BAB I
PENDAHULUHAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah tentang perkembangan pemikiran keislaman memiliki mata rantai yang cukup panjang dan kajian atas persoalan ini pasti akan melibatkan kompleksitas, namun sejalan dengan itu upaya penggalian informasi mengenai perkembangan pemikiran keislaman melalui naskah-naskah yang dihasilkan oleh para ulama terdahulu) menjadi sesuatu yang mutlak harus terus dilakukan, mengingat tema yang terkandung dalam naskah-naskah tesebut pun sangat beragam dan diantara tema yang banyak menarik perhatian para peneliti naskah adalah tentang tasawuf. Tasawuf atau sufisme adalah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisesme dalam Islam. Adapun tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan Tuhan. Dalam islam kita mengenal beberapa aliran tasawuf, diantaranya aliran tasawuf Akhlaqi, Tasawuf Irfani dan Tasawuf Falsafi.
Tinjauan terhadap tasawuf menunjukkan bagaimana para sufi memiliki suatu konsepsi tentang jalan menuju Allah (thariqat). Jalan ini dimulai dengn latihan-latihan rohaniah (riyadhah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), yang berakhir dengan ma’rifat kepada Allah.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian kerangka irfani?
2. Bagaimana maqamat dalam tasawuf?
3. Bagaimana hal-hal yang dijumpai dalam perjalanan sufi?
4. Bagaimana kerangka berfikir irfani?
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam ilmu tasawuf, kita sering mendengar istilah irfani. Menurut C. Ramli Bihar Anwar mengatakan, irfani muncul untuk pertama kalinya sebagai reaksi atas praktik-praktik tasawuf tertentu dalam dunia Syiah yang dianggap telah menyimpang dari syariat. Karena itu, di dalam ’irfan sangat mementingkan syariat sebagai dasar bertasawuf.
Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu irfan dan tasawuf Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, bahwa perjalanan syair suluk (riyâdhâ) seorang hamba kepada Allah Swt. akan meniscayakan suatu bentuk pengetahuan yang lebih hakiki dari pada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan afirmasi (tashdiq) panca indra dan akal. Sebab itu bentuk pengetahuan irfaniadalah hudhuri(presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki derajat tinggi.
Menurut Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin (2000: 69), kerangka irfani yaitu lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi secara rasa (rohaniah). Manusia tidak akan tahu banyak mengenai penciptaan-Nya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis teoritis (al- Iman, al-Aqli, an-Nazhari) dan iman secara rasa (al-Iman, asy-Syu’ri, ad-Dzauqi). Lingkup irfani ini tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud yaitu maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal).
B. Pengertian Maqomat
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat yang berdiri atau pangkal mulia. Kemudian digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Sedangkan dalam bahasa inggris berarti tangga dalam artian tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seoarang sufi untuk sampai menuju Tuhan.
Dikalangan sufi, orang pertama membahas masalah maqamat yakni barangkali al-Muhasibi karena kegemarannya melakukan introspeksi diri. Menurutnya, perhitungan dan perbandingan terletak diantara keimanan dan kekafiran, antara kejujuran dan kehianatana, antara tauhid dan syirik serta antara ikhlas dan riya’. Kemudian muncul lagi setelahnya tokoh lain yakni al-Surri al-Saqathi yang berpendapat ada empat hal yang harus ada dalam qalbu seseorang yaitu rasa takut hanya kepada Allah, rasa harap hanya kepada Allah, rasa cinta hanya kepada Allah dan rasa akrab hanya kepada Allah.
Sedangkan Ibnu Rush memuji perilaku juhud dan perilaku-perilaku luhur yang disebut oleh kalangan sufi sebagai maqamat dan ahwal seperti sabar, syukur, dan prilaku –prilaku yang membangun ketakwaan dalam hati dan taqwa merupakan jembatan penghubung antara seorang hamba kepada Allah. Ibnu Rush mengatakan bahwa tujuan syara’ adalah mengajarkan ilmu sejati dan amal sejati. Ilmu sejati adalah mengetahui Allah dan seluruh semesta, terutama yang syar’i serta mengetahui faktor-faktor kebahagiaan kesengsaraan akhirat.
Dikalangan sufi tidak sama pendapatnya tentang tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju kepada Tuhan menurut Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-ta’arruf li mazhab ahl al- tasawuf, sebagai dikutif harun nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh yaitu al-taubah, al-zuhud, al- shabr,- al-fagr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal’, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah. Sementara itu Abu Nasr al-sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal, al-mahabbah, al- ma’rifah dan al-ridla. Dalam hal itu imam al-ghazali dalam kitabnya ihya’Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al- mahabbah, al- ma’rifah, dan al-ridla.
C. Maqam-maqam dalam tasawuf
1. Tobat
Tobat adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa. Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah. Pada tingkat terendah , tobat menyangkut dosa yang dilakukan anggota-anggotabadan. Pada tingkat menengah, selain menyangkut dosa yang dilakukan jasad juga menyangkut pula pangkal dosa-dosa, seperti iri, dengki, dan riya. Pada tingkat yang lebih tinggi, tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir, tobat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Tobat pada tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu selain yang dapat memalingkan dari jalan Allah.
2. Zuhud
Zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan jika dilihat dari maksudnya. Pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah SWT. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang sesuatu, kecuali Allah SWT, tidak memiliki arti apa-apa.
3. Faqr (Fakir)
Faqr artinya kekurangan harta seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap tersebut penting dimiliki orang yang berjalan menuju Allah SWT. Karena kebanyakan harta memungkinkan manusia dekat dengan kejahatan dan membuat tertambat pada selain Allah SWT.
4. Sabar
Jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash shabr al-badani). Dalam berbagai aspek, kesabaran jiwa sangatlah diperlukan.
5. Syukur
Syukur sangatlah diperlukan, karena kita hidup di dunia ini adalah karena karunia Allah SWT. Allah telah memberikan nikmat penglihatan, pendengaran, kesehatan, keamanan, dan lain-lain yang tak terhitung jumlahnya.
6. Rela (Ridha)
Bahkan dapat melihat kemahasempurnaan Allah yang memberikan cobaan kepadanya, sehingga tidak mengeluh dan merasakan sakit atas cobaan tersebut. Hanya para ahli ma’rifat dan mahabbah yang mampu bersikap seperti ini. Bahkan mereka merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.
Menurut Abdul Halim Mahmud, rida mendorong mannusia berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apa pun yang disukai Allah SWT.
7. Tawakal
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hari dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah SWT. Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai landasan tawakal.
Tawakal dapat diartkan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT disertai perasaan tidak memiliki kekuatan. Hilangnya kekuatan seolah-olah mengandung arti pasif bahwa tawakal adalah kematian jiwa tatkala ia kehilangan peluang, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat.
D. Hal-Hal Yang Dijumpai Dalam Perjalanan Sufi
Sebagaimana telah disinggung bahwa hal-hal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain waspada dan mawas diri (muhasabat dan muraqabat), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hub), takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tenteram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah), dan yakin.
1. Waspada dan Mawas diri (Muhasabah dan Muraqabah)
Waspada dan Mawas Diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengusapnya secara bersamaan.waspada dan mawas diri mmerupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaan jasmaniyang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.Waspada dapat diartikan meyakini Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah. Adapun Mawas diri adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yyang di kehendaki-Nya.
2. Cinta (hubb)
Dalam pandangan tasawuf, muhabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam. Karena muhabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (mawahib).Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
Berkenaan dengan mahabbah, Suhrawardi mengatakan, “Sesungguhnya, mahabbah (cinta) adalah mata rantai keselarasan yang mengikat sang pencipta kepada kekasihnya; ketertarikan kepada kekasih, yang menarik sang pencipta kepadanya, dan melenyapkan sesuatu dari wujud hingga ia menguasai seluruh sifat dalam dirinya, kemudian menangkap zatnya dalam genggam Qudrah (Allah).”
3. Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)
Bagi kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’berarti berharap optimisme. Raja’ atau optimisme adalah perasaan hati yang senang karena menantisesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ menuntut 3 perkara yaitu:
a. Cinta pada apa yang diharapkan
b. Takut harapannya hilang
c. untuk mencapainya
Raja’ yang tidak dibarengi dengan 3 perkara itu hanyalah ilusi atau khayalan. Setiap orang yang berharap adalah orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut berangkat terlambat. Begitu pula, orang yang mengharap ridho dan ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.
Ahmad Faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah SWT untuk menggiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dana mal supaya dengan keduanya mereka dapat dekat kepada Allah SWT, Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri pada masa yang akan dating. Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa dalam ketaatan.
Khauf dan raja’ saling berhubungan. Kekurangan khaufakan menyebabkan orang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akanmenjadikannya putus asa dan pesimis. Begitu juga orang yang terlalu besar sikap raja’akan membuat seseorang sombong dan meremehkan amalan-amalannya karena optimisnya yang berlebihan.
d. Rindu (Syauq)
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup bengan subur, yaitu rindu ingi segera bertemu dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah SWT lebih berbahaya daripada maut. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan, mati dapat berarti ketemu Tuhan, sebab hidup merintangi pertemuan ‘abid dengan ma’bud-Nya.
e. Intim (Uns)
Dalam pandangan kaum sufi, sifat uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut melukiskan sifat uns:
“Ada orang yang selalu merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta., seperti halnya muda mudi. Adapula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya se m ata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman dimanapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah SWT., artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah SWT.”
E. Metode Irfani
Irfani dalam bahasa arab adalah bentuk mashdar dari arafa yang berarti ma’rifat. Istilah ini berlaku secara umum didalam ajaran syi’ah dan secara khusus ia berkaitan dengan ide2 sufisme, yakni dalam konteks operatif yang membedakan antara murid thariqat dan gurunya.dan dalam kontks transmisi formal melalui jalur atau silsilah tertentu.Potensi untuk memperoleh makrifat sesungguhnya telah ada pada manusia. Untuk memperoleh kearifan atau makrifat, hati (qalb) mempunyai fungsi esensial, sebagaimana diungkapkan Ibnu Arabi dalam Fuslzus Al-Hikam-nya.
“Qalb dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyf dan
ilham. Ia pun berfungsi sebagai alat untuk makrifat dan menjadi cermin
yang memantulkan (tajalli) makna-makna kegaipan.”
Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat-hakikat, termasuk di dalamnya adalah hakikat adalah hakikat makrifat. Qalb yang dapat memperoleh makrifat adalah yang telah tersucikan dari berbagai noda atau akhlak jelek yang sering. Dilakukan manusia. Dan karena qalb merupakan bagi jiwa kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecemerlangan qalb dalam menerima ilmu. Qalb yang telah tersucikan akan mampu menembus alam malakut (misalnya malam malaikat). Sebab, AL-Ghazali dalam kimiya’ As-Sa’adah-nya memasukan qalb sebagai sesuatu yang sejenis dengan malaikat.
Ketika berada di alam malakut inilah, qalb mampu memperoleh ilmu pengetahuan dari Tuhan. Tampaknya, kaum sufi memandang kesucian qalb sebagai prasyarat untuk berdialog secara batini dengan Tuhan. Mereka mengemukakan alasan bahwa Tuhan hanya dapat didekati jiwa yang suci. llmu pengetahuan yang dihasilkan dari kondisi dialogis batiniah dengan perangkat qalb yang suci inilah yang mereka sebut sebagai ilmu makrifat, dan bahkan secam spesifik dapat memperoleh ilmu laduni yakni ilmu yang datang lewat ilham yang dibisikkan ke dalarn hati manusia. Dengan demikian, qalb berpotensi untuk berdialog dengan Tuhan. Inilah yang dimaksud Al-Ghazali dengan ungkapan bahwa di luar akal dan jiwa, terdapat alat yang dapat menyingkap pengetahuan yang gaib dan hal-hal yang akan terjadi pada masa mendatang.
Penyingkapan pengetahuan seperti ini merupakan wacana Irfaniyah. Hanya dengan sarana qalb itulah, ilmu makrifat dapat diperoleh manusia. Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa hati (qalb) menjadi sarana untuk memperoleh makrifat QaIb-lah yangakan mampu mengetahui hal dekat pengetahuan, karena qalb telah dibekali potensi untuk berdialog dengan tuhan. Berikut ini penjelasan masing-masing bagian dari metode lrfani:
1. Riyadhah
Riyadhah yang artinya latihan kejiwaan melaui upaya membiyasakan diri agar tidak melakukan hal – hal yang mengotori jiwanya, riyadhah dapat pula berarti sebagai poses internalisasi kejiwaan dengan sifat sifat terpuji dan melatih membiyasakan meninggalkan sifat sifat jelek.para sufi memasukkan riyadhah sebagai pelatihan kejiwaan dalam upaya meninggalkan sifat – sifat jelek.
2. Tafakur
Tafakur penting dilakukan oleh manusia yang menginginkan ma’rifat. Sebab, tatkala jiwa telah belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur) dan menganalisanya, pintu kegaiban akan dibukakan untuknya. Menuurut Al-Ghazali orang yang brfikir dengan benar akan menjadi dzawi al-albab (ilmuwan) yang terbuka pintu kalbunya sehingga akan mendapat ilham.
Tafakur belansung secara internal dengan proses pembelajaran dari dalam dari manusia melalui aktivitas berpikir yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa). Selanjutnya tafakur dilakukan dengan memotensiikan nafs kulli (jiwa universal). Validitas yang diperoleh melalui metode tafakur sangat tinggi kualitasnya.sebab tafakur memotensikan nafs kulli (jiwa universal), sebagaimana yang diungkapkan Al- Ghazali: “nafs kulli lebih besar dan lebih kuat hasilnya dan lebih besar kemampuan perolehannya dalam proses pembelajaran.”
3. Tazkiyat An-nafs
Tazkiyat an-nafs adalah proses penyucian jiwa manusia.proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli. Tazkiyat an-nafs merupakan inti kegiatan bertasawuf. Kalangan syufi adalah orang orang yang senantiyasa menyucikan hati dan jiwa. Perwujudtannya adalah rasa butuh tehadap tuhannya.Upaya melakukan penyempurnaan jiwa perlu dilakukan oleh setiyap orang yang menginginkan ilmu makrifat, sebab ilmu makrifat tidak dapat diterima oleh manusia yang jiwannya kotor.
4. Dzikrullah
Secara etimologi ,dzikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah adalah membaahi lidah dengan ucapan ucapan pujian kepada alloh .dzikir adalah metode lain untuk memperoleh ilmu laduni.pentingnya dzikir untuk mendapatkan ilmu makrifat didasarkan atas argumentasi tentang peranan dzikir itu sendiri bagi hati. Al-ghazali dalam ihya’ menjelaskan bahwa hati manusia takubahnnya seperi kolat yang kedalamnya mengalir bermacam- macam air. Pengaruh-pengaruh yang datang kedalam hati adakalannya berasal dari luar yaitu panca indra , dan adakalannya dari dalam,yaitu khayal,amarah dan akhlak atau tabiat manusia.
Dalam al- Munqidz, al- Ghazali menjelaskan bahwa dzikir kepada Allah merupakan hiasan bagi kaum sufi , syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain alloh,sedangkan kuncinnya menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan dzikir kepada Allah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kerangka Berfikir Irfani Dasar-Dasar Falsafi Ahwal Dan Maqamat yang pertama yaitu Maqam-Maqam Dalam Tasawuf Seperti yang disinggung diatas bahwa maqam yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri dari tobat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, dan tawakal. Yang kedua ada Ahwal Yang Dijumpai Dalam Perjalanan Sufi Dan Yang ketiga Metode Irfani, Irfani dalam bahasa arab adalah bentuk mashdar dari arafa yang berarti ma’rifat. Istilah ini berlaku secara umum didalam ajaran syi’ah dan secara khusus ia berkaitan dengan ide- ide sufisme, yakni dalam konteks operatif yang membedakan antara murid thariqat dan gurunya. dan dalam kontks transmisi formal melalui jalur atau silsilah tertentu.di dalam metode irfani terdapat beberapa bagian sepertiRiyadhah, Tafakur (Refleksi), Dzikrullah, Tazkiyat An-nafs.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Edisi Revisi. Pustaka Setia. Bandung
Alba, Cecep. 2014. Tasawuf dan Tarekat. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Muhammad Fauqi Hajjaj. 2011. Tasawuf Islam & Ahlak. Amzah. Jakarta
Abuddun Nata. 2012. Ahlak Tasawuf. Rajawali Pers. Jakarta.
http://tasawufislam.blogspot.com/2009/05/kerangka-berfikir-irfani.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar