Selasa, 01 Desember 2020

MAKALAH TASAWUF IRFANI

 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf adalah membersihkan hati dan, berjuang meninggalkan pengaruh budi yang asal kita memadamkan sifat-sifat yang merupakan kelemahan kita, menjauhkan diri dari seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal. Dalam tasawuf Irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antar manusia tetapi juga membahas mengenai apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Hal tersebut merupakan tingkatan ikhlas yang paling tinggi karena semuanya hanya untuk Allah SWT. 

Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul untuk segenap umat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali tahnuts dan khalwat digua hira, disamping untuk mengasingkan diri dan kehidupan masyarakat Mekah yang sibuk dengan hal-hal yang menghinggapi masyarakat disekitarnya pada waktu itu.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian tasawuf irfani ?

2. Bagimana hakikat tasawuf irfani ?

3. Siapa sajakah tokoh-tokoh tasawuf irfani ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf irfani

2. Untuk mengetahui hakikat tasawuf irfani

3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf irfani

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Irfani

Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyikapi hakikat kebenaran atau makrifah diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah). Ilmu itu diperoleh karena manusia yang melakukan tasawuf berupaya melakukan tasfiyat al-qalb. Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog secara batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan atau makrifah dimasukkan Allah ke dalam hatinya, hakikat kebenaran tersingkap lewat ilham (intuisi).

Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu Irfan dan tasawuf Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, dimana perjalanan suluk (riyadha) seorang hamba kepada Allah Swt. akan meniscayakan suatu bentuk pengetahuan yang lebih hakiki daripada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan afrimasi (presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki derajat tinggi. Ajaran Irfan sudah ada bersama kehidupan manusia.

Sedangkan irfani teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud secara ontologis, mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta. Dengan demikian, ‘irfani ini menyerupai teosofi (falsafah ilahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, ‘irfani juga mendefinisikan berbagai prinsip dan problemnya. Hanya saja kalau filsafat mendasarkan argumentasinya pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfani mendasarkan diri pada ketersingkapan mistik yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa rasional untuk menjelaskan apa yang telah mereka lihat dengan mata hati dan segenap eksistensi mereka dengan menggunakan bahasa rasional.

Tokoh-tokoh yang mengembangkan tasawuf ‘irfani antara lain:

1. Rabi’ah al-Adawiyah (96 H-185 H)

2. Dzannun al-Misri (180 H- 246 H)

3. Junaid al-Bagdadi (W. 297 H)

4. Abu Yazid al-Bustami (200 H-261 H)

5. Jalaluddin Rumi, Ibnu ‘Aradi, Abu Bakar As-Ssyinili, Syekh Abu Hasan al-Khurqani, dan lainnya.

Jika seseorang tidak menginginkan akalnya hanya terbatasi oleh materi dan memandang dunia ini sebagai materi semata, begitu pula apabila ia tidak ingin melihat bahwa dunia ini hanya bersifat rasional, dan pada waktu yang sama, ia juga tidak menafikan wujud materi, sebenarnya ia telah memiliki pola pemikiran Irfani. Tidak seluruh Irfani memiliki substansi ajaran agama baik dahulu maupun sekarang.

Jika kita ingin menelaah Irfan Islam secara global, ada empat periode yang dapat kita jadikan sebagai patokan utama:

1. Dari sejak kemunculan Irfan hingga masa Hallaj dan Rabi’ah

2. Dari sejak masa Rabi’ah hingga masa Bayazid dan Abu Sa’id Abul Khair

3. Dari masa Abul Khair hingga Ibnu Arabi

4. Dari masa Ibnu Arabi hingga masa kini

B. Hakikat Tasawuf Irfani

Tasawuf Irfani membahas mengenai apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Hal tersebut merupakan tingkatan ikhlas yang paling tinggi karena semuanya hanya untuk Allah SWT. Orang yang Irfan kepada Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan). Pada awalnya Irfan adalah pengganti istilah tasawuf dalam perspektif kaum syi’i. Irfan terbagi menjadi dua bagian, yaitu Irfan Ilmi dan Irfan Amali. Irfan Ilmi bersifat teoritis, sementara Irfan Amali bersifat praktis. Menurut Murtadha Mutahari, Irfan Amali menjelaskan hubungan vertikal antara hamba dan Allah SWT. Disamping itu membahas tanggung jawab bersama terhadap dirinya sendiri dan dunia yang ada disekitarnya. Oleh karena itu, Irfan Amali lebih mirip dengan akhlak dalam tasawuf. Adapun Irfan Ilmi berhubungan dengan ontologi yang membicarakan Tuhan, dunia dan manusia.

Dalam pandangan seorang arif, kesempurnaan manusia tidaklah terletak pada gambaran mental yang utuh tentang alam semesta, tetapi terletak pada kemampuan untuk kembali kepada sumber segala sesuatu, kemampuan untuk mengatasi jarak antara dirinya dengan zat Allah dan dalam dekapan-Nya untuk meleburkan diri hingga ia menjadi abadi dalam ketakterhinggaan-Nya. Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu Irfan dan tasawuf Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, dimana perjalanan suluk (riyadha) seorang hamba kepada Allah SWT. Ajaran irfani sudah ada bersama kehidupan manusia. Jika seseorang tidak menginginkan akalnya hanya terbatasi oleh materi dan memandang dunia ini sebagai materi semata, begitu pula apabila ia tidak ingin melihat bahwa dunia ini hanya bersifat rasional, dan pada waktu yang sama ia juga tidak menafikan wujud materi, sebenarnya ia telah memiliki pola pemikiran Irfan. Tidak seluruh Irfan memiliki substansi ajaran agama, baik dahulu maupun sekarang.

Adapun beberapa bagian dari metode Irfani:

1. Riyadhah, adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya. Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh dari berbuat maksiat atau dosa.

2. Tafakur (refleksi), secara harfiyah tafakur berarti memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis, dan terperinci.

3. Tazkiyat An-Nafs. Secara harfiyah (etimologi) tazkiyat an-nafs terdiri dari dua kata, yaitu tazkiyat dan an-nafs. Kata tazkiyat berasal dari bahasa arab yakni isim mashdar dari kata zakka yang berarti penyucian. Kata an-nafs berarti jiwa dalam arti psikis. Dengan begitu dapat diketahui tazkiyat an-nafs bermakna penyucian jiwa.

4. Dzikrullah. Istilah zikr berasal dari bahsa arab , yang berarti mengisyaratkan, mengagungkan, menyebut atau mengingat-ingat. Berzikir kepada Allah berarti dzikrullah, atau mengingatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah dengan sebaik-baiknya, Tuhan yang Maha Agung dan Maha Suci. Dzikrullah adalah tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah pengalaman ruhiyah (batin).

C. Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani

1. Rabi’ah Al-Adawiyah

Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al;Adawiyah Al-Bashriyah Al;Qaisiyah. Diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M ATAU 99 H/717 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota tersebut pada tahun 185 H/801 M.

Rabi’ah Al-Adawiyah tercatat dalam perkembangan mistisme dalam Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah SWT. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa tajut dan pengharapan kepada Allah SWT. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah SWT.

Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat. Rabi;ah menaytakan doanya =, ‘Tuhanku,akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?’ Tiba – tiba terdengar suara, ‘Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.” Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Rabi’ah, yaitu hub al-hawa dan hub-anta ahl lahu, kami kutip tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qulub sebagaimana dijelaskan Badawi memberikan penafsiran bahwa makna hubb al-hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah SWT.

Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat materiil, tidak spiritual karenanya hubb di sini bersifat hubb indriawi. Walaupun demikian, hubb al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan berkurang karena bertambhanya dan berkurangnya nikmat. Sebab, Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi memandang sesuatu yang ada di balik nikmat. Adapun al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indriawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta kepada Dzat yang dicintai.

2. Dzun An-Nun Al-Misri

a. Pengertian Makrifat

Dzu An-Nun Al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M dan meninggal pada tahun 246 H/856 M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberi Allah SWT kepadanya.

Al-Misri adalah pelopor paham makrifat. Berikut pandangan Dzun An-Nun Al-Misri tentang hakikat makrifat :

1) Sesuungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mustakalimin, dan ahli balaghah, melainkan makrifat terhadap keesaam Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah SWT. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah SWT dengan hatinya sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.

2) Makrifat yang sebenarnya adalah Allah SWt, menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang murni, seperti matahari tidak dapat dilihat melainkan dengan cahayanya. Salah seorang hamba yang senantiasa mendekat kepada Allah SWT. merasa hilang darinya, lebur dalam kekuasaanya. Ia merasa sebagai hamba yang berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah SWT, pada lidah mereka, ia melihat degan penglihatan Allah SWT dan berbuat dengan perbuatan Allah SWT.

Kedua pandangan Al-Misri ini menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah SWT tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat batin, yaitu Tuhan menyinari hati, manusia, dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan-pendekatan ini, sifat rendah-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat keatas dan selanjutnya ia menyandang sifat-sifat luhur, seperti yang dimiliki Tuhan, sampai akhinrnya ia sepenuhnya hidup di dalam-Nya dan melalui dirinya.

Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam, yaitu:

1)  Pengetahuan untuk seluruh muslim

2)  Pengetahuan khusus untuk para filsuf

3)  Pengetahuan khusus untuk para wali Allah SWT

Dalam perjalanan rohani, Al-Misri mempunyai sistematika tertentu tentang jalan menuju tingkat makrifat. Dari teks-teks ajarannya, Abdu Al-Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sistematika Al-Misri sebagai berikut :

a. Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri menjawab, “ Orang yang ridak mengenal jalan menuju Allah SWT dan tidak ada usaha untuk mengenal-Nya. “

b. Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al-inabah, harus dimulai dengan meminta dengan cara ikhlas dan benar, thariq al-ihtiba’, tidak mengisyaratkan apa-apa pada seseorang. Ini urusan Allah SWT semata.

c. Di sisi lain, Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu darij dan wadil. Darij adalah orang berjalan menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah yang berjalan (melayang) di atas kekuatan makrifat.

Adapun tanda-tanda seorang arif, menurut Al-Misri adalah sebagai berikut:

a. Cahaya makrifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya.

b. Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir.

c. Banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan.

Paparan Al-Misri menunjukkan bahwa seorang arif yang sempurna selalu melaksanakan perintah Allah SWT terikat hanya kepada-Nya, senantiasa bersama-Nya dalam kondisi apapun, dan semakin dekta serta menyatu kepada-Nya.

b. Pandangan Dzu An-Nun Al-Misri tentang maqamata dan ahwal

Pandangan Al-Misri tentang maqamat adalah pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah, ash-shabr, dan ar-rida. Menurut Al-Msiri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khawas. Orang awam bertobat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan oleh al-abrar dianggap sebagai dosa oleh al-muqarrabin. Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang menagtajan bahwa tobat adalah “engkau melupakan dosamu.” Pada tahap ini orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran Tuhan dan zikir yang berkesinambungan.

Al-Misri membagi tobat menjadi tiga macam, yaitu :

1) Orang bertobat dari dosa dan keburukannya.

2) Oarang bertobat dari kelalaian dan kelafaan mengingat Tuhan.

3) Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.

Keterangan Al-Misri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk dialog yang bersumber dari sebuah riwayat. Suatu ketika, ia sedang menjenguk orang yang sedang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Misri berkata, “Tidak termasuk cinta yang benar, bila seseorang tidak sabar dalam menhadapi cobaan Tuhan.” Orang sakit itu menjawab, “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmataan dari cobaan tersebut.” Ketika kedua tangan dan haknya dibelenggu dihadapan orang banyak ia berkata, “Ini adalah salah satu pemberian Tuhan dan karunia-Nya. Semua perbuatan Tuhan merupakan nikmat dan kebaikan.”

Berkenaan dengan maqam at-tawakkal, Al-Misri mendefinisikan sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memilki daya dan kekuatan. Intinya adalah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, disertai dengan perasaan tidak memilki kekuatan. Ungkapan bahwa hilangnya daya dan kekuatan seolah-olah mengandung arti pasif atau “mati”, dikemukakan oleh Abu Ya’qub An-Nahrujuri bahwa at-tawakal adalah kematian jiwa tatkala ia kehilangan peluang baik menyangkut urudan dunia atau akhirat.

Ketika ditanya tentang ar-ridha, Al-Misri menjawab bahwa ar-rudha adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan. Berkenaan dengan ahwal, Al-Misri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan) sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-tanda orang mencintai Allah SWT adalah mengikuti kekasih-Nya, yaitu Nabi Muhammad SAW dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah, dan sunnahnya. Artinya, orang-rang yang menicntai Allah SWT senantiaa mengikuti sunnah Rasul, tidak menabaikan syariat.

3. Abu Yazid Al-Bustami

Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyab, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk agama Islam di Bustam.

Ajaran tasawufterpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar AL-Kalabadzi mendefinisikan, “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaanya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu. Pemcapaian Abu Yazid ke tahap fana/ setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah SWT.

Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkanlah diri (nafsu) mu dan kemarilah.” Abu Yazid juga pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya, “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup.”

Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya, dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf, baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah SWT. Paham ini tidak dapat dipisahkan dari paham fana’. Jika seorang sufi mengalami fana’ maka, ketika itu juga ia mengalami baqa’.

Keterkaitan antara baqa’ dan fana’ diterangkan dalam pernyataan dari Al-Qusyairi, “Barang siapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, ia sedang fana’ dari syahwatnya. Tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah,… barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan, ia sedang fana’ dari keinginannya,berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan inabahnya…

Tahapan selanjutnya yang dialami para sufi setelah melewati fase fana’ dan baqa’ adalah ittihad. Akan tetapi, dalam literatur klasik penjelasan mengenai ittihad ini tidak ditemukan. Dalam tahapan ttihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Dalam paparan Harun Nasution, ittihad adalah salah satu tingkatan seorang sufi yang telah merasa bahwa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu tingkatan ketika menicintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”. Dengan mengutip A.R. Al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang dilihat itu hanya satu wujud, atau bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dengan yang dicintai, yaitu antara seorang sufi dengan Tuhan. Dalam ittihad, “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu.” Sufi yang bersangkutan karena fana’ nya, ia tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara bahwa dirinya adalah Tuhan.

Abu Yazid yang dengan fana’ nya meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Ia berkata bahwa ia telah berada dekat dengan Tuhan. Dikisahkan bahwa, suatu ketika ada seseorang yang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintunya. Abu Yazid menanyakan siapakah yang hendak ia temui. Seseorang itu menjawab, ia hendak menemui Abu Yazid. Abu Yazid menjawabnya dengan mengelak dan mengatakan bahwa tidak ada Abu Yazid di rumah tersebut, kecuali Allah Yang Maha Kuasa, Maha Tinggi. Ucapan-ucapan Abu Yazid ini memberi kesan negatif dan terdengar seperti syirik kepada Allah SWT. Oleh karena itu, dalam sejarah para sufi, beberapa ada yang ditangkap bahkan dipenjarakan, sebab ucapannya yang membingungkan golongan awam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tasawuf irfani adalah tasawuf yang berusaha menyikapi hakikat kebenaran atau makrifah diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah).

Orang yang irfan/makrifat kepada Allah SWT adalah yang benar-benar mengenal Allah SWT melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan). Irfan terbagi menjadi dua bagian, yaitu irfan ilmi dan irfan amali. Irfan ilmi bersifat teoritis, dan irfan amali bersifat praktis.

Terdapat beberapa tokoh yang termasuk tasawuf irfani. Diantaranya Rabi’ah Al-Adawiyah yang tercatat pada perkembangan mistisme sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (muhabbah) kepada Allah SWT. Dzun An-Nun Al-Misri yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid Al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anwar, Rosihan. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Al-Aththar, Farid As-Sin. 1979. Muslim Saints and Mystics. Terj. A.J. Arberry. Routledge, and Kegal Paul.

The Encyclopedia of Islam. Leiden: E.J. Brill.

Al-Aththar, Fariduddin. 1983. Warisan Para Auliya. Bandung: Pustaka.

http://pbsbstainpamekasan.blogspot.com/2017/12/makalah-tasawuf-irfani.html?m=1. Diakses pada 12 Februari 2020. Pukul 18.00

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar