam melalui Al Quran juga, lalu rindu bertemu Rosulullah untuk mendapatkan ajaran agama.
اَخْبَرْنَا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانُ ,قَالَ : حَدَّثَنَا كَثِيْرَ بْنُ يَحْيَى صَاحِبُ الْبَصْرِيِّ, قَالَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ , عَنْ زَيْدِ بْنِ اَسْلَمَ , عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ , عَنْ اَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ , قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (لاَ تَكْتُبُوْا عَنِّى اِلاَّ الْقُرْاَنُ , فَمَنْ كَتَبَ عَنِّي شَيْأً فَلْيَمْحُهُ)
Yang artinya:
”Abu Hatim RA berkata: larangan penulisan selain Al Qur’an oleh Rosulullah Saw dimaksudkan sebagai anjuran untuk menghafal hadist agar tidak mengandalkan penulisan dan tidak mau menghafal dan memahaminya”.
Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab shahihnya bersumber dari hadist Abu Hurairah RA, dia berkata, “ tidaklah ada diantara sahabat-sahabat Nabi yang hafalan hadistnya lebih banyak dariku kecuali Abdullah bin Amru, karena ia menulis hadist sedangkan aku tidak.”
Para ulama mengkompromikan antara izin Rosulullah Saw untuk menulis khutbah bagi Abu Syah dan larangan penulisan hadist yang disebutkan dalam hadist Abdullah bin Mas’ud adalah karena hadist Abdullah bin Mas’ud khusus berlaku pada waktu turunnya ayat Al Qur’an agar tidak dikhawatirkan berbaur dengan yang lain.
Sementara izin Rosulullah Saw untuk menulis hadist berlaku diluar waktu turunnya AlQur’an, atau larangan tersebut berlaku ketika selain Al Qur’an ditulis dengan Al Qur’an diatas satu lembar yang sama, sedangkan izin penulisan selain Al Qur’an dizinkan ketika alquran dan hadits ditulis pada lembar yang berbeda, atau larangan yang didahulukan sedangkan izin adalah penghapusan hukum larangan tersebut ketika tidak lagi dikhawatirkan pembauran Al Qur’an dengan selain Al Qur’an, dan inilah kemungkinan paling benar meski tidak menafikan.
Ada juga yang mengatakan bahwa larangan penulisan selain Al Quran berlaku khusus untuk orang yang hanya mengandalkan tulisan saja dan tidak mau menghafalkan hadist, sedangkan izin bolehnya menulis hadist adalah untuk orang yang dikhawatirkan dari hal tersebut. Ada juga yang mengatakan bahwa hadist Abdullah bin Mas’ud adalah hadist yang cacat namun yang benar adalah hadist Abdullah bin Mas’ud mauquf, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Bukhari dan lainnya.
Para ulama hadist berkata, ” segolongan dari sahabat Nabi dan thabiin memakhruhkan penulisan hadist dan mereka menganjurkan untuk dihafalkan sebagaimana mereka juga mendapatkan hadist terebut secara hafalan. Hanya saja setelah idealisme kaum muslim melemah dan para imam khawatir ilmu akan lenyap, mereka pun menulis hadist. Orang yang pertama menulis hadist adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri diawal abad bersumber dari perintah Umar bin Abdul Aziz. Setelah itu penulisan hadist pun semakin banyak yang disusul dengan berbagai penyusunan kitab hadist sehingga dengan kegiatan tersebut tidak sedikit kebaikan yang diperoleh.
Pemeliharaan hadist pada masa Nabi disebabkan oleh beberapa penyebab, seperti pertama karena kejernihan hati dan kuatnya daya hafal yang dimiliki oleh para sahabat. Kesederhanaan kehidupan dan jauhnya dari hiruk pikuk peradaban kota dengan segala macam problematikanya menjadikan bangsa arab jernih hatinya. Hanya dengan sekali mendengar syair-syair panjang, kutbah, dan lainnya yang tercatat dalam sejarah, mereka sudah mampu menghafalnya. Ini merupakan kebanggaan yang tidak pernah dimiliki oleh umat lain. Kedua yaitu minat yang kuat terhadap agama islam.
Bangsa arab yakin bahwa tidak ada kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta tidak ada jalan menuju kemuliaan dan kedudukan terhormat diantara umat lain kecuali dengan agama islam. Oleh karena itu mereka mempelajari seluruh hadist Nabi dengan penuh perhatian. Faktor pendukung ketiga yaitu kedudukan hadist dalam agama islam. Sebagaimana telah maklum bahwa hadist merupakan sendi asasi yang telah membentuk pola pikir, perbuatan, dan etika para sahahat.
Mereka manyadari bahwa betapa pentingnya kedudukan hadist Nabi dalam agama islam, bahwa hadist nabi merupakan pilar kedua setelah Al Quran, orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat kebahagiaan.
Sebagai figur, Nabi menjadi pusat perhatian dalam kapasitas sebagai pemimpin, teladan dan penyampai syariat Allah yang hampir semua perkataan dan perilakunya bermuatan hukum.
Beliau menempuh beberapa metode dalam menyampaikan hadist kepada mereka dan menempuh jalan yang benar-benar hikmah agar mereka benar-benar mampu mengemban tanggungjawab, diantara cara beliau adalah sebagai berikut:
a. Melalui majlis al a’lim, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jama’ah.
b. Beliau tidak menyampaikan hadits secara beruntun, melainkan sedikit demi sedikit agar dapat meresap dalam hati
c. Beliau tidak berbicara dengan panjang lebar melainkan dengan sedehana.
d. Nabi seringkali mengulangi pembicaraannya agar dapat ditangkap oleh hati orang-orang yang mendengarnya.
2. Hadits Pada Masa Sahabat Dan Thabi’in
Setelah Nabi wafat, para sahabat tidak dapat mendengar sabda–sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan, dan hal ikhwal Nabi secara langsung. Kepemerintahan selanjutnya dipegang oleh Abu Bakar, dalam masanya banyak sekali permasalahan-permasalahan diantaranya seperti pemurtadan kaum muslimin, keengganan membayar zakat serta keberanian untuk memalsuan hadist. Abu Bakar bertindak dengan tegas dan hati-hati terhadap golongan-golongan itu. Selain menentang pemurtadan dan pembangkangan pembayaran zakat, beliau mengadakan pula penilaian-peniaian riwayat. Beliau meletakkan batu pertama dari undang-undang periwayatan hadist.
Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadist tersebut. Masa ini desebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al-tatsabbut wa al-iqlal min al-riwayah). Pada sisi yang lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, tidak berarti meraka tidak memegang hadist sebagaimana halnya yang mereka terima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadist itu.
Dan tindakan ini diikuti oleh khalifah Umar ibn Khattab. Adapun usaha-usahanya adalah:
1. Menyedikitkan Riwayat,
Para sahabat tidak bermaksud mengembangkan pasar periwayatan hadist, agar orang-orang munafik tidak memperoleh jalan untuk menambah-nambahkan hadist, dan agar terhindar dari kekeliruan-kekeliruan dan disebabkan kelupa, kekhilafan yang mengakibatkan berdusta kepada Rosulullah tanpa disadari.
2. Berhati-hati dalam meriwayatkan hadist.
3. Tidak meriwayatkan hadist yang belum dapat difahami umum.
Para sahabat semuanya menempuh jalan ini, yaitu tidak menyampaikan kepada masyarakat, yang tidak dapat difahami oleh akal mereka, dikhawatirkan akan meninggalkan sebagian hukum syara’.
Pada masa Ali, timbul perpecahan dikalangan umat Islam akibat konflik politik, antara umat Islam terpecah menjadi tiga golongan:
1. Khawarij, golongan yang menyalahkan Ali dan memandang menerima tahkim adalah kekafiran.
2. Syi’ah, pendukung setia terhadap Ali, menerima tahkim dan mereka ini mempunyai pendirian sendiri dalam masalah imamah.
3. Jumhur Muslimin, diantara mereka ada yg mendukung Ali, ada yang mendukung mu’awiyah, dan ada pula yang netral.
Perpecahan ini selain memengaruhi kepemerintahan, juga memengaruhi perkembangan hadist pada masa itu. Dalam kalangan khawarij didapati diantara mereka yang berdusta terhadap Rosulullah dalam berhadist untuk memperkuat mahzabnya agar diterma oleh pengikut mereka.dengan cara menolak hadist yang bukan dari golongan mereka. Selain itu kelompok syi’ah juga memebuat hadist dalam berbagai maksud. Diantaranya ialah hadist yang mereka palsukan mengenai keutamaan Ali dan merendahkan kedudukan Mu’awiyah dan Bani Umayah. Sebagian kaum Syi’ah beusaha membuat hadits-hadits palsu untuk kepentingan duniawi, dalam mempeoleh kedudukan.
Dalam hal ini jumhur ulama tidak lah memihak diantara salah satu golongan. Jumhur ulama membersihkan hadist dari sisipan kedua golongan. Pada masa itu masih mudah untuk menentukan hadist yang benar dan menolak hadist palsu. Para sahabat dan tabi’in membuat peraturan yang ketat. Yakni para sahabat tidak lagi menerima suatu hadist tanpa menanyakan sanadnya dan meneliti perawinya dan para thabi’in pun apabila menerima suatu hadist, menanyakan pendapat sahabat terhadap.
Masa abad thabi’in ini disebut Masa Prakodifikasi Hadist (al-jam’u wa at-tadwin).
Teknik pembukuan hadist pada periode Tabi’in yaitu al-mushannaf, al-muwathatha, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah:
1. Al-Mushannaf dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadis yang didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh yang didalamnya mencantukan hadist marfu’, mawquf, dan maqthu. Misalnya, al-Mushannaf oleh Abdul-Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
2. Al-Muwathatha dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah Al-Muwathatha diartikan sama dengan Mushannaf yaitu teknik pembukuan hadist yang didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh yang didalamnya mencantukan hadist marfu’, mawquf, dan maqthu. Misalnya, Al-Muwathatha Imam Malik dan Al-Muwathatha Ibn Dzi’ib Al-Marwazi
3. Musnad dalam bahasa tempat sandaran sedangkan dalam istilah adalah pembukuan hadist yang didasarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan Hadist tersebut, Seperti Musnad Asy-Syafi’i.
Pusat-pusat Hadist
Kota-kota yang menjadi pusat hadist ialah:
1. Madinah
Di antara tokoh-tokoh hadist di kota Madinah dalam kalangan sahabat adalah Abu Bakar, Umar, Abu Harairah
Diantara sarjana-sarjana tabi’in yang belajar kepada sahabat-sahabat itu ialah Said, Urwah, Az-Zuhry, Ubaidilah ibn Abdillah ibn Utbah
2. Makkah
Diantara tokoh hadist Makkah ialah Mu’adz, Ibnu Abbas. Di antara tabi’in yang belajar padanya ialah Mujahid, Ikrimah,Atha’ ibn Abi Rabah
3. Kufah
Ulama sahabat yang mengembangkan hadist di Kufah ialah Ali Abdullah ibn Mas’ud,Al-Mughirah, Al-Baraq, Abu Juhaifa dan lain-lain
4. Bashrah
Pimpinan hadist di Bashrah dari golongan sahabat ialah Anas ibn Malik, Utbah, Imran ibn Husain, Abu Bakar
Sarjana-sarjana tabi’in yang belajar pada mereka ialah Abul Aliyah, Rafi’ ibn Mihram ar-Riyahy, Al-Hasan al-Bishry
5. Syam
Tokoh hadist dari sahabat di Syam ialah Mu’adz ibn Jabal, Ubadah ibn Shamit dan Abu Darda’. Paa beliau-beliaulah itu banyak tabi’in belajar diantaranya: Abu Udris al-Khaulany,Qabishah ibn Dzuaib, Makhul, Raja’ ibn Haiwah.
6. Mesir
Yamh mengembangkan di Mesir ialah Abdullah ibn Amr, Uqbah ibn Amr, Kharijah ibn Hudzaifah
Di antara tabi’in yang belajar pada mereka ialah Abu al-khair Martsad al-Yaziny dan Yazid ibn Abi Habib.
Metode penulisan al-Hadist al-Ushuli ( Kitab Sumber )
Metode Muwatta
Metode yang dipakai dalam penyusunan kitab adalah dengan menyebutkan bab-bab fiqh secara berurutan, dimulai dengan kitab thaharah, kemudian kitab sholat, ibadah, muamalah dan seluruh bab yang berkenaan dengan hukum dan fiqh. Dan kadang pula menyebutkan judul yang tidak berkaitan dengan masalah fiqh seperti kitab iman atau adab.
Secara kebahasaan kata “Muwatta” berarti sesuatu yang dimudahkan. Sedangkan menurut terminologi ilmu hadist, muwatta adalah metode pembukuan hadist yang berdasarkan klarifikasi hukum islam (abwad fikhiyah) dan mencantumkan hadist-hadist marfu’ berasal dari Nabi Muhammad SAW, mauquf (berasal dari sahabat) dan maqtu’ (berasal dari tabi’in). Dari kta muwatta timbul kesan bahwa motivasi pembukuan hadist dengan ini adalah untuk memudahkan orang dalam menemukan hadist.
Banyak sekali para ulama yang menyusun kitab hadist dengan menggunakan metode muwatta ini. Antara lain Imam Abu Muhammad Al-Marwazi (293 H), dan lain-lain. Namun tampaknya kitab imam Malik adalah yang paling popular diantara kitab-kitab muwatta, sehingga apabila disebutkan nama muwatta, maka konotasinya selalu tertuju pada kitab beliau.
Metode Mushanaf
Meskipun secara kebahasaan kata mushanaf berarti sesuatu yang disusun, namun secara terminologi kata mushanaf ini sama artinya dengan kata muwatta, yaitu metode pembukuan hadist berdasarkan klarifikasi hukum islam (abwab fikhiyah) dan mencantumkan hadist-hadist marfu’, mauquf dan maqtu’. Seperti halnya muawatta, ulama yang menulis hadist dengan metode mushanaf ini juga banyak. Diantaranya, Imam Hamad bin Salamah (176 H), Imam Waki’ bin Al-Jarrah (196 H), Imam Razzaq (211 H), Imam Ibnu Abi Syaibah (235 H).
Metode Masanid
Al-Masanid jamak dari sanad, maksudnya : buku-buku yang berisi tentang kumpulan hadist setiap sahabat secara tersendiri, baik hadist shahih, hasan, atau dhaif. Pada sebagian musnad kadang hanya terdapat kumpulan hadist salah seorang sahabat saja, atau hadist sekelompok para sahabat seperti 10 orang yang dijamin masuk surga. Al-Masanid yang dibuat oleh para ulama hadist jumlahnya banyak. Al-Kittani dalam kitabnya Ar-Risalah Al-Mustathrafuh menyebutkan jumlahnya sebanyak 82 musnad, kemudian berkata, “Musnad iu jumlahnya banyak selain yang telah kami sebutkan.
Metode Jami’
Kata Jami’ berarti sesuatu yang mengumpulkan, menggabungkan, dan mencakup. Dalam disiplin ilmu hadist, kitab jami’ adalah kitab hadist dimana metode penyusunan mencakup seluruh topik-topik dalam agama, baik aqidah, hukum, adab, tafsir, manaqib.
Kitab-kitab hadist yang menggunakan metode jami’ ini jumlahnya cukup banyak. Diantaranya, kitab jami’ karya Imam Al-Bukhari (256 H) yang berjudul : ‘Al Jami’ al-Shalih al-Musnad al-Mukhtasar min Umar Rasul Allah Shalla Allah ‘Alaihi wa slam wa Sunnanih wa Ayyamih, yang kemudian diringkas menjadi al-Jami’ al-Shalih, dan popular dengan sebutan Shahih Bukhari. Begitu pula ahli-ahli hadist yang lain, seperti Imam Muslim bin al-Hajjaj al-naisapuri (262 H) dan lain-lain menyusun kitab-kitab hadist dengan metode jami’.
Metode Mustakhraj
Manakala penyusunan kitab hadist berdasarkan penulisan kembali hadist-hadist yang terdapat dalam kitab lain. Kemudian penulis kitab yang pertama tadi mencantumkan sanad dari dia sendiri, maka metode ini disebut mustakhraj. Sebagai contoh, kitab mustakhraj atas kitab shahih al-Bukhari, maka penulisannya menyalin kembali hadist-hadist yang terdapat dalam kitab shahih bukhari. Kemudian mencantumkan sanad dari dia sendiri, bukan sanad yang terdapat dalam kitab shahih al-bukhari.
Ada lebih dari sepuluh buah kitab al-mustakhraj. Diantaranya al-mustakhraj ‘ala Shahih al-Bukhari yang disebut di muka tadi karya al-Isa’ili (371 H), dan karya Ibnu Abu Dzuhl (310 H), dan karya Abu Hamid al-haraiwi (355 H), dan ada pula kitab Mustakhraj atas Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, seperti karya Abu Nu’aim al-Ishbahani (430 H), Ibnu al-Akhram (344 H).
Metode Mustadrak
Adakalanya penyusunan kitab hadist berdasarkan menyusulkan hadist-hadist yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadist yang lain. Namun dalam menuliskan hadist-hadist susulan pertama tadi mengikuti persyaratan periwayatan hadist yang dipakai oleh kitab yang lain itu. Maka metode penulisan kitab ini disebut Mustadrak. Seperti karya Imam al-Hakim al-naisapuri (405 H). Beliau menulis kitab al-Mustadrak ‘ala Shahihain dimana hadist-hadist yang tidak tercantum di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan shahih Muslim dicantumkan dalam kitabnya. Namun beliau mengikuti kriteria-kriteria periwayatan hadist yang ditentkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Metode Sunan
“As-Sunan” yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan bab-bab tentang fiqh, dan hanya memuat hadist yang marfu’ saja agar dijadikan sebagai sumber dari para fukaha dalam mengambil kesimpulan hukum. As-sunan berbeda dengan al-Jamani’, dalam as-Sunah tidak terdapat pembahasan tentang aqidah, sirah, manaqib, dan lain sebagainya. Tapi hanya terbatas pada masalah fiqh dan hadist-hadist hukum saja, al-kittani mengatakan, “’diantaranya kitab-kitab yang terkenal dengan metode as-Sunah. Menurut istilah mereka adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkan urutan bab-bab tentang fiqh mulai dari bab iman, thaharah, zakat, dan seterusnya. Tidak ada di dalamnya sedikitpun hadist yang mauquf, sebab mauquf menurut mereka tidak dinamakan sunnah, tapi hadist.
Metode Mu’jam
Mu’jam adalah metode penulisan kitab hadist dimana hadist-hadist yang terdapat di dalamnya disusun berdasarkan nama-nama para sahabat, guru-guru hadist, negeri-negeri, atau yang lain. Dan lazimnya nama-nama itu disusun berdasarkan huruf mu’jam (alfabet), kitab-kitab hadist yang menggunakan metode mu’jam ini banyak sekali. Diantaranya yang popular adalah karya Imam al-Tabrani (360 H), beliau menulis tiga buah kitab mu’jam yaitu al-Mujam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausat, al-Mu’jam al-Shagir.
Metode Majami’
Al-Majami’ jamak majma’, yaitu setiap kitab yang berisi kumpulan beberapa mushannaf dan disusun berdasarkan urutan mushannaf yang telah dikumpulakn tersebut. Diantaranya majami’ yang terkenal adalah : jami-al Ushul min A-hadist Ar-Rasul, karya Abu As-Sa’adat, dikenal dengan sebutan Ibnu Al-Atsir (606 H), di dalamnya berisi kumpulan kuttubuh sittah (kitab hadist yang enam) yaitu : Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’I, dan yang keenam adalah muwatta’ Imam Malik sebagai ganti dari sunan Ibnu Majjah.
Metode-metode pembukuan hadist seperti yang dituturkan di atas telah dipakai oleh para penulis hadist semenjak masa Nabi Muhammad SAW. Sampai kira-kira abad kelima Hijriah, sementara kitab-kitab hadist yang menggunakan metode-metode tersebut lazim disebut sebagai kitab-kitab pokok atau induk (al Kutub al-Ummahat, karena penulisannya memiliki sanad yang bersambung kepada Nabi Muhammad SAW).
Metode Zawa’id
Yang dimaksud dengan metode Az-Zawa’id adalah karya yang berisi kumpulan hadist-hadist tambahan terhadap hadist yang ada pada sebagian kitab-kitab yang lain. Buku yang terkenal dalam bidang ini antara lain adalah : Misbah Az-Zujajah fi Zawa’id Ibnu Majjah, karya Abu Abbas Ahmad bin Muhammad al-Bushairi (84 H), bukan al-Bushari Muhammad bin Said (696 H) sang penyair yang menyusun “Al-Masanid Al-‘Asyarah, karya al-Bushairi juga, yang merupakan tambahan terhadap kuttubah sittah. Kemudian Al-Mathalib Al-‘Aliyah bin Zawaid Al-Masanid Ats-Tsamaniyah, karya al-Asqalani (852 H), yang merupakan tabahan dari sepuluh musnad di atas kecuali musnad Abu Ya’la Al-Mushili, musnad ishak bin Rahamaih atas kuttubuh sittah dan musnad Ahmad, dan kemudian Majma’ Az-Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, karya Al-Haitsami yang telah disebutkan sebelumnya al-Majami’.
Dari uraian di atas menjelaskan bahwa sebuah hadist terkadang ditulis oleh sejumlah penulis hadist secara Bersama-sama dalam kitab-kitab mereka. Ada pula hadist yang hanya ditulis oleh seorang penulis saja, sementara penulis hadist yang lain tidak menulisnya.
Maka hadist-hadist jenis ini kemudian menjadi lahan penelitian para pakar hadist yang datang kemudian. Hadist-hadist itu kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab tersendiri. Metode penelitian hadist ini disebut Zawaid yang secara kebahasaan berarti tambahan-tambahan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penulisan hadist yang diizinkan oleh Rasul adalah penulisan yang tidak dijadikan sebagai bahan bacaan umum di kalangan sahabat. Penulisan Hadist melalui 2 tahap, tahap yang pertama yaitu penghimpunan hadist dalam lembran-lembaran untuk kepentingan para penulisnya secara pribadi. Tahap kedua yaitu penulisan hadits dengan tujuan dijadikan sebagai referensi yang akan disebarkan kepada masyarakat umum. Metode penulisan hadist ada beberapa yaitu antara lain metode muwatta, mushanaf, masanid, jami’, mustakhraj, mustadrak, sunan mu’jam, majami’, dan zawa’id,
Ada 2 tahap pengumpulan hadist yang pertama yaitu pada masa rasulullah, Masa ini dikenal dengan ‘Ashr al Wahyu wa al Takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan karena pada masa Nabi wahyu masih turun dan banyak hadits Nabi yang ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadist Nabi. Sehingga muncullah pelarangan penulisan hadist, karena beberapa sebab. Yang kedua yaitu pada masa sahabat dan thabi’in, yaitu setelah Nabi wafat, para sahabat tidak dapat mendengar sabda–sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan, dan hal ikhwal Nabi secara langsung
DAFTAR PUSTAKA
Al-quran ,syaikh manna. 2003. Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta Timur: Pustaka
Al-KAUTSAR
http://ilhomcenter.com/metode-pembukaan-hadits
Nuruddin. 2012. Ulumul Hadits. Bandung: REMAJA ROSDAKARYA.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Suparto, Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar