BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tasawuf merupakan salah satu aspek penting dalam islam, sekaligus sebagai perwujudan dari ihsan yang menyadari adanya hubungan langsung antara hamba dan Tuhannya. Sufisme bertujuan memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Intinya ada kesadaran akan adanya hubungan atau komunikasi rohaniah antara manusia dan Tuhan melalui aspek spiritual. Dengan bertasawuf, seseorang akan menjadi bersih hati dan jiwanya, berarti pula ia akan dibimbing oleh cahaya Illahi. Kajian-kajian tasawuf tidak lain adalah mementingkan kebersihan batin dan kesucian jiwa dan lebih mementingkan aktivitas untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah perkembangan. Terdapat dua corak dalam dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazhari (teoritis). Ada tasawuf yang mengarah pada teori perilaku, ada pula tasawuf yang mengarah pada teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi kearah perilaku sering disebut sebagai tasawuf salafi, akhlaqi, atau sunni. Tasawuf jenis ini banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi pada arah filsafat disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan oleh para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof, disamping sebagai sufi.
Pembagian dua jenis tasawuf tersebut, didasarkan pada kecenderungan ajaran yang dikembangkan, yakni kecenderungan perilaku atau moral keagamaan, dan kecenderungan pada pemikiran. Dua kecenderungan ini terus berkembang hingga masing-masing mempunyai jalan sendiri-sendiri. Untuk memahami perkembangan tasawuf ke arah yang berbeda, perlu dilihat lebih jauh tentang sejarah dan perkembangannya. Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan pengertiam serta tokoh dan perbedaan antara tasawuf akhlaki dan tasawuf falsafi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tasawuf falsafi?
2. Bagaimana perkembangan tasawuf falsafi?
3. Bagaimana karakteristik tasawuf falsafi?
4. Bagaimana konsep tasawuf tasawuf falsafi?
5. Siapa tokoh-tokoh dalam tasawuf falsafi dan bagaimana ajarannya?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf falsafi
2. Untuk mengetahui perkembangan tasawuf falsafi
3. Untuk mengetahui karakteristik tasawuf falsafi
4. Untuk mengetahui konsep tasawuf tasawuf falsafi
5. Untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam tasawuf falsafi dan ajarannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tempat yang lebih tinggi bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori tasawuf dan falsafah. Tasawuf falsafi ini tentu saja dikembangkan oleh para sufi yang filosof. Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi tidak dapat di kategorikan sebagai tasawuf dalam arti yang sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu ditemukan dalam term-term filsafat yang lebih berorientasi pada pantheisme. Juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam arti yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa.
Tasawuf falsafi yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan rasional. Terminologi falsafi yang digunakan berasal dari macam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tidak hilang. Walaupun demikian, tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada ras (dzauq). Selain itu, tasawuf ini tidak pula dapat dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat.
Tasawuf falsafi ini mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad VI Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Pada abad ini tasawuf falsafi terus hidup dan berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga filsuf sampai masa menjelang akhir-akhir ini.
Pemaduan antara tasawuf dan filsafat dengan sedirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf falsafi bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat diluar islam, seperti Yunani, Persia, India, dan negeri nasrani. Namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tidak hilang. Para tokoh berusaha menjaga kemandirian ajarannya, meskipun ekspansi islam meluas pada waktu itu sehingga membuat mereka memiliki latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang beragam. Sikap ini dengan sendirinya dapat menjawab petanyaan mengapa para tokoh tasawuf falsafi begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar islam ke dalam tasawuf mereka serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf yang mereka anut.
B. Perkembangan Tasawuf Falsafi
Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad ke-6 H, meskipun tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu, tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam.
Setelah tasawuf semi falsafi mendapat hambatan dari tasawuf Sunni tersebut, maka pada abad VI Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan juga tidak bisa dikatakan sebagai filsafat. Karena itu sebut saja tasawuf falsafi, karena di satu pihak memakai term-term filsafat, namun secara epistimologis memakai dzauq/intuisi/wujdan (rasa).
Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya menyimpulkan, bahwa tasawuf falsafi mempunyai empat obyek utama, dan menurut Abu al-Wafa bisa dijadikan karakter sufi falsafi, yaitu:
1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta introspeksi yang timbul darinya,
2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib,
3. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan,
4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathahiyat) (Ibn Khaldun, tt.).
C. Karakteristik Tasawuf Falsafi
Menurut At-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat.
Tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasawuf Sunni. Dalam hal ini Ibnu Kladun, sebagaimana yang dikutip oleh At-Taftazani, dalam karyanya Al-Muqaddimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, yaitu:
1. Ciri Umum Tasawuf Falsafi antara lain:
a. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya. Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan (maqam) maupun keadaan (hal) rohaniah serta rasa (dzauq), para sufi filosof cenderung sependapat dengan para sufi Sunni. Sebab, masalah tersebut menurut Ibnu Khaldun, merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh siapa pun.
b. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib yang tampak, dan susunan komos, terutama tentang Penciptanya dan penciptaannya. Mengenai iluminasi ini para sufi melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan dzikir.
c. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
d. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar, yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengikarinya, menyetujuinya ataupun menginterpretasikannya dengan interpretasi yang berbeda-beda.
2. Ciri-ciri khusus dari Tasawuf Falsafi antara lain :
a. Mengkonsepsikan ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara rasional dan perasaan.
b. Mendasarkan pada latihan-latihan ruhaniah (riyadah)
c. Iluminasi atau bayangan sebagai metode untuk mengatahui berbagai hakekat, yang menurut penganutnya bisa dicapai dengan fana’
d. Selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakekat realitas-realitas dengan berbagai simbol atau terminologi filsafat, dan cenderung mendalam ke dalam panteisme (teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu merupakan perwujudan Tuhan).
D. Konsep Tasawuf Falsafi
Dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. Tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan filosof yang sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam.
Menurut At-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq) tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.
Menurut Ibnu Khaldun, ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof antara lain sebagai berikut:
1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya.
2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib seperti sifat-sifat rabbani, Arsy, malaikat, wahyu, kenabian, roh.
3. Peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk keramatan atau keluarbiasaan.
4. Menciptakan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya dan menyetujuinya.
E. Tokoh-Tokoh dalam Tasawuf Falsafi dan Ajarannya
Para tokoh Tasawuf Falsafi dalam dunia islam cukup banyak yang berpengaruh di masyarakat, antara lain Ibn `Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in, dan Ibn Masarrah.
1. Ibn ‘Arabi
a. Biografi Ibn `Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad ‘Abdullah ath-Thai Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusi Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Pada tahun 1201 M/598 H Ibnu Arabi meninggalkan Spanyol Karena situasi politik pada masa itu tidak menguntungkan baginya serta tasawuf yang di anutnya tidak di sukai di kawasan itu. Barang kali dengan tujuan utama untuk ibadah haji, ia berangkat menuju kawasan timur. Mesir adalah negeri pertama yang ia singgahi untuk beberapa lama, tetapi ternyata di daerah itu aliran tasawufnya tidak diterima masyarakat. Oleh karna itu, ia melanjutkan pengembaraannya melalui Jerussalem dan menetap di Makkah untuk beberapa lama.
Di kawasan Saudi ternyata ia di terima penguasa dan masyarakat yang baik. Akan tetapi, ia tidak menetap di kota suci itu, Karena ternyata pengembaraan itu berakhir di Damaskus sebagai tempat menetapnya sampai ia meninggal tahun 1240 M/638 H dan dimakamkan di kaki gunung Qosiyun. Ia mempunyai dua orang putra yang seorang terkenal sebagai penyair sufi, namanya Sa’duddin dan yang satu lagi Imaduddin, keduanya di makamkan berdekatan dengan Ibnu Arabi. Ibnu Arabi adalah penulis yang produktif, yang menurut Browne ada 500 judul karya tulis dan 90 judul diantaranya asli tulisan tangannya tersimpan di Perpustakaan di Negara Mesir. Tetapi menurut Sya’roni , Ibnu Arabi menulis buku sekitar 400 judul buku saja termasuk Fusus dan Futuhat. Produktifitasnya dalam menulis terutama ia bermukim di Makkah dan Damaskus atau sekitar 20 tahun terakhir masa hidupnya.
b. Ajaran Tasawuf Ibn ‘Arabi
Ajaran sentral Ibn `Arabi adalah tentang Wahdat Al-Wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajran sentral tersebut. Setidaknya Ibnu Taimiyah yang telah berjasa dalam mempopulerkan Wahdat Al-wujud ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah Wahdat Al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn `Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian Wahdat Al-wujud. Menurut Ibnu Taimiyah, Wahdat Al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang yang berpaham ini mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khaliq juga adalah mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham ini juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan , tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Menurut Ibn `Arabi wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khaliq dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khaliq dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindera lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada dzat-nya dari kesatuan dzariyah, yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya.
2. Al-Jilli
a. Biografi Al-Jilli
Nama lengkapnya adalah Abd .Karim bin Ibrahim al-Jili. Beliau dilahirkan di al-Jili bagian selatan laut Kaspia yang terletak di Asia Tengah pada Tahun 767 H bertepatan dengan tahun 1365 M dan wafat pada tahun 805 H/1405 M. Nicolson menilainya bahwa al-Jili terkait dengan Abd. Karim al-Jili atau Gilani (masyarakat kita, tokoh ini lebih dikenal dengan nama Abd.Qadir Jaelani), seorang pendiri Tarekat Qadariyah yang wafat pada tahun 300 sebelum kelahiran Abd. Karim al-Jili.
Al-Jili belajar agama di daerahnya setelah merasakan cukup baginya tentang pengetahuan agama. Beliau mengembara untuk mencari ilmudi daerah lain. Di Zahid salah satu negeri di Yaman Selatan ,ia berguru kepada Syarifuddin bin Ismail bin Ibrahim al-Jabari. Dengan berbasis ilmu dan pengalaman yang sangat luas, beliau menekuni dunia tasawuf. Agaknya corak tasawuf yang di kembangkan banyak memiliki kesamaan dengan Ibn Arabi, karena ia dianggap sebagai pelanjut ajaran tasawuf Ibn Arabi terutama tentang konsep Nur Muhammad. Al- Jili sebagai seorang yang kreatif dan produktif dalam mengembangkan ilmunya, beliau banyak mempunyai karya-karya, baik dalam bentuk buku maupun dalam bentuk makalah. Adapun bukunya yang terkenal dengan judul al-Insan al- Kamil fi Ma’Rifat al- Awakhir wa al- Awail[9].
b. Ajaran Tasawuf Al-Jili Insan Kamil
Ajaran Tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah paham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut al-Jili, Insan Kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan. Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan substansi. Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya. Melalui konsep ini, kita memahami bahwa Adam dilihat dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat, bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memilki tempat berwujud melainkan kepada insan kami.
Lebih lanjut Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan Insan Kamil adalah bagaikan cermin di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya kecuali melihat cermin itu. Begitu pula halnya dengan insan kamil sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin Insan Kamil. Al-Jili berkata bahwa duplikasi Al-Kamal (kesempurnaan) dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan. Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘aradhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al-Karnal dalam konsep Al-Jili mungkin dimiliki oleh manusia secara professional (bi al-qawah) dan mungkin pula secara aktual (bi Al-fiil) seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam identitas yang berbeda. Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW. Sehingga manusia lain, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila di bandingkan dengan Muhammad SAW. Bagaikan Al-Kamil (yang sempurna) dengan Al-Kamal (yang paling sempurna) atau Al-Fadhil (yang utama) dengan Al- Afdal (yang paling utama).
Al-Jili dengan filsafat insan kamilnya, merumuskan beberapa maqamat yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya ia di sebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkat itu adalah:
1) Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
2) Iman, yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar islam. Iman merupakan tangga pertama mengungkap Tabir alam gaib, dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi.
3) Ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja’. Tujuan ibadah maqam ini adalah mencapai nuqtah illahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan mentaati syariat Tuhan dengan baik.
4) Ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama dan sifat Tuhan sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada di hadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas.
5) Syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi ke dalam dua tingkatan, yaitu mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang paling rendah, dan menyaksikanTuhan pada semua makhluk-Nya secara ‘Ainul yaqin. Ini adalah yang paling tinggi.
6) Shiddiqiyah, istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ain al-yaqin, sampai haqul yaqin. Menurut Al-Jili seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddik akan meyaksikan hal-hal yang ghaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat dari-Nya.
7) Qurbah, Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seseorang dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Demikianlah, maqam-maqam yang dirumuskan Al-Jili dalam upaya dekat kepada Tuhan. Namun, satu hal yang kita ketahui bahwa Al-Jili mengatakan, “Mengetahui dzat yang Maha Tinggi itu secara kasyaf ilahi, yaitu kamu di hadapan-Nya dan dia di hadapanmu tanpa hulul dan ittihad, sebab hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya. Dengan pernyataan ini, kita pahami bahwa sungguhpun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia tetap tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama-Nya.
3. Ibnu Sab’in
a. Biografi Ibn Sab’in
Nama lengkapnya adalah Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad bin Nashr. Ia termasuk kelompok sufi yang juga filsuf dari Andalusia. Ia terkenal di Eropa karena tanggapannya atas pernyataan Raja Frederik 2, penguasa Sicilia. Ibn Sab’in digelari “Quthb Ad-Din” dan terkadang dikenal pula dengan Abu Muhammad. Ibn Sab’in lahir pada tahun 614 H(1217-1218 M) dikawasan Murcia, Spanyol.
Ibn Sab’in mempunyai asal usul dari kalangan Arab. Ia mempelajari bahasa dan sastra Arab pada kelompok gurunya. Ia mempelajari ilmu agama dari Mazhab Maliki, Ilmu logika, dan filsafat. Di antara guru-gurunya adalah Ibnu Dihaq, yang dikenal dengan Ibnu Al-Mir’ah( w.611 H), pensyarah larya Al Juwaini.
Ibnu Sab’in meninggalkan karya sebanyak 41 judul, yang menguraikan tasawufnya secara teoretis maupun praktis, dengan cara yang ringkas maupun panjang lebar. Kebanyakan karyanya telah hilang, sebagian risalahnya telah disunting Abdurrahman Badawi dengan judul Rasa’il Ibnu Sab’in (1965 M).
Karya-karya itu menggambarkan bahwa pengetahuan Ibnu Sab’in cukup luas dan beragam. Ia mengenal berbagai aliran filsafat Yunani, Persia, India, dan Hermetisisme. Disamping itu, ia banyak menelaah karya-karya filsuf islam bagian timur, seperti Al- Farabi dan Ibnu Sina, dan filsuf islam bagian barat, seperti Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, dan Ibnu Rusyid. Terlebih lagi, ia begitu menguasai kandungan risalah risalah Ikhwan Ash-Shafa dan secara terperinci mengetahui aliran-aliran teologi, khususmya aliran Asy’ariyyah. Pengetahuannya tentang aliran tasawuf begitu mendalam. Ini semua tampak jelas dari kritiknya terhadap para filsuf, teolog dan sufi sebelumnya. Di samping itu, dia begitu menguasai aliran-aliran fiqh, karena ia juga seorang fakih.
a. Ajaran Tasawuf Ibn Sab’in
Ibn Sab’in adalah seorang penggagas sebuah paham dalam kalangan tasawuf Falsafi, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhana saja, wujud adalah wujud Allah semata. Wujud-wujud yang lain hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud Yang Satu. Dengan demikian, wujud dalam kenyataan hanya satu p.h, menurutnya, adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kni, dan masa depan. Sementara itu, wujud materi yang tampak justru ditujukan pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan demikian, paham ini menafsirkan wujud bercorak spiritual dan bukan material. Ibnu Sab’in terkadang menyerupakan wujud dengan lingkungan. Porosnya adalah wujud yang mutlak (luas), sementara wujud yang nisbi (sempit) berada didalam lingkaran. Sebenarnya antara kedua wujud tersbut tidak ada perbedaan sebab keduanya pada hakikatnya adalah satu. Karena itu, yang mutlak dilihat didalam yang nisbi serta kesatuan diantara keduanya adalah mutlak. Ada kalanya ia menggambarkan wujud Allah yang wajib dengan wujud yang mungkin dalam kedudukan sebagaimana materi dengan bentuk. Menurutnya, wujud hanyalah satu, tidak ada dua, apalagi banyak.
4. Ibn Masarrah
a. Biografi Ibn Masarrah
Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Abdullah Bin Masarrah (269-319 H). Ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filsuf dari Andalusia, Spanyol. Ia juga memberikan pengaruh yang besar terhadap mazhab Al-Mariyyah. Ibnu Hazm mengatakan bahwa Ibnu Masarrah memiliki kecenderungan besar terhadap filsafat. Sementara itu Mushthafa Abdul Raziq, Ibnu Masarrah termasuk sufi aliran ittihadiyyah.
Bersamaan dengan masa Ibn Masarrah, di Andalusia telah muncul tasawuf falsafi. Ia lebih banyak disebut sebut sebagai filsuf dibandingkan sufi. Namun, pandangan-padangan filfusi tertutupi oleh kezahidannya. Pada mulanya, Ibn Masarrah merupakan penganut sejati aliran mu’tazillah, tetapi ia berpaling pada mazhab Neo-platonisme. Oleh karena itu, ia dianggap mencoba menghidupkan kembali filsafat yunani kuno. Walaupun demikian, Ibn Masarrah tergolong seorang sufi yang memadukan paham sufistiknya dengan pendekatan filosofis.
b. Ajaran tasawuf Ibn Masarrah
Diantara ajaran ajaran Ibn Masarrah adalah sebagai berikut :
1. Jalan menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa, dzuhud, dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian.
2. Dengan penakwilan ala Philun atau aliran isma’iliyyah terhadap ayat ayat al-qur’an, iya menolak adanya kebangkitan jasmani.
3. Siksa neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tempat yang lebih tinggi bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Sedangkan ciri khusus tasawuf falsafi yaitu mengonsepsikan pemahaman ajarannya dengan menggabungkan antara pemkiran rasional filosofis dan perasaan (dzauq), falsafi didasarkan pada latihan-latihan rohaniah (riyadhah), falsafi memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui beberapa hakikat realitas, dan tasawuf filsafi selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas dengan berbagai simbol atau terminologi. Para tokoh Tasawuf Falsafi dalam dunia islam cukup banyak yang berpengaruh dimasyarakat, antara lain Ibn `Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in, dan Ibn Masarrah.
B. Saran
Menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menguraikan dan membukukan setiap materi tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertangung jawakan. Oleh karena itu penulis memohon kritik dan sarannya sebagai bahan evaluasi dan koreksi untuk lebih kedepan.
DAFTAR PUSTAKA
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2015
Solichin, Muchlis, Mohammad Akhlak & Tasawuf , Surabaya: Pena Salsabila 2014
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak & Tasawuf, Surabaya: Pena Salsabila, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar