Jumat, 26 Juli 2019

Makalah Konsep Harta Perspektif Al-Qur'an

BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia menurut pandangan Islam memiliki fitrah atas kecenderungan terhadap dorongan dan insting sosial untuk menyukai harta benda, menguasai dan mempertahankannya, dalam beberapa ayat al Qur’an telah mengisyaratkan tentang hal itu. Dalam usaha memenuhi keinginan tersebut seseorang berusaha dengan berbagai aktivitas ekonomi, karena sifat kecenderungan ingin memiliki harta sehingga manusia mau bekerja keras. Allah telah menjadikan harta sesuatu yang indah dalam pandangan manusia, manusia diberi tabiat alamiah mempunyai kecintaan terhadap harta. Allah telah menerangkan dalam al-Qur’an “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”. (QS. Al-Fajr:20)
Kecintaan manusia terhadap harta ini harus mendapatkan bimbingan wahyu yang mengarahkan bahwa harta bukan tujuan hidup, akan tetapi hanya sebagai sarana yang harus dipertanggung jawabkan kepada Allah. Harta dalam Islam dianggap sebagai bagian dari aktivitas dalam kehidupan yang dijadikan oleh Allah untuk membantu proses tukar-menukar (jual beli), dan juga digunakan sebagai ukuran terhadap nilai. Syariat Islam dengan kaidah dan konsepnya akan mengontrol cara untuk mendapatkan harta, menyalurkan, proses pertukaran dengan barang lain serta pengaturan hak-hak orang dalam harta itu.
Disisi lain bahwa semua harta atau kekayaan yang ada di bumi ini pada hakekatnya adalah milik Allah SWT secara mutlak dan tunduk kepada aturan yang telah digariskanNya. Oleh karena itu manusia berkewajiban merasa terikat dengan perintah dan ajaran Allah tentang harta, hak milik manusia bersifat tidak mutlak dalam hal kepemilikan harta. Manusia pada hakekatnya hanya mempunyai hak untuk menggunakan dan mengatur harta itu sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan, sehingga memberikan kesejahteraan kepada seluruh umat manusia. Dan semua yang ada di langit dan di bumi ini sebenarnya diperuntukkan bagi manusia untuk keperluan hidupnya. Sebagaimana firman Allah “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu …”  (QS. Al-Baqarah : 29).
Secara logika dapat dipastikan segala yang diciptakan Allah SWT bagi manusia pasti mencukupi untuk seluruh umat manusia. Persoalan kepemilikan timbul ketika manusia berkumpul dan berinteraksi membentuk suatu komunitas untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka kelangsungan hidupnya. Dalam realitas kehidupan dijumpai ada sekelompok manusia yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya bahkan sampai berlebih, di sisi yang lain tidak sedikit kelompok manusia lain yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Berangkat dari statement diatas, maka kesempatan ini akan dibahas mengenai harta dalam perspektif Al-Qur’an.
Rumusan Masalah
Apa definisi harta ?
Bagaimana konsep kepemilikan harta berdasarkan kapitalis, marxis/sosial, dan Islam ?
Macam-macam fungsi harta ?

Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui apa definisi harta
Untuk mengetahui konsep kepemilikan harta berdasarkan kapitalis, marxis/sosial, dan Islam
Untuk mengetahui macam-macam fungsi harta



BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Harta
Dalam bahasa Arab harta disebut juga dengan lafaz اموال ج مال  yang berarti cenderung atau senang. Sepertinya harta dinamai demikian, karena hati manusia selalu cenderung dan senang kepadanya. Al-Qur’an juga telah menegaskan demikian, sebagaimana dalam QS. Ali-’Imran (3): 14

“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”.
Wahbah al-Zuhaily mengemukakan bahwa secara etimologi (bahasa), harta adalah sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, hewan, tumbuh-tumbuhan maupun (yang tidak tampak), yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian dan tempat tinggal.
Menurut terminologi (istilah), terdapat dua definisi yang dikemukakan fuqaha, yaitu:
Ulama Hanafiyah adalah harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan.
Jumhur Ulama adalah segala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya.
Berdasarkan definisi ulama Hanafiyah dapat dipahami bahwa yang termasuk harta adalah sesuatu yang dapat dikuasai, dipelihara dan dimanfaatkan. Sedangkan definisi jumhur ulama lebih terfokus bahwa harta adalah segala sesuatu yang bernilai, yang diutamakan adalah manfaatnya bukan zatnya (benda). Definisi kalangan jumhur ulama tersebut, lebih luas cakupannya, sehingga segala sesuatu yang dimiliki manusia yang memiliki nilai dan manfaat, misalnya tanah, uang, kendaraan, rumah, perhiasan, termasuk juga pakaian, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil karya cipta dan lain-lain, termasuk kategori harta.
Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan harta (alamwaal) merupakan bentuk jamak dari kata maal yang artinya segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Atas dasar ini, maka segala yang disimpan dan dimiliki manusia termasuk kategori harta.
Jika merujuk pada QS. Al-Jum’ah (62):10 Al-Qur’an menamakan harta tersebut dengan fadhlullah (kelebihan/rezeki atau anugerah Allah). Dengan demikian apapun kelebihan manusia yang bersumber dari Allah, maka ini  termasuk harta. Lebih spesifik lagi bahwa apapun yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan di dunia, merupakan harta baik berupa uang, tanah, kendaraan, rumah, perabotan rumah tangga, perhiasan, hasil perkebunan, hasil perikanan, pakaian dan lain-lain.
Konsep Kepemilikan Harta
Kapitalis
Faham kapitalisme adalah suatu aliran perekonomian yang ditandai dengan berkuasanya “kapital” (modal). Artinya segala praktik perekonomian hanya diukur oleh ada dan besarnya-kecilnya modal tanpa mempertimbangkan faktor tenaga, keterampilan dan kerja.
Dalam pandangan ekonomi kapitalis manusia dianggap memiliki hak milik yang mutlak atas alam semesta, karena ia bebas untuk memanfaatkan sesuai dengan kepentingannya. Manusia dapat mengeksplorasi semua sumber daya ekonomi yang dipandangkan akan memberikan kesejahteraan yang optimal baginya, dalam jumlah berapa saja dan dengan cara apa saja.
Sikap individualis yang liberalis menjadi ciri kapitalisme yang menonjol. Manusia berhak atas harta dan kekayaan alam asalkan mampu untuk membelinya. Sektor produksi, peralatan produksi dan semua sarana yang menjadi kepentingan umum dapat dimiliki secara pribadi. Mereka berhak memanfaatkan dan mendistribusikannya tanpa harus mempertimbangkan pihak luar. Mereka dapat menjual hasil-hasil produksi dengan harga yang diinginkan.
Orientasi berpikir kapitalis adalah keuntungan. Apapun dapat dilakukan untuk mendapatkan laba dari modal yang dimiliki. Kapitalisme dapat melahirkan motivasi kerja yang tinggi. Kebebasan yang diberikan dapat memberikan semangat untuk mencapai kemenangan yang setinggi-tingginya. Dimana hasil ini merupakan buah kemenangan yang menjadi hak milik pribadi yang mutlak. Motivasinya adalah laba yang dinikmati secara individualis. Orientasi terhadap laba tersebut mempertegas kapitalisme sebagai bagian dari materialisme.
Marxis/Sosial
Faham sosialisme menitik beratkan perhatiannya pada nilai-nilai sosial, kemasyarakatan, atau kebersamaan secara murni. Kepemilikannya atas sektor ekonomi, peralatan produksi, dan sumber kekayaan alam yang ada dalam negara dikuasai mutlak oleh negara untuk kepentingan bersama. Kepemilikan individu dalam sosialisme merupakan kepemilikan kolektif masyarakat atau negara, sehingga individu-individu tidak berhak untuk memilikinya. Jadi, masyarakat atau negara berada di atas individu. Faham ini merupakan kebalikan dari kapitalisme.
Pada konsep sosialisme kesejahteraan manusia berjalan secara bersama-sama. Tidak ada seseorang atau satu kelompok yang lebih sejahtera kehidupannya dibanding kelompok lain. Disini persaingan bisnis antara individu atau kelompok pun lenyap dengan sendirinya. Laba sebagai buah dari usaha kerasnya diganti dengan pelayanan sosial. Artinya seseorang bekerja untuk motif pelayanan sosial bukan motif laba. Segala macam produksi diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan sosial bukan perseorangan.
Islam
Dalam Islam kepemilikan dikenal dengan nama al-milkiyah. Al-Milkiyah secara etimologi berarti yang kepimilikan. Al-milkiyah memiliki arti yaitu sesuatu yang dimiliki dan dapat dimanfaatkan oleh seseorang. Dan pengertian lain al-milk adalah pemilikan atas sesuatu (al-mal atau harta benda) dan kewenangan seseorang bertindak bebas terhadapnya.
Islam sangat mengakui hak kepemilikan pribadi dan sudah sewajarnya manusia cinta akan harta. Bahkan Islam pun secara tegas menyatakan bahwa kekayaan alam yang diciptakan Tuhan itu untuk manusia. Namun kepemilikan tersebut tidak bersifat mutlak karena pemilik mutlak sesungguhnya adalah Allah SWT.
Kepemilikan kolektif diakui Islam dengan menyatakan bahwa harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang pada dasarnya tidak secara utuh menjadi haknya, tetapi di dalam harta itu terdapat hak milik orang-orang fakir dan miskin. Perintah untuk mengeluarkan zakat, berinfak, dan bersedekah yang banyak disebutkan dalam Al-Qur’an merupakan bagian dari makna hak kolektif. Pernyataan tersebut menghubungkan kata al-mal kepada Allah.
Kata mal kepada Allah mempunyai arti bahwa di dalam harta manusia terdapat fungsi sosial yang harus diberikan sebagai hak kelompok. Oleh karena itu kesalahan atau kekeliruan dalam menggunakan dan mendistribusikan harta tidak akan terjadi yang pada akhirnya tercipta kesejahteraan individu dan kelompok.
Islam mengakui hak kepemilikan pribadi itu sudah sejalan dengan watak dan fitrah manusia. Karena manusia tidak bekerja kecuali terdapat motivasi untuk bekerja. Tidak diragukan lagi bahwa kepemilikan manusia merupakan hasil usaha dan sekaligus menjadi motivasi yang paling penting dalam aktivitas kemanusiaanya.
Berbeda dengan konsep kepemilikan lainnya, Islam sangat memperhatikan kebutuhan spiritual. Artinya pencapaian kepuasan dan kebahagiaan hidup tidak hanya difasilitasi oleh tercukupinya kebutuhan material tetapi juga spiritual. Perhatian besar dan pengalaman yang seimbang akan dua kebutuhan ini akan dapat mengatur secara benar proses perolehan dan pengelolaan hak milik seseorang dengan melakukan pembatasan yang teratur atas hak individu dan kelompok.
Fungsi Harta
Harta merupakan amanah dari Allah SWT, manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mewujudkan harta dari tiada.
Harta berfungsi sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia boleh menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam Al-Qur’an, surat Ali Imran ayat 14 :
“Dihiaskan kepada manusia, mencintai syahwat (keinginan nafsu), seperti perempuan-perempuan, anak-anak., dan harta benda yang banyak dari emas, perak, kuda yang baik, binatang-binatang ternak, dan tanaman-tanaman. Demikianlah kesukaan hidup dunia dan di sisi Allah tempat kembali yang sebaik-baiknya (yaitu surga).”
Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut tentang cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an, surat Al-Anfal, 8:28 :
“Dan ketahuilah, bahwa harta dan anak-anakmu menjadi fitnah (ujian) dan sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar.”
Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah di antara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infaq, dan sedekah. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam Al-Qur’an, surat At-Taubah ayat 41 :
“Keluarlah kamu (ke medan pertempuran) dengan berjalan kaki atau berkendaraan dan berjuanglah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Demikian itu lebih baik bagimu.”
Harta berfungsi juga untuk meneruskan kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya, seperti yang tertulis dalam firman Allah Al-Qur’an, surat An-Nisa’ ayat 9 :
“Dan hendaklah mereka takut jika sekiranya mereka meninggalkan anak-anak yang masih lemah di belakangnya, takut akan terlantar anak-anak itu, maka hendaklah mereka takut kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang betul.”
Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat. Rasulullah SAW bersabda: “bukanlah orang yang baik, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan yang meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, sehingga seimbang diantara keduanya, karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat”. (H.R. Al-Bukhari).
Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menuntut ilmu tanpa modal akan terasa sulit, misalnya seorang tidak bisa kuliah di perguruan tinggi , karena tidak memiliki biaya.
Untuk menumbuhkan silaturrahim, karena adanya perbedaan dan keperluan. Misalnya Ciamis merupakan daerah penghasil Galendo, Bandung merupakan daerah penghasil kain, maka orang Bandung yang membutuhkan Galendo akan membeli produk orang Ciamis tersebut dan begitupun sebaliknya. Dengan begitu terjadilah interaksi dan komunikasi silaturrahim dalam rangka saling mencukupi kebutuhan. Oleh karena itu, perputaran harta dianjurkan Allah dalam Al-Qur’an.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kita dapat menyimpulkan bahwa telah diketahui terdapat beberapa pengertian harta, yang pada intinya definisi harta itu sendiri adalah sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk  bisa menyimpan dan memilikinya, yang mempunyai nilai serta manfaat dan merupakan rezeki atau anugrah dari Allah SWT.
Dari pengertian harta dan keinginan manusia untuk memilikinya, akan bergantung pada konsep kepemilikan yang dianutnya. Dalam hal ini ada beberapa konsep kepemilikan harta yaitu kapitalisme, sosialisme, dan Islam. Serta harta memiliki banyak fungsi bagi kehidupan manusia.
Perspektif Al-Qur’an manusia hanya memiliki hak untuk mengelola dan menggunakan, sedang kepemilikan mutlak adalah milik Allah.










DAFTAR PUSTAKA
http://www.informasiahli.com/2016/11/pengertian-harta-unsur-unsur-fungsi-harta-dan-pembagian-harta.html. Diakses pada 26 Februari 2019 pukul 17:05.
Dede Nurohman, Memahami Dasar-Dasar Ekonomi Islam, Yogyakarta: Teras, 2011, cet. I, hlm. 82.

Ambok Pangiuk, Kepemilikan Ekonomi Kapitalis dan Sosialis (Konsep Tauhid Dalam Sistem Islam), http://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://media.nelti.com/media/publications/ , hlm. 4. Diakses pada 01 Maret 2019 pukul 20:18

Rizal, Eksistensi Harta Dalam Islam (Suatu Kajian Analisis Teoris), journal.stainkudus.ac.id , hlm.101-102. Diakses pada 04 Maret 2019 pukul 19:07.

 Muhammad Nizar, Sumber Dana Dalam Pendidikan Islam (Kepemilikan Harta Dalam Perspektif Islam), jurnal.yudharta.ac.id , hlm. 379-381. Diakses pada 04 Maret 2019 pukul 20:24

Dahlia Haliah Ma’u, Harta Dalam Perspektif Al-Qur’an, https://jurnaliainpontianak.or.id, hlm. 88-89. Diakses pada 04 Maret 2019 pukul 21:36

Makalah Makelar dalam Perspektif Al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di zaman serba modern ini berbagai bidang dapat dimasuki perusahaan atau industri akibat perubahan yang cepat dalam selera, teknologi, dan persaingan. Untuk menghadapi persaingan, maka perusahaan perlu melaksanakan usaha kegiatam pemasaran dengan menggunakan saluran distribusi yang tepat sehingga tujuan dapat dicapai. Tujuan utama perusahaan pada intinya sama, yaitu dapat meningkatkan volume penjualan sehingga laba yang dihasilkan akan terus meningkat, namum tanpa meninggalkan kepuasan yang dirasakan oleh konsumen.
Perkembangan dunia dewasa mengalami peningkatan yang cukup pesat. Peningkatan itu disebabkan karena kebutuhan manusia yang semakin komplek. Sehingga hal ini mendorong perusahaan untuk memenuhi akan permintaan suatu kebutuhan.
Dalam proses jual beli kita temui para manusia yang ingin membantu dalam memenuhi kebutuhan, baik berupa usaha dengan modal sendiri maupun dengan jalan sebagai perantara atau penghubung dalam proses transaksi jual beli yang kita kenal dengan makelar.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
Apa Definisi dari Makelar ?
Bagaimana Peranan Makelar dalam Bisnis ?
Bagaimana Pandangan Al-Qur’an Terhadap Makelar ?




Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui definisi dari Makelar
Untuk mengetahui peranan makelar dalam bisnis
Untuk mengetahui bagaimana pandangan Al-Qur’an terhadap makelar


BAB II
PEMBAHASAN

Definisi Makelar
Makelar dalam kitab-kitab Fiqh terdahulu disebut dengan istilah “Samsarah” atau “Simsarah”. Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung risiko, dengan kata lain makelar ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar yang terpercaya tidak dituntut risiko sehubungan dengan rusaknya/hilangnya barang dengan tidak sengaja.
Makelar ialah seorang perantara antara si penjual dan si pembeli barang. Pekerjaan makelar ialah mengadakan perjanjian-perjanjian atas nama perintah dan biaya orang lain.
Pekerjan makelar hukumnya mubah atau diperbolehkan apabila telah memenuhi ketentuan hukum  Islam.  Sahnya pekerjaan makelar harus memenuhi beberapa syarat, antara lain sebagai berikut :
1. Persetujuan kedua belah pihak (perhatikan Al-Qur'an surat an-Nisa ayat 29)
Q.S An-Nisa menjelaskan bahwa jual beli wajib dilakukan berdsarkan prinsip saling rela antara penjual dan pembeli. Setiap pihak harus menyetujui atau sepakat mengenai  isi materi  akad, tanpa  adanya unsur  paksaan, intimidasi ataupun penipuan.
2. Objek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan.
Objek akad harus dapat ditentukan dan dapat dilaksanakan oleh para pihak, bukan hal yang tidak nyata.
3. Objek akad bukan hal-hal yang maksiat atau haram
Objek akad merpakan sesuatu yang halal, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang, misalnya mencarikan kasino, narkoba, dan sebagainya.
Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut perjanjian, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 1 yang artinya :” Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) itu.  Dan juga berdasarkan hadits Nabi “ orang-orang Islam itu menurut perjanjian-perjanjiannya”.
Apabila jumlah imbalannya tidak ditentukan dalam perjanjian, maka hal ini dikembalikan kepada adat-istiadat yang berlaku di masyarakat. Misalnya Indoesia menurut tradisi makelar berhak menerima imbalan antara 2,5 % sampai 5 %, tergantung kepada jumlah transaksi. Bila transaksi jual beli kurang dari Rp. 1.000.000,00 imbalannya 5%, sedangkan transaksi yang lebih dari Rp. 1.000.000,00 imbalanya cukup 2,5 %

Peranan Makelar dalam Bisnis
Makelar merupakan profesi yang banyak manfaatnya untuk masyarakat terutama bagi para produsen, konsumen, dan bagi makelar sendiri. Profesi ini dibutuhkan oleh masyarakat sebagaimana profesi-profesi yang lain, karena ada sebagian masyarakat yang sibuk, sehingga tidak bisa mencari sendiri barang yang dibutuhkan, maka dia memerlukan makelar untuk mencarikannya. Sebaliknya, sebagian masyarakat yang lain, ada yang mempunyai barang dagangan, tetapi dia tidak tahu cara menjualnya, maka dia membutuhkan makelar untuk memasarkan dan menjualkan barang dagangannya.
Menurut Hamzah Yakub samsarah (makelar) adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko, dengan kata lain makelar (simsar) adalah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual-beli.
Seorang makelar mesti tanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh kesalahannya. Berikut peranan makelar, antara lain :
Mengadakan pembukuan atau catatan harian mengenai perbuatan ataupun usaha-usahanya.
Menyimpan sampel atau contoh barang dalam hal jual beli dengan contoh, sampai kepada penyerahan barang yang dijualnya ataupun dibelinya.
Menyampaikan salinan surat-surat kepada hakim atau pengadilan jika itu diminta.
Menyampaikan catatan serta surat-surat bukti kepada pihak yang bersangkutan.
Bertindak sebagai seorang pemisah yang adil jika terjadi perselisihan diantara penjual dan pembeli.
Menjalankan tugas serta kewajiban dengan baik, jujur dan juga penuh rasa tanggung jawab.
Pandangan Al-qur’an terhadap Makelar
Imam Bukhari berkata: “Ibnu Sirin, Arta, Ibrahim dan Hasan memandang bahwa simsarah itu boleh.” (Nazar Bakry,1994. Problematika Pelaksanaan Fiqh).
Ibnu Abbas berkata: “tidak mengapa orang yang mempunyai barang berkata : jualah barang ini dengan harga sekian lebihnya untukmu”. ((Nazar Bakry,1994. Problematika Pelaksanaan Fiqh).
Ibnu Sirin berkata : “apabila seseorang kamu berkata : jualah barang ini sekian keuntungannya untukmu dan untukku, maka tidaklah mengapa”. (Nazar Bakry,1994. Problematika Pelaksanaan Fiqh).

Sejalan dengan pandangan para fuqaha tersebut apabila kita kembali kepada aturan pokok, maka pekerjaan  akelar itu tidak terlarang (mubah) karena tidak ada nash yang melarang. Dengan demikian antara pemilik barang dan makelar dapat mengatur sutau syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh oleh pihak makelar. Boleh dalam bentuk prosentase (komisi) dari penjualan dan boleh juga mengambil kelebihan dari harga yang tertentu oleh pemilik barang sebagai landasan hukumnya, sabda Rasul yang artinya : “perdamaian itu halal sesama muslim, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan bersama kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.
Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh Islam yaitu :
Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap pembeli.
Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap penjual.
Makelar dibolehkan dalam Islam dengan syarat-syarat tertentu. Dalil yang  membolehkan pekerjaan makelar adalah sebagai berikut :
Q.S Al-Maidah : 1
“Wahai orang-orang beriman sempurnakanlah akad-akad (janji-janji) kalian”
Pada ayat di atas, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk
menyempurnakan akad-akad, termasuk di dalamnya menyempurnakan
perjanjian seorang pedagang dengan Makelar.
Hadist riwayat Qais bin Abi Gorzah, bahwasanya ia berkata :
“Kami pada masa Rasulullah SAW disebut dengan Samsarah (calo/makelar), pada suatu ketika Rasulullah SAW menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo, beliau bersabda : “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini kadang diselingi dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan sumpah (palsu), maka perbaikilah dengan (memberikan) sedekah” (Shahih, HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah) 
Hadist di atas menunjukkan bahwa pekerjaan calo sudah ada sejak masa
Rasulullah SAW, dan beliau tidak melarangnya, bahkan menyebut mereka sebagai pedagang.
Pekerjaan makelar hukumnya mubah atau diperbolehkan asalkan telah memenuhi ketentuan yang mengaturnya, dalam hal ini ketentuan islam yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadist, dan Ar’Royu. Pekerjaan makelar selain itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu sebagai berikut :
Pada asalnya muamalah itu diperbolehkan sampai ada dalil yang menunjukkan pada keharamannya. Kaidah ini disampaikan oleh Ulama Syafi’i, Maliki, dan Imam Ahmad.
Muamalah itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka
Muamalah yang dilakukan itu mesti mendatangkan maslahat dan menolak madarat bagi manusia
Muamalah itu terhindar dari kezaliman, penipuan, manipulasi, spekulasi, dan hal-hal lain yang tidak dibenarkan oleh syariat.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Makelar atau samsarah yaitu perantara yang atas nama orang lain atau pemberi kuasa dimana bertugas mencarikan barang bagi pembeli dan atau menjual barang. Makekar dibolehkan oleh para ulama apabila terikat syarat yang telah disepakati. Sedangkan yang diharamkan misalanya seperti praktik-praktik yang merugikan seperti mafia tanah yang biasa juga disebut makelar dimana kerja mereka adalah memborong tanah penduduk  dengan harga semurah-murahnya,sehingga ada pihak yang dirugikan.
Sebagai contoh lain, yang dilakukan oleh para calo tiket, pada dasarnya mengambil tiket resmi untuk dijual kembali boleh-boleh saja asalkan tidak merugikan pihak konsumen. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa makelar merupakan seorang perantara yang tidak ataupun belum memiliki suatu barang, ia hanya bertugas menjualkan/mempertemukan antara si penjual dan pembeli.










DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar. 1994. Problematika Pelaksanaan Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Hasan.Ali. 2004.Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (fiqh muamalah). Jakarta. PT Grafindo Persada
Sabiq,Sayyid.1996.Fiqh Sunnah 12. Bandung:PT al-Ma’arif
Yakub,Hamzah.1992. Kode Etik Dagang dalam Islam:Pola Pembinaan Hidup Berekonomian. Bandung. CV Diponegoro
http://caknenang.blogspot.com/2011/04/konsep-simsarah-dalam-ekonomi-islam.html?m=1

Makalah Konsep Riba dan Bunga Bank Perspektif Al-Qur'an

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang
Islam mengajarkan kepada umatnya agar tolong menolong, salah satu contohnya adalah dalam bentuk peminjaman uang. Namun pemberian pinjaman itu jangan sampai merugikan dan menyengsarakan orang lain. contoh peminjaman yang merugikan adalah sistem riba yang mengandung unsur kelebihan dan tambahan tanpa ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang yang melakukan transaksi/akad. Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang.
Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya, timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba. Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi.
Rumusan Masalah
Apa definisi riba dan bunga?
Bagaimana tinjauan historis riba dan bunga?
Bagaimana pandangan Al-qur’an terhadap riba dan bunga?
Tujuan Penulisan
Mengetahui definisi riba dan bunga
Dapat memahami tinjauan historis riba dan bunga
Dapat memahami pandangan Al-qur’an terhadap riba dan bunga
BAB II PEMBAHASAN

Pengertian Riba dan Bunga
Pengertian Riba
Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan pinjaman sat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok pengambilan tambahan atau modal secara batil. Ada bebrapa pendapat dalam menjelaskan riba, tetapi secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam islam.
Riba dalam agama islam
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Sehingga mendorong maraknya perbankan syariah yang konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bungan bank termasuk  ke dalam riba.
Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang
Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang. Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.
Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.
Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.
Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.
Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.
Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang
Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan.
Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.
Pengertian Bunga
Bunga merupakan terjemahan dari kata “interest” yang berarti tanggungan pinjaman uang atau persentase dari uang yang dipinjamkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bunga adalah imbalan jasa penggunaan uang atau modal yang dibayar pada waktu tertentu berdasarkan ketentuan atau kesepakatan, umumnya dinyatakan sebagai persentase dari modal pokok.
Bunga bank juga dapat didefinisikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank dengan prinsip konvensional kepada nasabah yang melakukan transaksi simpan atau pinjam kepada bank. Ada berbagai macam jenis bunga bank, misalnya bunga deposito, bunga tabungan, giro, dan lain-lain.



Berdasarkan metodenya, bunga bank dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
Bunga Simpanan
Bunga simpanan merupakan bunga yang diberikan oleh bank kepada nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Pemberian bunga ini didasarkan pada porsentase dari simpanan pokok, dimana sumber bunganya berasal dari keuntungan utang-piutang yang dilakukan pihak bank.
Bunga Pinjaman
Bunga pinjaman adalah bunga yang diberikan kepada nasabah yang melakukan peminjaman uang di bank, dimana nantinya nasabah harus membayar melebihi jumlah pinjaman pokok dengan batasan waktu tertentu.
Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tabel Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
Bunga
Bagi Hasil

Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi

Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh

Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
Tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak

Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan

Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Riba
Dalam konteks peminjaman dapat di misalkan, si A memberikan pinjaman uang kepada si B dengan mempersyaratkan si B akan mengembalikan pinjaman tersebut dengan tambahan yang berupa uang atau barang . Tambahan (ziyadah)  atas pinjaman tersebut yang dinamakan riba. Dalam konteks perdaganganpun riba bisa muncul seperti perdagangan yang bersifat pertukaran atau barter (muqayadlah). Si A melakukan barter dengan si B berupa 1 kg beras dengan 1,5 kg beras. Si A mempersyaratkan agar beras si B harus lebih banyak 0,5 kg dari beras si A. Tambahan atau selisih antara keduanya itulah yang disebut riba. Riba yang pertama dalam konteks hukum islam disebut riba  nasi’ah dan yang kedua dinamakan riba fadl .

Tinjauan Historis Riba dan Bunga
Tinjauan Historis Riba
Riba dikenal pada masa peradaban Farao di Mesir, peradaban Sumeria, Babilonia dan Asyuriya di Irak, dan peradaban Ibrani Yahudi.Termaktub dalam perjanjian lama bahwa diharamkan Yahudi mengambil riba dari orang Yahudi, namun dibolehkan orang Yahudi mengambil riba dari orang diluar Yahudi.
Tidak dapat dipastikan kebenaran perkiraan di atas kecuali keberadaan riba pada peradaban Yahudi. Karena Alqur’an menjelaskan bahwa Bani Israil (umat Nabi Musa AS) melakukan riba dan Allah-pun telah melarang mereka memakan riba. Allah berfirman,
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.“ (QS. An Nisaa: 160-161)
Kemudian umat Yahudi memperkenalkan riba kepada bangsa arab di Semenanjung Arabia, tepatnya di kota Thaif dan Yatsrib (kemudian dikenal dengan Madinah). Di dua kota ini Yahudi berhasil meraup keuntungan yang tak terhingga, sampai-sampai orang-orang Arab jahiliyah menggadaikan anak, istri dan diri mereka sendiri sebagai jaminan utang riba. Bila mereka tidak mampu melunasi utang maka jaminan mereka dijadikan budak Yahudi. Dari kota Thaif praktik riba menjalar ke kota Makkah dan dipraktikkan oleh para bangsawan kaum Quraisy jahiliyah. Maka riba marak di kota Makkah. Sebagaimana yang kita ketahui dalam khutbah Rasulullah di Arafah pada haji wada’ beliau bersabda,
“Riba jahiliyah telah dihapuskan. Riba pertama yang kuhapuskan adalah riba Abbas bin Abdul Muthalib, sesungguhnya riba telah dihapuskan seluruhnya”. (HR. Muslim)
Bentuk-bentuk Riba yang dilakukan orang-orang jahiliyah:
Seseorang memberikan pinjaman 10 keping uang emas selama waktu yang ditentukan dengan syarat nanti dibayar sebanyak 11 keping uang emas.
Seseorang meminjamkan 10 keping uang emas, bila jatuh tempo pelunasan dan ia (peminjam) belum mampu membayar, ia mengatakan, “Beri saya masa tangguh, nanti piutang anda akan saya tambah”.
Seseorang memberikan pinjaman modal usaha 100 keping uang emas. Setiap bulannya ia mendapat bunga 2 keping uang emas. Bila telah sampai masa yang ditentukan, si peminjam harus mengembalikan modal utuh sebanyak 100 keping uang emas. Jika ia telat melunasi, maka ia harus membayar denda keterlambatan yang terkadang rasionya lebih besar dari pada bunga bulanan.
Seseorang membeli barang dengan cara tidak tunai. Bila ia belum melunasi hutang pada saat jatuh tempo maka ia harus membayar denda keterlambatan selain melunasi hutang pokok.
Tinjauan Historis Bunga
Ulama saat ini sesungguhnya telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali konferensi, muktamar, simposium dan seminar, para ahli ekonomi Islam dunia, Chapra menemukan terwujudnya ksepakatan para ulama tentang bunga bank. Artinya tak satupun para pakar yang ahli ekonomi yang mengatakan bunga syubhat atau boleh. Ijma’nya ulama tentang hukum bunga bank dikemukakan Umer Chapra dalam buku The Future of Islamic Economic, (2000). Semua mereka mengecam dan mengharamkan bunga, baik konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena bungan telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai negara. Krisis ekonomi dunia yang menyengsarakan banyak negara yang terjadi sejak tahun 1930 s/d 2000, adalah bukti paling nyata dari dampak sistem bunga.
Menurut Hosen dan Hasan Ali (PKES, 2008:12) beberapa alasan mengapa bunga menjadi dilarang dalam Islam, diantaranya addalah:
Bunga(interest) sebagai biaya produksi yang telah ditetapkan sebelumnya cenderung menghalangi terjadinya lapangan kerja penuh (full employment)
Krisis-krisis moneter internasional terutama disebabkan oleh institusi yang memberlakukan bunga. Siklus-siklus bisnis dalam kadar tertentu dinisbahkan kepada fenomena bunga
Teori ekonomi modern yang berbasis bunga ini belum mampu memberikan justifikasi terhadap eksistensi bunga
Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan fatwa tentang bunga bank (interest/fa’idah), yaitu:
Bunga (interest atau fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al qaradh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan atau hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan presentase
Riba adalah tamabahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya.
Pandangan Al-qur’an Terhadap Riba dan Bunga
Hal paling mendasar dari pengembangan sistem lembaga keuangan syariah adalah adanya pelarangan riba dan dan pengembangan transaksi syariah. Dalam hal ini instrumen bunga yang dikembangkan dalam ekonomi konvensional dan sebagai satu-satunya parameter dalam sistem keuangannya merupakan hal yang bertolak belakangan sama sekali dengan ekonomi Islam. Hal ini bukan saja karena secara normatif adanya pelarangan yang tegas dalam Al Qur’an, tetapi sistem bunga dalam realitasnya adalah riba yang mengandung aspek kezaliman berupa  adanya eksploitasi satu pihak terhadap pihak lain. Keadilan ekonomi dan keseimbangan sosial seperti yang dipaparkan di atas tidak dapat terwujud ketika sistem berbasis bunga masih terus dipraktikkan.
Secara normatif, keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadist Rasululloh Saw. Di dalam Al Qur’an, para musafir mengatakan bahwa proses keharaman riba disyariatkan Alloh secara bertahap, yaitu :
Tahap pertama, Alloh menunjukkan bahwa riba bersifat negatif. Pertanyaaan ini disampaikan Alloh dalam surat Al Rum (30):39
         
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Alloh. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Alloh, maka (yang berbuat demikian) itulah orag-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Ayat ini merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba. Menurut para musafir, ayat ini termasuk ayat Makiyah (ayat-ayat yang diturunkan pada periode Makkah). Akan tetapi, para ulama sepakat menyatakan bahwa ayat ini tidak berbicara tentag riba yang diharamkan.
Tahap kedua, Alloh telah memberi isyarat tentang keharaman riba melalui kecaman terhadap praktik riba di kalangan masyarakat Yahudi. Hal ini disampaikan-Nya dalam surat Al-Nisa’ (4): 161 yang berbunyi:

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Tahap ketiga, Alloh mengaramkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas. Hal ini disampaikan oleh  Alloh dalam surat Ali Imran (3) :130 yang berbunyi :

“Hai orang-orang  yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipatganda dan bertakwalah kamu kepada Alloh supaya kamu mendapat kebenruntungan.”
Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukan merupakan syarat dari terjadinya riba tetapi merupakan sifat/karakteristik dari praktik membungakan uang saat itu. Dalam hal ini, ath-Thabari, menjelaskan bahwa adh’afan mudha’afah dapat terjadi juga atas permintaan perpanjangan waktu saat utang jatuh tempo dan salah satu pihak yang berutang akan memberi kelebihan ataupun pemberi piutang itu sendiri meminta kelebihan atas piutangnya (ath-Thabari, 1954: 90). Dengan demikian, bunga dalam jumlah besar berlipat ganda atau kecil sekalipun tetap merupakan riba. Demikian pula ayat ini juga perlu dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat Al-Baqarah.
Tahap keempat, Alloh mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya. Hal ini disampaikan melalui firmanNya dalam surat Al-Baqarah (2) : 275-278. Dalam ayat 275 Allah menyatakan bahwa jual-beli sangat berbeda dengan riba, dalam ayat 276 Allah menyatakan memusnahkan riba :

Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adlah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padhal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adlah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya(275). Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa (276)”.
Dan terakhir dalam surat Al-Baqarah ayat 278 yang berbunyi :



Artinya : “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman”.
Pada tahap terakhir ini Allah memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada. Keharaman riba secara total ini, menurut para pakar fikih, terjadi pada akhir abad kedelapan atau awal abad ke9 Hijriah.
Alasan keharaman riba juga dijelaskan dalam sunnah Rasulullah Saw. Diantaranya sabda Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah yang menjelaskan bahwa Allah melaknat orang yang memakan dan memberi makan dengan cara riba, menuliskan dan menyaksikan pencatatan riba.
Allah secara jelas telah memberikan penjelasan dalam Al-Qur’an maupun Sunnah tentang pelarangan riba pada segala bentuk transaksi bisnis. Selain adanya unsur penambahan riba juga menimbulkan adanya kezaliman pada salah satu pihak.
Dalam ilmu fiqih, dikenal tiga jenis riba, yaitu :
Riba Fadh
Riba Fadh disebut juga riba buyu’, yaitu timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa’an bi sawa’in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran semisal ini mengandung gharar, yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain. Contoh berikut ini akan memperjelas adanya gharar.
Kaum Yahudi berusaha membeli perhiasannya yang terbuat dari emas dan perak yang menjadi harta rampasan perang kaum muslimin, dengan uang yang terbuat dari emas (baca: dinar) dan uang yang terbuat dari perak (baca:dirham). Jadi, yang akan terjadi sebenarnya bukan jual-beli, tetapi pertukaran barang yang sejenis. Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak. Perhiasan perak seberat satu ‘uqiyah dijual oleh kaum muslimin seharga dua sampai tiga dirham. Padahal satu ‘uqiyah perak setara dengan 40 dirham (nilai uang perak). Jadi muncul ketidakjelasan (gharar) akan nilai perhiasan perak dan nilai uang perak (dirham).
Dalam perbankan konvensional, riba fadh dapat ditemui dalam transaksi jual-beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai (spot).
Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah disebut juga riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat utang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al-ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bid dhaman). Untung (al-ghunmu) dan hasil usaha (al-kharaj) muncul hanya karena berjalannya waktu.
Padahal dalam bisnis selalu ada kemungkinan untung atau rugi. Memastikan sesuatu (apalagi memastikan keuntungan yang tidak disertai kegiatan usaha riil) adalah diluar wewenang manusia, dan hal ini merupakan bentuk kezaliman. Pertukaran kewajiban menanggung beban ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu atau kedua pihak, atau pihak-pihak lain. Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu.
Dalam perbankan konvensional, riba nasi’ah dapat ditemui dalam pembayran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro, dan lain-lain. Sebagai kreditor, bank mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya ditentukan di awal transaksi. Padhal nasabah belum tentu mendapatkan keuntungan yang pasti. Jadi, mengenakan bunga untuk sesuatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu (keuntungan) yang tidak pasti, karena itu diharamkan. Keuntungan pasti di pihak kreditor, tetapi tidak pasti di pihak nasabah. Inilah bentuk kezalimannya.

Riba Jahiliyah
Riba jahiliyah adalah utang yang dibayar harus lebih dari pokok pinjaman tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Hakikat pinjaman adalah transaksi kebaikan , sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis. Jadi, transaksi yang semula bermotif kebaikan tidak boleh diubah menjadi bermotif bisnis. Dari segi waktu, riba jahiliyah termasuk riba nasi’ah, karena keuntungan timbul berdasarkan berjalannya waktu. Dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan, riba jahiliyah termasul riba fadh.
Dalam perbankan konvensional, riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
Jadi, selain mengandung unsur kezaliman, dan eksploitasi pada salah satu pihak, aktivitas riba juga akan membuat orang hidup malas dengan asumsi tanpa bekerja keras sesorang akan memperoleh rate of inforest yang bersifat certainly. Hal-hal lain yang berkaitan dengan risiko dinafikan hingga pada saatnya terjadi dan tidak dapat dielakkan dan diderita kerugian besar.
 Kebiasaan melakukan riba juga akan menghambat tumbuhnya sektor riil yang dalam kerangka makro berimplikasi pada menurunnya partisipasi kerja, penurunan daya beli masyarakat akibat menurunnya pendapatan. Senapas dengan pelarangan riba ini terkandung pula pelarangan terhadap berbagai transaksi yang diharamkan termasuk adanya unsur penipuan, kecurangan, pemalsuan, monopoli, dan semua yang berjujung pada eksploitasi satu pihak terhadap pihak lain.


















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan makalah di atas, kami dapat membuat kesimpulan bahwa bunga adalah kelebihan uang yang harus dibayarkan oleh nasabah kepada bank, sedangkan riba adalah tindakan yang diarang oleh Islam karena tidak berdampak buruk bagi semua pihak.
 Dalam pihak peminjam jelas-jelas merasa dirugikan karena terkadang bunga yang diberikan terlalu tinggi. Meskipun dalam pihak yang meminjamkan sekarang mendapatkan keuntungan, namun jika dilihat dari firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 276-279, menjelaskan bahwa hartanya yang diperoleh itu tidak akan membuahkan kebaikan padanya.
Mereka akan selalu merasa kurang dengan apa yang dimilikinya. Agama Islam tidak akan mempersulit umatnya dalam mencari rezeki. Jangan sampai niat dalam mencari rezeki justru membuat apa yang kita miliki menjadi haram. Karena dijelaskan dalam salah satu riwayat hadits, diharamkan masuk surga jika ada daging secuwil yang tumbuh dari hasil riba.


DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Euis. 2009. Keadilan Distributif  dalam Ekonomi Islam. Jakarta : Rajagrafindo Persada
Hadi, ASA. 1993. Bunga Bank dalam Islam. Surabaya : Al-Ikhlas
Mardani. 2011.  Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah. Jakarta : Rajagrafindo Persada
https://id.wikipedia.org/wiki/Riba
https://sekolahmuamalah.com/sejarah-riba/
https://www.kompasiana.com/azizahzahra/5721f305167b61b808ac9f7a/bunga-bank-dalam-pandangan-islam?page=all



Makalah Penulisan dan Pembukuan Hadits Nabi Muhammad SAW

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam sejarah penghimpunan dan kondifikasi hadist mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kondifikasi alquran. Hal ini karena  Al-Quran sejak awal mendapat perhatian secara khusus, baik dari rasulullah shalallahu alaihi wasalam maupun para sahabat berkaitan dengan penulisanya. Bahkan Al-Quran secara resmi dikondifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar  yang dilanjutkan dengan usman bin affan, yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa rasulullah.
Sementara itu, perhatian dalam menulis alquran hadist telah melewati proses sejarah yang sangat panjang. Setidaknya sampai sekarang ini, hadist telah melewati kurang lebih 7 masa atau priode perkembangan.
Hadis merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an, Hadist menjadi penjelas dari apa yang terkandung dalam Al-Qur’an. Hadist sumber hukum islam selain Al-Qur’an ini wajib diikuti baik dalam bentuk perintah maupun larangan. Oleh karena itu, sangatlah penting dan mendasar mengetahui pembagian Hadist sumbernya yaitu Hadist qudsi dan Hadist nabawi.

Rumusan Masalah
Bagaimana perkembangan penulisan hadits
Bagaimana sejarah perkembangan pembukuan hadits
Jelaskan metode penulisan hadits
Tujuan Penulisan
Agar semua memahami bagaimana cara para sahabat melakukan penulisan dan pembukuan hadits yang dilakukan pada masa Nabi SAW.
BAB II
PEMBAHASAN
Penulisan Hadist
Penulisan adalah suatu media terpenting bagi pemeliharaan ilmu pengetahuan dan penyebarannya kepada masyarakat luas. Tidak terkecuali ini telah menjadi suatu media dalam upaya pemeliharaan hadist, meskipun dalam hal ini terdapat sejumlah riwayat yang berbeda dan pandangan yang beraneka ragam. Berkenaan dengan penulisan hadist telah lahir sejumlah kitab, baik di zaman dahulu maupun di zaman belakanngan.
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a., katanya, “Tidak seorang pun dari sahabat Nabi yang lebih banyak dariku dalam meriwayatkan hadist, kecuali Abdullah bin ‘Amr. Dahulunya ia menulis sedangkan aku tidak.”
Riwayat lain dalam sunah Abi Dawud, dari al-Musnad dan Abdullah bin Amr, beliau berkata, “Saya telah menulis segala yang aku dengar dari Rasulullah Saw untuk aku hafalkan. Maka orang-orang Quraisy melarangku dengan berkata: ‘Apakah kamu menulis segala sesuatu sedangkan Rasulullah Saw itu adalah manusia yang kadang-kadang berkata dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah’. Maka aku pun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya kepada Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw melarang penulisan hadist tetapi setelah beliau melihat bahwa Sunah semakin banyak dan hafalan itu lambat laun akan hilang, maka beliau memerintahkan agar Sunah ditulis dan didokumentasikan. Kemungkinan kedua adalah bahwa kebolehan menulis Sunah itu dikhususkan bagi beberapa orang sahabat, seperti Abdullah bin ‘Amr karena ia dapat membaca kitab-kitab terdahulu dan dapat menulis dengan bahasa Siryani dan Arab, sedangkan sahabat yang lain adalah orang-orang yang ummi, tidak dapat membaca dan menulis, kecuali satu-dua orang yang apabila menulis belum dapat dipertanggungjawabkan karena tidak  sesuai dengan kaidah penulisan huruf hijaiyah. Oleh karena itu, ketika beliau yakin bahwa kekhawatirannya itu tidak akan terjadi pada Abdullah bin ‘Amr, maka beliau mengizinkannya.”
Al-Khaththabi menyatakan dalam kitabnya Ma’alim al-Sunan: “Kemungkinan besar larangan penulisan itu datang terlebih dahulu , kemudian datang pembolehannya.” Pendapat lain menyatakan bahwa larangan itu ditujukan kepada penulisan hadis bersama Al-quran dalam satu lembar. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan bagi para pembacanya. Adapun penulisan hadis dan ilmu lainnya bukanlah suatu hal yang dilarang. Al-Ramahurmuzi cenderung atas dinasakhanya larangan penulisan. Untuk itu ia menyatakan: “Saya cenderung berpendapat bahwa hadis itu relevan untuk awal tahun Hijrah saja, dan ketika ada kekhawatiran bahwa umat Islam akan berpaling dari Al-quran apabila mereka menggeluti penulisan hadis.
Demikian pendapat para ulama dalam upaya mengatasi kontradiksi hadis-hadis itu. Namun pendapat mereka hanya berdasarkan ijtihad yang sulit ditemukan sandaran riwayatnya, kecuali mereka yang menyatakan bahwa dalam kasus kontradiksi itu terjadi nasikh dan mansukh yang berpijak pada riwayat. Hal ini dipegang oleh para ulama, seperti Al-Mundziri, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hajar. Mereka bersikap demikian karena izin penulisan itu datang setelah pelarangan.
Jalan penyelesaian yang dapat kita terima adalah bahwa penulisan hadis itu pada hakikatnya tidak dilarang, karena ia bukan hal yang ta’abbudi (ritual) dan berada diluar jangkauan akal manusia. Dan seandainya keberadaan penulisan hadis itu dilarang niscaya tidak mungkin akan keluar izin penulisan hadis kepada seorang pun.
Atas dasar inilah pelarangan penulisan itu pasti dilatarbelakangi oleh suatu “illat yang tepat menurut pandangan kami adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat islam dari Al-quran karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.
Apabila kita perhatikan ucapan para sahabat yang tidak mau menulis hadist dan melarang penulisannya, maka akan kita dapatkan bahwa mereka telah menjelaskan ‘illat itu. Misalnya Abu Hurairah  berkata, “ Aku pernah berkata kepada Abu Said , “Seandainya kamu menuliskan hadist untuk kami, karena kami tidak hafal.” Abu Said berkata: “Kami tidak akan menuliskan hadist buat kamu  dan kami tidak akan menjadikannya dalam lembaran-lembaran. Rasulullah Saw menyampaikan hadis kepada kami dan kami menghafalkannya. Maka hafalkanlah dari kami sebagaimnana kami menghafalkan dari nabimu.
Abu Sa’id adalah orang yang meriwayatkan hadist tentang pelanggaran penulisan hadist. Ia menafsirkan pelanggaran itu sebagai kekhawatiran Rasulullah Saw akan ditempatkan hadist dalam posisi mengalahkan Al-quran. Dan rawi suatu hadist pasti lebih tahu tentang hadist yang bersangkutan, sebagaimana ditegaskan oleh ulama.
Diriwayatkan dari Urwah bin Zubair bahwa Umar bin Al-Khaththab ingin meniliskan sunah-sunah Rasulullah Saw , lalu beliau merundingkan keinginannya itu dengan para sahabat, dan mereka sepakat agar beliau mewujudkan keinginan itu. Namun kemudian beliau bingung. Beliau beristikharah selama sebulan untuk menentukan sikapnya. Setelah mendapatkan petunjuk dan Allah, beliau berkata “Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan. Sunah-Sunah Rassulullah Saw. Akan tetapi, bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka asyik menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah, saya tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan suatu apapun buat selama-lamanya.
Oleh karena itu penulisan hadist yang diizinkan oleh Rasul adalah penulisan yang tidak dijadikan sebagai bahan bacaan umum di kalangan sahabat. Oleh karena itu Rasul tidak memerintah seorang pun untuk menulis hadist seperti perintah beliau untuk menulis Al-quran. Beliau hanya memberi izin penulisan itu kepada beberapa sahabat  secara individu dan mereka tidak pernah tukar menukar catatan hadist. Tulisan hadist yang mereka miliki hanya mereka simpan sebagai penguat hafalan mereka. Baru setelah ilmu A-quran tersebar luas, para penghafal dan pembacanya telah banyak, dan telah diyakini bahwa Al-quran telah dapat menjiwai  seluruh masyarakat serta tidak lagi dikhawatirkan bercampur dengan yang lain, maka umat islam mulai melangkah dengan pembukuan hadist dengan melibatkan peran serta masyarakat umum dan tulisan-tulisan hadist pun mulai beredar. Hal ini terjadi atas instruksi seorang khalifah yang sangat adil, Umar bin Abdul Aziz.
Dari uraian diatas di atas kita ketahui bahwa penulisan hadist itu melalui dua tahap. Tahap yang pertama, penghimpunan hadist dalam lembaran-lembaran untuk kepentingan para penulisnya secara pribadi. Tahap ini bermula ketika Rasul masih hidupdan dilaksanakan atas izinnya/ tahap kedua, penulisan hadist dengan tujuan dijadikan sebagai referensi yang akan diedarkan kepada masyarakat umum. Tahap ini bermula pada abad kedua Hijriah.
Pada umumnya penulisan hadist pada kedua tahap ini sekedar untuk menghimpun hadist kedalam lembaran-lembaran saja. Karenanya tidak menggunakan sistematika tertentu. Pada pertengahan abad kedua, penulisan hadist mulai sistematis, yakni bedasarkan bab-bab tertentu. Dan penyusunan hadist secara sistematis ini mencapai puncaknya pada abad ketiga Hijriah. Kemudian abad ini dikenal sebagai abad pembukuan hadist.
Sebenarnya penulisan hadist dimasa Rasulullah Saw telah mencakup sejumlah besar hadis yang apabila dikumpulkan akan menjadi sebuah kitab yang cukup tebal. Diantara tulisan hadist pada waktu itu adalah sebagai berikut:
Al-Shahifah al-Shadiqah
Ditulis oleh Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Ia berkata, “Saya hafal seribu buah kata mutiara dari nabi Saw. Ia sangat menghargai hasil tulisannya itu, ia berkata, “Tidak ada yang lebih menyenangkan diriku didunia ini kecuali Al-Shahifah al-Shadiqah dan al-Wahth Pada gilirannya shgahifah itu berpindah tangan kepada seorang cucunya, yaitu ‘Amr bin Syu’aib. Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan sebagian besar isi shahifah ini dalam bab Musnad Abdullah bin ‘Amr melalui riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya.
Shahifah Ali bin Abi Thalib
Shahifah ini sangat tipis dan hanya berisi hadist-hadist tentang ketentuan hukum diat dan pembebasan tawanan.

Shahifah Sa’ad bin ‘Ubadah
Sa’ad bin ubadah adalah seorang sahabat senior At-Turmudzi meriwayatkan dalam kitab Sunan nya dari Ibnu Sa’ad bahwa Rasulullah Saw menjatuhkan hukuman bedasarkan sumpah dan seorang saksi.” Akan tetapi kita tidak temukan selain hadist itu dari kitab ini.

Surat-surat Rasulullah Saw.
Surat-surat kepada gubernur dan pegawai beliau berkenaan dengan pengaturan wilayah Islam dan negara-negara terdekat , serta penjelasan hukum-hukum agama. Surat-surat tersebut cukup banyak jumlahnya. Semuanya mengandung sejumlah hukum dan akidah islam yang penting, strategi pengembangannya, penjelasan nisab dan kadar zakat, diat, hat, hal-hal yang haram, dan sebagainya

Pendapat Sejumlah Orientalis tentang Penulisan Hadist

Meskipun faktor-faktor pendukung pemeliharaan hadist di kalangan sahabat sedemikian kompletnya, tetapi sebagian orientalis melancarkan serangan dengan tuduhan yang bukan-bukan sehubungan dengan hal ini. Kebanyakan mereka , terutama tokoh mereka Goldziher, sejak semula telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan hadist pada masa sahabat sampai awal abad kedua Hijriah. Atas dasar ini kemudian mereka berkesimpulan bahwa pada kurun waktu yang cukup lama ini hadist tersia-sia adanya karena tidak ditulis.
Sebenarnya sikap mengingkari pemeliharaan hadist pada waktu Rasulullah masih hidup akan tidak mungkin datang dari orang yang yang bersikap ilmiah dan objektif, karena riwayat tentang penulisan hadist-hadist kuat dan sanadnya juga sangat banyak. Hal ini terdapat di berbagai kitab hadist sehingga mencapai derajat mutawatir.
Adapun pembukuan hadist pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz itu sama sekali tidak menunjukan bahwa sebelumnya tidak prah ada upaya penulisan hadist. Upaya pembukuan hadist dan tidak mau tukar-menukar kitab hadist untuk dijadikan pegangan bersama. Oleh karena itu, beliau mengeluarkan instruksi untuk diandalkan pembukuan  hadist sebagai media penyebaran ilmu menuju pembukaan secara besar-besaran. Beliau menjadikan kitab hasil pembukuan waktu itu sebagai pegangan untuk umum, bukan hanya bagi penyusunnya saja. Hal itulah yang dimaksud oleh Ibnu Hajar dengan pernyataannya sebagai berikut, “Sesungguhnya hadist-hadist Nabi Saw pada masa sahabat dan tabhi’in nyang agung belum dilakukuan dalam kitab-kitab jami’ dan belum tersusun rapi.” Apabila orang memahami pernyataan ini tidak seperti yang kami jelaskan diatas pasti Akan berpandangan negatif dan tidak kritis.
Sejalan dengan pembelaan kami ini, kami tidak berpendapat bahwa seluruh hadist Nabi Saw sudah ditulis waktu itu. Kami tidak sependapat dengan sejumlah penulis yang mengarah kepada berlebih-lebihan dengan beranggapan bahwa penulisan hadist pada masa Rasulullah masih hidup telah meliputi seluruh hadist. Dengan sikap sedemikian mereka seakan mengabaikan para orientalis yang mengoyak pagar lindung yang disebabkan ketidak pedulian mereka tentang hakikat.


Sejarah  Pembukuan Hadits Pada Masa Prakodifikas
Hadits pada Masa Rosulullah
Masa yang dikenal dengan ‘Ashr al Wahyu wa al Takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan karena pada masa Nabi wahyu masih turun dan banyak hadist Nabi yang ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadist Nabi. Sehingga muncullah pelarangan penulisan hadits, karena beberapa sebab.
Para sahabat sangat mencintai Rosulullah  melebihi kecintan pada keluarga mereka dan diri mereka sendiri. Mereka selalu berusaha menghafalkan ajaran-ajaran islam melalui Al Quran juga, lalu rindu bertemu Rosulullah untuk mendapatkan ajaran agama.

اَخْبَرْنَا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانُ ,قَالَ : حَدَّثَنَا كَثِيْرَ بْنُ يَحْيَى صَاحِبُ الْبَصْرِيِّ, قَالَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ , عَنْ زَيْدِ بْنِ اَسْلَمَ , عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ , عَنْ اَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ , قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (لاَ تَكْتُبُوْا عَنِّى اِلاَّ الْقُرْاَنُ , فَمَنْ كَتَبَ عَنِّي شَيْأً فَلْيَمْحُهُ)
Yang artinya:
”Abu Hatim RA berkata: larangan penulisan selain Al Qur’an oleh Rosulullah Saw dimaksudkan sebagai anjuran untuk menghafal hadist agar tidak mengandalkan penulisan dan tidak mau menghafal dan memahaminya”.
Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab shahihnya bersumber dari hadist Abu Hurairah RA, dia berkata, “ tidaklah ada diantara sahabat-sahabat Nabi yang hafalan hadistnya lebih banyak dariku kecuali Abdullah bin Amru, karena ia menulis hadist sedangkan aku tidak.”
Para ulama mengkompromikan antara izin Rosulullah Saw untuk menulis khutbah bagi Abu Syah dan larangan penulisan hadist yang disebutkan dalam hadist Abdullah bin Mas’ud adalah  karena hadist Abdullah bin Mas’ud  khusus berlaku pada waktu turunnya ayat Al Qur’an agar tidak dikhawatirkan berbaur dengan yang lain.
Sementara izin Rosulullah Saw untuk menulis hadist berlaku diluar waktu turunnya AlQur’an, atau larangan tersebut berlaku ketika selain Al Qur’an ditulis dengan Al Qur’an diatas satu lembar yang sama, sedangkan izin penulisan selain Al Qur’an dizinkan ketika alquran dan hadits ditulis pada lembar yang berbeda, atau larangan yang didahulukan sedangkan izin adalah penghapusan hukum larangan tersebut ketika tidak lagi dikhawatirkan pembauran Al Qur’an dengan selain Al Qur’an, dan inilah kemungkinan paling benar meski tidak menafikan.
Ada juga yang mengatakan bahwa larangan penulisan selain Al Quran berlaku khusus untuk orang yang hanya mengandalkan tulisan saja dan tidak mau menghafalkan hadist, sedangkan izin bolehnya menulis hadist adalah untuk orang yang dikhawatirkan dari hal tersebut. Ada juga yang mengatakan bahwa hadist Abdullah bin Mas’ud adalah hadist yang cacat namun yang benar adalah hadist Abdullah bin Mas’ud mauquf, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Bukhari dan lainnya.
Para ulama hadist berkata, ” segolongan dari sahabat Nabi  dan thabiin memakhruhkan penulisan hadist dan mereka menganjurkan untuk dihafalkan sebagaimana mereka juga mendapatkan hadist terebut secara hafalan. Hanya saja setelah idealisme kaum muslim melemah dan para imam khawatir ilmu akan lenyap, mereka pun menulis hadist. Orang yang pertama menulis hadist adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri diawal abad bersumber dari perintah Umar bin Abdul Aziz. Setelah itu penulisan hadist pun semakin banyak yang disusul dengan berbagai penyusunan kitab hadist sehingga dengan kegiatan tersebut tidak sedikit kebaikan yang diperoleh.
Pemeliharaan hadist pada masa Nabi disebabkan oleh beberapa penyebab, seperti pertama karena kejernihan hati dan kuatnya daya hafal yang dimiliki oleh para sahabat. Kesederhanaan kehidupan dan jauhnya dari hiruk pikuk peradaban kota dengan segala macam problematikanya menjadikan bangsa arab jernih hatinya. Hanya dengan sekali mendengar syair-syair panjang, kutbah, dan lainnya yang tercatat dalam sejarah, mereka sudah mampu menghafalnya. Ini merupakan kebanggaan yang tidak pernah dimiliki oleh umat lain. Kedua yaitu minat yang kuat terhadap agama islam.
Bangsa arab yakin bahwa tidak ada kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta tidak ada jalan menuju kemuliaan dan kedudukan terhormat diantara umat lain kecuali dengan agama islam. Oleh karena itu mereka mempelajari seluruh hadist Nabi dengan penuh perhatian. Faktor pendukung ketiga yaitu kedudukan hadist dalam agama islam. Sebagaimana telah maklum bahwa hadist merupakan sendi asasi yang telah membentuk pola pikir, perbuatan, dan etika para sahahat.
Mereka manyadari bahwa betapa pentingnya kedudukan hadist Nabi dalam agama islam, bahwa hadist nabi merupakan pilar kedua setelah Al Quran, orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat kebahagiaan.
Sebagai figur, Nabi menjadi pusat perhatian dalam kapasitas sebagai pemimpin, teladan dan penyampai syariat Allah yang hampir semua perkataan dan perilakunya bermuatan hukum.
Beliau menempuh beberapa metode dalam menyampaikan hadist kepada mereka dan menempuh jalan yang benar-benar hikmah agar mereka benar-benar mampu mengemban tanggungjawab, diantara cara beliau adalah sebagai berikut:
a.      Melalui majlis al a’lim, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jama’ah.
b.     Beliau tidak menyampaikan hadits secara beruntun, melainkan sedikit demi sedikit agar dapat meresap dalam hati
c.      Beliau tidak berbicara dengan panjang lebar melainkan dengan sedehana.
d.    Nabi seringkali mengulangi pembicaraannya agar dapat ditangkap oleh hati orang-orang yang mendengarnya.
2.     Hadits Pada Masa Sahabat Dan Thabi’in
Setelah Nabi wafat, para sahabat tidak dapat mendengar sabda–sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan, dan hal ikhwal Nabi secara langsung. Kepemerintahan selanjutnya dipegang oleh Abu Bakar, dalam masanya banyak sekali permasalahan-permasalahan diantaranya seperti pemurtadan kaum muslimin, keengganan membayar zakat serta keberanian untuk memalsuan hadist. Abu Bakar bertindak dengan tegas dan hati-hati terhadap golongan-golongan itu. Selain menentang pemurtadan dan pembangkangan pembayaran zakat, beliau mengadakan pula penilaian-peniaian riwayat. Beliau meletakkan batu pertama dari undang-undang periwayatan hadist.
 Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadist tersebut. Masa ini desebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al-tatsabbut wa al-iqlal min al-riwayah). Pada sisi yang lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, tidak berarti meraka tidak memegang hadist sebagaimana halnya yang mereka terima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadist itu.
Dan tindakan ini diikuti oleh khalifah Umar ibn Khattab. Adapun usaha-usahanya adalah:
1.     Menyedikitkan Riwayat,
Para sahabat tidak bermaksud mengembangkan pasar periwayatan hadist, agar orang-orang munafik tidak memperoleh jalan untuk menambah-nambahkan hadist, dan agar terhindar dari kekeliruan-kekeliruan dan disebabkan kelupa, kekhilafan yang mengakibatkan berdusta kepada Rosulullah tanpa disadari.
2.     Berhati-hati dalam meriwayatkan hadist.
3.     Tidak meriwayatkan hadist yang belum dapat difahami umum.
Para sahabat semuanya menempuh jalan ini, yaitu tidak menyampaikan kepada masyarakat, yang tidak dapat difahami oleh akal mereka, dikhawatirkan akan meninggalkan sebagian hukum syara’.
Pada masa Ali, timbul perpecahan  dikalangan umat Islam akibat konflik politik, antara umat Islam terpecah menjadi tiga golongan:
1.     Khawarij, golongan yang menyalahkan Ali dan memandang menerima tahkim adalah kekafiran.
2.     Syi’ah, pendukung setia terhadap Ali, menerima tahkim dan mereka ini mempunyai pendirian sendiri dalam masalah imamah.
3.     Jumhur Muslimin, diantara mereka ada yg mendukung Ali, ada yang mendukung mu’awiyah, dan ada pula yang netral.
Perpecahan ini selain memengaruhi kepemerintahan, juga memengaruhi perkembangan hadist pada masa itu. Dalam kalangan khawarij didapati diantara mereka yang berdusta terhadap Rosulullah dalam berhadist untuk memperkuat mahzabnya agar diterma oleh pengikut mereka.dengan cara menolak hadist yang bukan dari golongan mereka. Selain itu kelompok syi’ah juga memebuat hadist dalam berbagai maksud. Diantaranya ialah hadist yang mereka palsukan mengenai keutamaan Ali dan merendahkan kedudukan Mu’awiyah dan Bani Umayah. Sebagian kaum Syi’ah beusaha membuat hadits-hadits palsu untuk kepentingan duniawi, dalam mempeoleh kedudukan.
Dalam hal ini jumhur ulama tidak lah memihak diantara salah satu golongan. Jumhur ulama membersihkan hadist dari sisipan kedua golongan. Pada masa itu masih mudah untuk menentukan hadist yang benar dan menolak hadist palsu. Para sahabat dan tabi’in membuat peraturan yang ketat. Yakni para sahabat tidak lagi menerima suatu hadist tanpa menanyakan sanadnya dan meneliti perawinya dan para thabi’in pun apabila menerima suatu hadist, menanyakan pendapat sahabat terhadap.
Masa abad thabi’in ini disebut Masa Prakodifikasi Hadist (al-jam’u wa at-tadwin).
Teknik pembukuan hadist pada periode Tabi’in yaitu al-mushannaf, al-muwathatha, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah:
1.     Al-Mushannaf dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadis yang didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh yang didalamnya mencantukan hadist marfu’, mawquf, dan maqthu. Misalnya, al-Mushannaf oleh Abdul-Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
2.     Al-Muwathatha dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah Al-Muwathatha diartikan sama dengan Mushannaf yaitu teknik pembukuan hadist yang didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh yang didalamnya mencantukan hadist marfu’, mawquf, dan maqthu. Misalnya, Al-Muwathatha Imam Malik dan Al-Muwathatha Ibn Dzi’ib Al-Marwazi
3.     Musnad dalam bahasa tempat sandaran sedangkan dalam istilah adalah pembukuan hadist yang didasarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan Hadist tersebut, Seperti Musnad Asy-Syafi’i.
Pusat-pusat Hadist
Kota-kota yang menjadi pusat hadist ialah:
1.     Madinah
Di antara tokoh-tokoh hadist di kota Madinah dalam kalangan sahabat adalah Abu Bakar, Umar, Abu Harairah
Diantara sarjana-sarjana tabi’in yang belajar kepada sahabat-sahabat  itu ialah Said, Urwah, Az-Zuhry, Ubaidilah ibn Abdillah ibn Utbah
2.     Makkah
Diantara tokoh hadist Makkah ialah Mu’adz, Ibnu Abbas. Di antara tabi’in yang belajar padanya ialah Mujahid, Ikrimah,Atha’ ibn Abi Rabah
3.     Kufah
Ulama sahabat yang mengembangkan hadist di Kufah ialah Ali Abdullah ibn Mas’ud,Al-Mughirah, Al-Baraq, Abu Juhaifa dan lain-lain
4.     Bashrah
Pimpinan hadist di Bashrah dari golongan sahabat ialah Anas ibn Malik, Utbah, Imran ibn Husain, Abu Bakar
Sarjana-sarjana tabi’in yang belajar pada mereka ialah Abul Aliyah, Rafi’ ibn Mihram ar-Riyahy, Al-Hasan al-Bishry
5.     Syam
Tokoh hadist dari sahabat di Syam ialah Mu’adz ibn Jabal, Ubadah ibn Shamit dan Abu Darda’. Paa beliau-beliaulah itu banyak tabi’in belajar diantaranya: Abu Udris al-Khaulany,Qabishah ibn Dzuaib, Makhul, Raja’ ibn Haiwah.
6.     Mesir
Yamh mengembangkan di Mesir ialah Abdullah ibn Amr, Uqbah ibn Amr, Kharijah ibn Hudzaifah
Di antara tabi’in yang belajar  pada mereka ialah Abu al-khair Martsad al-Yaziny dan Yazid ibn Abi Habib.
Metode penulisan al-Hadist al-Ushuli ( Kitab Sumber )
Metode Muwatta
Metode yang dipakai dalam penyusunan kitab adalah dengan menyebutkan bab-bab fiqh secara berurutan, dimulai dengan kitab thaharah, kemudian kitab sholat, ibadah, muamalah dan seluruh bab yang berkenaan dengan hukum dan fiqh. Dan kadang pula menyebutkan judul yang tidak berkaitan dengan masalah fiqh seperti kitab iman atau adab.
Secara kebahasaan kata “Muwatta” berarti sesuatu yang dimudahkan. Sedangkan menurut terminologi ilmu hadist, muwatta adalah metode pembukuan hadist yang berdasarkan klarifikasi hukum islam (abwad fikhiyah) dan mencantumkan hadist-hadist marfu’ berasal dari Nabi Muhammad SAW, mauquf (berasal dari sahabat) dan maqtu’ (berasal dari tabi’in). Dari kta muwatta timbul kesan bahwa motivasi pembukuan hadist dengan ini adalah untuk memudahkan orang dalam menemukan hadist.
Banyak sekali para ulama yang menyusun kitab hadist dengan menggunakan metode muwatta ini. Antara lain Imam Abu Muhammad Al-Marwazi (293 H), dan lain-lain. Namun tampaknya kitab imam Malik adalah yang paling popular diantara kitab-kitab muwatta, sehingga apabila disebutkan nama muwatta, maka konotasinya selalu tertuju pada kitab beliau.
Metode Mushanaf
Meskipun secara kebahasaan kata mushanaf berarti sesuatu yang disusun, namun secara terminologi kata mushanaf ini sama artinya dengan kata muwatta, yaitu metode pembukuan hadist berdasarkan klarifikasi hukum islam (abwab fikhiyah) dan mencantumkan hadist-hadist marfu’, mauquf dan maqtu’. Seperti halnya muawatta, ulama yang menulis hadist dengan metode mushanaf ini juga banyak. Diantaranya, Imam Hamad bin Salamah (176 H), Imam Waki’ bin Al-Jarrah (196 H), Imam Razzaq (211 H), Imam Ibnu Abi Syaibah (235 H).
Metode Masanid
Al-Masanid jamak dari sanad, maksudnya : buku-buku yang berisi tentang kumpulan hadist setiap sahabat secara tersendiri, baik hadist shahih, hasan, atau dhaif. Pada sebagian musnad kadang hanya terdapat kumpulan hadist salah seorang sahabat saja, atau hadist sekelompok para sahabat seperti 10 orang yang dijamin masuk surga. Al-Masanid yang dibuat oleh para ulama hadist jumlahnya banyak. Al-Kittani dalam kitabnya Ar-Risalah Al-Mustathrafuh menyebutkan jumlahnya sebanyak 82 musnad, kemudian berkata, “Musnad iu jumlahnya banyak selain yang telah kami sebutkan.
Metode Jami’
Kata Jami’ berarti sesuatu yang mengumpulkan, menggabungkan, dan mencakup. Dalam disiplin ilmu hadist, kitab jami’ adalah kitab hadist dimana metode penyusunan mencakup seluruh topik-topik dalam agama, baik aqidah, hukum, adab, tafsir, manaqib.
Kitab-kitab hadist yang menggunakan metode jami’ ini jumlahnya cukup banyak. Diantaranya, kitab jami’ karya Imam Al-Bukhari (256 H) yang berjudul : ‘Al Jami’ al-Shalih al-Musnad al-Mukhtasar min Umar Rasul Allah Shalla Allah ‘Alaihi wa slam wa Sunnanih wa Ayyamih, yang kemudian diringkas menjadi al-Jami’ al-Shalih, dan popular dengan sebutan Shahih Bukhari. Begitu pula ahli-ahli hadist yang lain, seperti Imam Muslim bin al-Hajjaj al-naisapuri (262 H) dan lain-lain menyusun kitab-kitab hadist dengan metode jami’.
Metode Mustakhraj
Manakala penyusunan kitab hadist berdasarkan penulisan kembali hadist-hadist yang terdapat dalam kitab lain. Kemudian penulis kitab yang pertama tadi mencantumkan sanad dari dia sendiri, maka metode ini disebut mustakhraj. Sebagai contoh, kitab mustakhraj atas kitab shahih al-Bukhari, maka penulisannya menyalin kembali hadist-hadist yang terdapat dalam kitab shahih bukhari. Kemudian mencantumkan sanad dari dia sendiri, bukan sanad yang terdapat dalam kitab shahih al-bukhari.
Ada lebih dari sepuluh buah kitab al-mustakhraj. Diantaranya al-mustakhraj ‘ala Shahih al-Bukhari yang disebut di muka tadi karya al-Isa’ili (371 H), dan karya Ibnu Abu Dzuhl (310 H), dan karya Abu Hamid al-haraiwi (355 H), dan ada pula kitab Mustakhraj atas Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, seperti karya Abu Nu’aim al-Ishbahani (430 H), Ibnu al-Akhram (344 H).
Metode Mustadrak
Adakalanya penyusunan kitab hadist berdasarkan menyusulkan hadist-hadist yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadist yang lain. Namun dalam menuliskan hadist-hadist susulan pertama tadi mengikuti persyaratan periwayatan hadist yang dipakai oleh kitab yang lain itu. Maka metode penulisan kitab ini disebut Mustadrak. Seperti karya Imam al-Hakim al-naisapuri (405 H). Beliau menulis kitab al-Mustadrak ‘ala Shahihain dimana hadist-hadist yang tidak tercantum di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan shahih Muslim dicantumkan dalam kitabnya. Namun beliau mengikuti kriteria-kriteria periwayatan hadist yang ditentkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Metode Sunan
“As-Sunan” yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan bab-bab tentang fiqh, dan hanya memuat hadist yang marfu’ saja agar dijadikan sebagai sumber dari para fukaha dalam mengambil kesimpulan hukum. As-sunan berbeda dengan al-Jamani’, dalam as-Sunah tidak terdapat pembahasan tentang aqidah, sirah, manaqib, dan lain sebagainya. Tapi hanya terbatas pada masalah fiqh dan hadist-hadist hukum saja, al-kittani mengatakan, “’diantaranya kitab-kitab yang terkenal dengan metode as-Sunah. Menurut istilah mereka adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkan urutan bab-bab tentang fiqh mulai dari bab iman, thaharah, zakat, dan seterusnya. Tidak ada di dalamnya sedikitpun hadist yang mauquf, sebab mauquf menurut mereka tidak dinamakan sunnah, tapi hadist.
Metode Mu’jam
Mu’jam adalah metode penulisan kitab hadist dimana hadist-hadist yang terdapat di dalamnya disusun berdasarkan nama-nama para sahabat, guru-guru hadist, negeri-negeri, atau yang lain. Dan lazimnya nama-nama itu disusun berdasarkan huruf mu’jam (alfabet), kitab-kitab hadist yang menggunakan metode mu’jam ini banyak sekali. Diantaranya yang popular adalah karya Imam al-Tabrani (360 H), beliau menulis tiga buah kitab mu’jam yaitu al-Mujam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausat, al-Mu’jam al-Shagir.


Metode Majami’
Al-Majami’ jamak majma’, yaitu setiap kitab yang berisi kumpulan beberapa mushannaf dan disusun berdasarkan urutan mushannaf yang telah dikumpulakn tersebut. Diantaranya majami’ yang terkenal adalah : jami-al Ushul min A-hadist Ar-Rasul, karya Abu As-Sa’adat, dikenal dengan sebutan Ibnu Al-Atsir (606 H), di dalamnya berisi kumpulan kuttubuh sittah (kitab hadist yang enam) yaitu : Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’I, dan yang keenam adalah muwatta’ Imam Malik sebagai ganti dari sunan Ibnu Majjah.
Metode-metode pembukuan hadist seperti yang dituturkan di atas telah dipakai oleh para penulis hadist semenjak masa Nabi Muhammad SAW. Sampai kira-kira abad kelima Hijriah, sementara kitab-kitab hadist yang menggunakan metode-metode tersebut lazim disebut sebagai kitab-kitab pokok atau induk (al Kutub al-Ummahat, karena penulisannya memiliki sanad yang bersambung kepada Nabi Muhammad SAW).
Metode Zawa’id
Yang dimaksud dengan metode Az-Zawa’id adalah karya yang berisi kumpulan hadist-hadist tambahan terhadap hadist yang ada pada sebagian kitab-kitab yang lain. Buku yang terkenal dalam bidang ini antara lain adalah : Misbah Az-Zujajah fi Zawa’id Ibnu Majjah, karya Abu Abbas Ahmad bin Muhammad al-Bushairi (84 H), bukan al-Bushari Muhammad bin Said (696 H) sang penyair yang menyusun “Al-Masanid Al-‘Asyarah, karya al-Bushairi juga, yang merupakan tambahan terhadap kuttubah sittah. Kemudian Al-Mathalib Al-‘Aliyah bin Zawaid Al-Masanid Ats-Tsamaniyah, karya al-Asqalani (852 H), yang merupakan tabahan dari sepuluh musnad di atas kecuali musnad Abu Ya’la Al-Mushili, musnad ishak bin Rahamaih atas kuttubuh sittah dan musnad Ahmad, dan kemudian Majma’ Az-Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, karya Al-Haitsami yang telah disebutkan sebelumnya al-Majami’.
Dari uraian di atas menjelaskan bahwa sebuah hadist terkadang ditulis oleh sejumlah penulis hadist secara Bersama-sama dalam kitab-kitab mereka. Ada pula hadist yang hanya ditulis oleh seorang penulis saja, sementara penulis hadist yang lain tidak menulisnya.
Maka hadist-hadist jenis ini kemudian menjadi lahan penelitian para pakar hadist yang datang kemudian. Hadist-hadist itu kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab tersendiri. Metode penelitian hadist ini disebut Zawaid yang secara kebahasaan berarti tambahan-tambahan.

BAB III
PENUTUP
 Kesimpulan
Penulisan hadist yang diizinkan oleh Rasul adalah penulisan yang tidak dijadikan sebagai bahan bacaan umum di kalangan sahabat. Penulisan Hadist melalui 2 tahap, tahap yang pertama yaitu penghimpunan hadist dalam lembran-lembaran untuk kepentingan para penulisnya secara pribadi. Tahap kedua yaitu penulisan hadits dengan tujuan dijadikan sebagai referensi yang akan disebarkan kepada masyarakat umum. Metode penulisan hadist ada beberapa yaitu antara lain metode muwatta, mushanaf, masanid, jami’, mustakhraj, mustadrak, sunan mu’jam, majami’, dan zawa’id,
Ada 2 tahap pengumpulan hadist yang pertama yaitu pada masa rasulullah, Masa ini dikenal dengan ‘Ashr al Wahyu wa al Takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan karena pada masa Nabi wahyu masih turun dan banyak hadits Nabi yang ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadist Nabi. Sehingga muncullah pelarangan penulisan hadist, karena beberapa sebab. Yang kedua yaitu pada masa sahabat dan thabi’in, yaitu setelah Nabi wafat, para sahabat tidak dapat mendengar sabda–sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan, dan hal ikhwal Nabi secara langsung














DAFTAR PUSTAKA

Al-quran ,syaikh manna. 2003. Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta Timur: Pustaka
Al-KAUTSAR
http://ilhomcenter.com/metode-pembukaan-hadits
Nuruddin. 2012. Ulumul Hadits. Bandung: REMAJA ROSDAKARYA.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Suparto, Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Makalah Wakaf Tunai dalam Perspektif Al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Wakaf merupakan salah satu tuntunan ajaran agama Islam yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dalam rangka ibadah itjima’iyah (ibadah sosial). Karena wakaf adalah ibadah, maka tujuan utamanya adalah pengabdian kepada Allah SWT dan ikhlas karena mencari ridho-Nya. Wakaf dilaksanakan dengan lillahi ta’ala. Perbuatan tersebut murni dilandasi oleh rasa iman dan ikhlas semata-mata pengabdian kepada Allah SWT.
Kata wakaf yang sudah menjadi Bahasa Indonesia itu berasal dari kata kerja Bahasa Arab Waqafa (Fi’il Madhi), Yaqifu (Fi’il Mudhari) dan Waqfan (Isim Masdhar) yang secara etimologi (Lughah, bahasa) berarti berhenti, berdiri, berdiam di tempat, atau menahan. Ketika diutarakan kata “Wakaf” maka kerap sekali kata-kata itu diarahkan kepada suatu benda yang tidak bisa bergerak, seperti waqaf tanah, bangunan, pohon untuk diambil manfaatnya, dan lain sebagainya.
Wakaf adalah berarti menahan harta seseorang, baik hati tersebut sebagai benda tidak bergerak seperti tanah maupun benda bergerak seperti uang (wakaf tunai) untuk diambil manfaat nya, baik untuk kepentingan ibadah seperti masjid maupun untuk membantu fskir miskin dan lain-lain.
Rumusan Masalah
Apa itu wakaf?
Bagaimana konsep dari wakaf tunai?
Bagaimana wakaf tunai dalam perspektif Al-Quran?
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini ditujukan untuk para pembaca agar memahami pengertian dari wakaf, memahami tentang wakaf tunai, serta mengetahui bagaimana perspektif Al-quran dalam wakaf tunai.

BAB II
 PEMBAHASAN
Pengertian Wakaf

Kata wakaf yang sudah menjadi Bahasa Indonesia itu berasal dari kata kerja Bahasa Arab Waqafa (Fi’il Madhi), Yaqifu (Fi’il Mudhari) dan Waqfan (Isim Masdhar) yang secara etimologi (Lughah, bahasa) berarti berhenti, berdiri, berdiam di tempat, atau menahan. Ketika diutarakan kata “Wakaf” maka kerap sekali kata-kata itu diarahkan kepada suatu benda yang tidak bisa bergerak, seperti wakaf tanah, bangunan, pohon untuk diambil manfaatnya, dan lain sebagainya.
Secara bahasa kata Wakaf berarti Habs yang artinya menahan. Hal ini sebagaimana perkataan seorang Waqafa Yaqifu Waqfan, artinya Habasa Yahbisu Habsan. Sedangkan secara syara’ yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.
Kata Waqafa Yaqifu Waqfan, sama artinya dengan Habasa Yahbisu Habsan. Dan kata Al-Waqf dalam bahasa arab mengandung beberapa pengertian, Yaitu:
Artinya : “Menahan, Menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindah milikkan”.
Dalam peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (Tahbisul Ashli), lalu menjadikan manfaatnya itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.
Definisi wakaf yang di kemukakan Madzhab Hanafi, yaitu menahan benda Wakif (orang yang berwakaf) dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebaikan. Mewakafkan harta bukan berarti meninggalkan hak milik secara mutlak. Dengan demikian, wakif boleh saja menarik wakafnya kembali kapan saja dikehendakinya dan boleh diperjual belikannya.
Menurut Mazhab Maliki, yaitu menjadikan manfaat harta wakif, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diberikan kepada yang berhak secara berjangka waktu sesuai kehendak wakif. Memperlihatkan pendapat Mazhab Maliki di sebutkan bahwa kepemilikan harta tetap pada wakif dan masa berlakunya wakaf tidak untuk selama-lamanya kecuali untuk waktu tertentu menurut keinginan wakif yang telah di tentukannya sendiri.
Menurut Mazhab Syafi’i yaitu menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang tersebut hilang kepemilikannya dari wakif, serta dimanfaatkan pada sesuatu yang di bolehkan. Dikemukakan di atas menampakkan ketegasan terhadap status kepemilikan harta wakaf. Apabila wakaf dinyatakan sah, maka kepemilikan pun beralih dari pemilik harta yang diwakafkan menjadi milik umat, bukan lagi milik orang yang mewakafkan.
Menurut Mazhab Hambali, yaitu menahan secara mutlak kebebasan pemilik harta dalam menjalankan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan seluruh hak penguasaan terhadap harta, sedangkan manfaat harta adalah untuk kebaikan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Apabila suatu wakaf sudah sah berarti hilanglah kepemilikan wakif terhadap harta yang diwakafkannya.
Seperti yang terjadi pada pemahaman kebanyakan masyarakat, bahwa wakaf itu hanya dapat dilakukan dalam bentuk benda yang tidak bergerak. Seperti orang mewakafkan tanah untuk kepentingan sekolah atau madrasah.
Akhir-akhir ini muncul pembahasan tentang wakaf dalam bentuk barang yang bergerak yang mana kebanyakan orang menyebut dengan Wakaf Tunai atau Cash Waqf. Masyarakat muslim khususnya yang ada di Indonesia masih banyak yang belum memahami apa yang dimaksud dengan wakaf tunai dan bagaimana masyarakat dapat melakukan wakaf tersebut.
Untuk dapat memahami tentang wacana yang berkembang dalam hukum islam maka sehendaknya masyarakat turut mengikuti perkembangan dari pada hukum itu sendiri, masyarakat hendaknya senantiasa menambah wawasan baru yang selalu dibahas dalam forum-forum tertentu.
Untuk menambah pengetahuan dari pada penulis dan serta memberikan sosialisasi terhadap masyarakat maka dalam makalah ini penulis akan membahas tentang apa yan dimaksud dengan wakaf tunai, dasar hukum dari pada wakaf tunai, strategi pengelolaan wakaf tunai, serta peluang dan hambatannya tak lupa hikmah dari pengelolaan dan pemberdayaan wakaf tunai.
Konsep Wakaf Tunai

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum b Islam di Indonesia pada buku III, Hukum Perwakafan pasal 215, maka Wakaf adalah: “Perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memindahkan sebagian dari miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum sesuai dengan ajaran Islam.
Sedangkan dalam buku UU RI No. 41 tahan 2004 tentang Wakaf pada Bab I diterangkan pengertian wakaf adalah “Perbuatan hukum wakb  if untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagaian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang wakaf tersebut baik secara bahasa maupun istilah, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum atau kelompok atau kelompok orang yang menyisihkan sebagaian dari harta miliknya untuk diambil hasilnya atau dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Merujuk pada pengertian wakaf tersebut dapat dipahami bahwa bentuk benda yang dapat diwakafkan dapat berupa apa saja asalkan dapat diambil manfaatnya bagi kepentingan mensejahterakan orang banyak. Akan tetapi di kalangan masyarakat wakaf yang sangat popular adalah masih terbatas pada persoalan tanah dan bangunan yang diperuntukan untuk tempat ibadah.
Dewasa ini ada wakaf bentuk baru yang berbentuk tunai atau Cash, yang biasa disebut dengan wakaf tuani atau Cash waqf yang ditawarkan oleh Prof. MA Mannan, Ahli Teori ekonomi dari Bangladesh. Yang dimaksud dengan wakaf tuani adalah benda bergerak yang manfaatnya untuk kepentingan pendidikan, riset, rumah sakit, pemberdaya dan lain-lain.
Pada tulisan kali ini, penulis sedikit akan mengulas soal hukum wakaf tunai. Banyak pihak di kalangan Nahdliyin yang menjadikan persoalan ini sebagai wacana baru di bidang kajian fiqih, khususnya di kalangan Mazhab Syafi’i. Namun, seiring didirikannya Bank Wakaf Mikro di Pondok Pesantren Nawawi Tanara, Serang, Banten yang diasuh oleh Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin, maka persoalan hukum menarik untuk diungkap kembali. Hal ini disebabkan, NU merupakan organisasi yang memayungi jamaah terbesar di Indonesia yang berhaluan fiqih Syafiiyah. Bagaimanakah sebenarnya hukum wakaf tunai tersebut?
Wakaf Tunai di Indonesia secara umum diatur di dalam UU No. 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 yang berisi Pedoman Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004. Di dalam aturan ini dijelaskan bahwa seorang wakif (pewakaf) dapat melakukan wakaf tunai dengan dibayarkan pada lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri. Sifat pembayarannya adalah fleksibel dan bisa dilakukan sewaktu-waktu. Keberadaan aturan ini secara tidak langsung memberikan payung hukum bagi masyarakat menengah ke bawah, di dalam melakukan wakaf tanpa harus menunggu kaya. Hal ini disebabkan di dalam pelaksanaannya, wakaf tunai dijaring melalui proses transfer uang ke sejumlah rekening tertentu sesuai dengan besaran nominal keuangan yang diinginkan oleh wakif.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa berkenaan dengan wakaf tunai yang menyatakan bahwa (1) wakaf uang (cash wakaf atau waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, (2) termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga, (3) wakaf uang hukumnya boleh (jawaz),  (4) wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i dan (5) nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.

Wakaf Tunai menurut Perspektif Alquran

Allah subhânahu wata‘âlâ berfirman di dalam kitab suci Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 261-262:
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih bijian yang menumbuhkan tujuh bulir, yang pada tiap-tiap tandannya berbuah 100 biji-bijian. Allah akan melipat gandakan (pahala) bagi orang yang dikehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261).
Di dalam ayat selanjutnya Allah subhânahu wata‘âlâ berfirman:
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُون
Artinya: Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah kemudian tidak mengiringi nafkahnya itu dengan mengundat-ngundat dan tidak pula menyakiti, maka bagi mereka adalah pahala di sisi Tuhan-nya. Tiada ketakutan bagi mereka serta tiada merasa sedih.” (QS. Al-Baqarah: 262).
Kedua ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah subhânahu wata‘âlâ adalah ibarat menanam kebajikan, yang kelak kebajikan itu pasti berbuah dengan kebajikan lainnya. Buah kebajikan yang paling diharapkan adalah pahala dari Allah. Kedua ayat ini setidaknya dapat dijadikan dasar, bahwa apa yang diinfaqkan oleh seorang hamba, baik itu berupa wakaf, zakat, shadaqah, nafaqah, sumbangan suka rela dan lain sebagainya, asal diniatkan di jalan Allah subhânahu wata‘âlâ, maka tiada kesia-siasaan atas infaqnya tersebut. Infaq bisa batal dari sisi kajian fiqih, namun ia tidak akan pernah batal di sisi pahala jariyahnya.
Meskipun pelaksanaan wakaf tunai ini sudah mendapatkan payung hukum, bagi warga NU, kebijakan pembolehan wakaf tunai ini masih menyisakan kendala problem fiqih. Hal ini berangkat dari bunyi teks kajian turats sendiri yang selama ini dijadikan pedoman acuan hukum fiqih bagi masyarakat. Bunyi teks turats menyebutkan bahwa wakaf didefinisikan sebagai:
الوقف شرعا حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف في رقبته على مصرف مباح وجهة
Artinya: “Wakaf secara syara’ bermakna menahan (habsu) suatu aset manfaat bersama tetapnya wujud aset (baqâu ‘ainihi) dengan memutus jalan tasharuf dari tanggungan pewakaf untuk suatu tujuan dan jalur yang mubah (mauqûf ‘alaih).” (Abu Bakar bin Muhammad Shatha’, I’ânatuth Thâlibîn, Dâru Ihyâi al-Kutub al-Arabiyyah, Juz 3, halaman 186)
Syarat dari bidang wakaf yang diperbolehkan dalam kitab yang sama, yaitu:
وشرط الموقوف عليه إن كان معينا، إمكان تملكه للموقوف حال الوقف عليه، فلا يصح الوقف على جنين، لعدم صحة تملكه، ولا وقف عبد مسلم أو مصحف على كافر
Artinya: “Syarat bidang wakaf adalah jika keberadannya tidak fiktif (mu’ayyan), bisa memegang/menguasai (tamalluk) barang yang diwakafkan ketika wakaf tersebut diserahkan. Oleh karenanya, tidak sah wakaf atas janin, karena ketiadaan memegang/menguasainya. Dan tidak sah wakaf atas seorang hamba Muslim atau mushaf yang diserahkan atas orang kafir.” (Abu Bakar bin Muhammad Shatha’, I’ânatuth Thâlibîn, Dâru Ihyâi al-Kutub al-Arabiyyah, Juz 3, halaman 186).
Syarat barang yang diwakafkan adalah sebagai berikut:
وشرط الموقوف أن يكون عينا معينة مملوكة، إلى آخر ما سيأتي
Artinya: “Adapun syarat dari aset yang bisa diwakafkan adalah apabila berupa aset wujud yang bisa dikuasakan kepada orang lain sebagaimana akan dijelaskan mendatang.” (Abu Bakar bin Muhammad Shatha’, I’ânatuth Thâlibîn, Dâru Ihyâi al-Kutub al-Arabiyyah, Juz 3, halaman 186).
Syarat shighat wakaf adalah sebagai berikut:
وشرط الصيغة، لفظ يشعر بالمراد صريحا: كوقفت، وسبلت، وحبست كذا على كذا، وكناية: كحرمت، وأبدت هذا للفقراء، وكتصدقت به على الفقراء، ويشترط فيها عدم التعليق، فلو قال إذا جاء رأس الشهر فقد وقفت كذا على الفقراء، لم يصح، وعدم التأقيت: فلو قال وقفت كذا على الفقراء سنة، لم يصح
Artinya: “Syarat shighat wakaf adalah memuat lafadh yang bisa dirasakan maksudnya secara jelas (shârih), seperti lafadh: Aku wakafkan, Aku serahkan penyalurannya, atau aku tahan seperti ini untuk maksud seperti ini. Atau menggunakan lafadh kiasan: Aku haramkan (atas diriku), Aku tetapkan sepenuhnya selemanya barang ini untuk kaum fakir. Disyaratkan dalam shighat ketiadaan penggantungan. Maka apabila seorng pewaqif berkata: “Ketika ra’su al-shah.

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Thabrany, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
نية المؤمن خير من عمله وعمل المنافق خير من نيته
Artinya: “Niat seorang mukmin adalah lebih baik dari amalnya. Sementara niatnya orang munafik adalah lebih baik dibanding niatnya.” (Yahya bin Hamzah al-Yamany, kitab Tashfiyatul Qulûb min Idrânil Auzâr wadz Dzunûb, Al-Muassisah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, halaman 338).
Hadits ini mendapatkan syarah dari Imam Yahya bin Hamzah al-Yamany di dalam kitab yang sama, beliau menyebutkan bahwasanya:
1) Sebuah amal tidak akan ada nilai dan pengaruhnya sama sekali bila tidak disertai dengan niat
2) Niat seorang mukmin sudah dihitung kebaikan setimbang dengan amalnya. Niat orang fasiq (rusak agama dan aqidahnya) juga demikian halnya, dihitung sebagai keburukan setimbang dengan amalnya. Oleh karenanya, tidak ada yang lebih utama antara amal ataukah niat. Keduanya menduduki posisi kebaikan bagi mukmin dan menduduki keburukan bagi seorang fasiq.
3) Niat seorang mukmin akan selalu dinilai sebagai kebaikan meskipun amalnya rusak (batal, red). Amal rusak bisa disebabkan karena ada unsur riya’ atau kurang memenuhi syaratnya amal.
Berangkat dari statement yang disampaikan oleh Imam Yahya bin Hamzah al-Yamany di atas, maka melanjutkan dari kajian sebelumnya, bahwa andaikan wakaf tunai dianggap sebagai tidak sah secara fiqih, pahala amal dari pewakaf tidak akan pernah sia-sia di hadapan Allah subhânahu wata‘âlâ, disebabkan niat awal pewakaf akan senantiasa dicatat sebagai kebaikan oleh Allah subhânahu wata‘âlâ. Dengan demikian, dari sisi adab tasawuf, tidak ada wujud batalnya pahala disebabkan tidak sahnya amal dari sisi fiqih, kecuali bila menyangkut rukun terpisah dan saling bergantungan antara satu sama lain. Misalnya seperti wudlu dengan shalat. Bila tidak sah wudlu, maka tidak sah shalatnya seorang muslim. Namun, tidak sahnya salat tidak menghilangkan pahala dari qiraah di dalamnya, selagi orang yang membaca tidak sedang hadats besar.