Selasa, 01 Desember 2020

MAKALAH TASAWUF AKHLAKI

 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam mendekatkan diri kepada Allah, diperlukan akhlak-akhlak terpuji terlebih dahulu karena ilmu tasawuf adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin. Namun kebanyakan sekarang ini banyak sekali penulis melihat orang yang berakhlak mazmumah (tercela). Jadi, untuk itu hal utama yang harus dilakukan adalah dengan memperbaiki akhlaknya terlebih dahulu, melalui beberapa tahapan-tahapan.

Akhlak menurut bahasa berarti tingkah laku, perangai atau tabi’at. Sedangkan menurut istilah adalah pengetahuan yang menjelaskan tentang baik dan buruk. Mengatur pergaulan manusia, dan menentukan tujuan akhir usaha dan pekerjaan. Sedangkan tasawuf ialah berasal dari bahasa arab yaitu : shufa-yashufa-shafa artinya mempunyai bulu banyak. Kemudian kata itu terjadi perubahan kata kepada mazid (tambahan) 2 huruf  “Ta” dan tasdid waw, sehingga menjadi : tashufa-yashufa-tashufa. Yang artinya menjadi sufi.

Secara umum tasawuf akhlaqi ialah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Tasawuf?

2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Tasawuf?

3. Siapa sajakah Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaqi?

4. Apa Manfaat Mempelajari Tasawuf Akhlaqi?

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Akhlaqi

Taswuf akhlaki adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf bentuk ini berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (Mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (Mahmudah) didalam diri para sufi.

Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah menguasai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali. Oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap, sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:

1. Takhalli

Takhalli merupakan langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.

2. Tahalli

Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dan lain-lain. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.

Dengan demikian, tahap tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongan. Sebab, apabila satu kebiasaan telah dilepaskan, tetapi tidak segera ada penggantinya, kekosongan itu dapat menibulkan frustasi. Oleh karena itu, ketika kebiasaan lama ditinggalkan harus segera diisi dengan satu kebiasaan baru yang baik, jiwa manusia, sepeti kata Al-Ghazali, dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri.

Sikap mental dan perbuatan baik yang sangat penting disisikan ke dalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna, antara lain sebagai berikut.

a. Tobat

 Menurut Qamar Kalani dalam bukunya Fi At-Tashawwuf Al-Islam,    tobat adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati dengan disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa.

b. Cemas dan Harap (Khauf dan Raja’)

Sikap mental rasa cemas (khauf) dan harap (raja’) merupakan salah satu ajaran tasawuf yang selalu dikaitkan kepada hasan al bashri (wafat tahun 110 H) karena, secara historis memang dialah yang pertama kali memunculkan ajaran ini sebagai ciri kehidupan sufi. Menurut al bashri, yang di maksud dengan cemas atau takut adalah suatu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai kepada Allah. karena sering menyadari kekurang sempurnaannya dalam mengabdi kepada Allah, timbullah rasa takut, khawatir kalau Allah akan murka kepadannya.

c.       Zuhud

Sesuai pandangan sufi, hawa nafsu duniawilah yang menjadi sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang kepada hawa nafsu mengakibatkan keberutalan dalam mengajar kepuasan nafsunya. Dorongan jiwa yang ingin menikmati kehidupan duniawi akan menimbulkan kesenjangan antara manusia dengan Allah. Agar  terbebas dari godaan dan pengaruh hawa nafsunya, manusia harus bersikap hati-hati terhadap dunia. Ia harus zuhud terhadap dunia, yaitu meninggalkan kehidupan duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh materi.

d.       Al-Faqr

Istilah al-farq bermakna tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah di punyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental farq merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Sebab, sikap mental ini akan menghindarkan sesorang dari keserakahan.

Sikap farq selanjutnya akan memunculkan sikap wara’Wara’ menurut para sufi adalah sikap berhati hati dalam mengahadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya. Apabila bertemu dengan satu persoalan, baik yang bersifat materi maupun non materi yang tidak pasti hukumnya atau tidak jelas asal usulnya lebih baik menghindarkan atau meninggalkannya.

e.        Ash-Shabru

Salah satu mental yang fundamental bagi seorang sufi adalah sabar. Sabar diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh stabil, dan konsikuen dalam pendirian jiwanya tidak tergoyahkan pendiriannya tidak berubah bagaimanapun berat  tantangan yang dihadapi, pantang mundur dan tak kenal menyerah sikap sabar dilandasi oleh anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak (iradah) tuhan.

f.         Rida

Sikap mental rida merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Istilah ridamengandung pengertian menerima dengan lapang dada dan hati terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima serta melaksanakan ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah nasib dirinya.

g.       Muraqabah

Seorang calon sufi sejak awal sudah di ajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan Allah. Seluruh aktivitas hidupnya ditujukan untuk berada sedekat mungkin dengan-Nya. Ia sadar bahwa Allah memandangnya. Kesadaran itu membawanya pada satu sikap mawas diri atau muraqabah.

3. Tajalli

Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.

B. Sejarah Perkembangan Tasawuf

Pada mulanya, tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna institusi-institusi islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan pandangan orang terhadap ajaran islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran islam mereka dapat dipandang dari dua aspek, yaitu aspek lahiriyah (seremonial) dan aspek batiniyah (spiritual), atau aspek “luar” dan aspek “dalam”. Pendalaman dan pangalaman aspek “dalamnya” mulai terlihat sebagai hal yang lebih utama, tentunya tanpa mengabaikan aspek “luarnya” yang dimotifikasikan untuk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek “dalam”, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih mementingkan keagungan tuhan dan bebas dari egoisme.

1.    Abad ke satu dan ke dua hijriah

 Disebut pula dengan fase asketisme (zuhud).  Sikap asketisme (zuhud) ini banyak di pandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Fase asketisme ini, terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitaan dengan kehidupan diakhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka adalah Hasan Al-Bashri (meninggal pada 110 H) dan Robi’ah Al-Adawiyah (meninggal pada 185 H). Kedua tokoh ini dijuluki sebagai zahid.

2.    Abad ketiga Hijriah

 Sejak abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengaan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral di tengah kejadinya dekadensi moral yang berkembang ketika itu, sehingga di tangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan akhlak.

  Pada abad ketiga terlihat perkembangan tasaawuf yang pesat, ditandai dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang berkembang masa itu. Mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu:

a.  Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf yang berisi suatu metode yang lengkap tentang pengobatan jiwa, yang mengonsentrasikan kejiwaan manusia kepada khaliqnya, sehingga ketegangan kejiwaan akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan baik. Kenyataanya inti tasawuf ini dijadikan dasar teori oleh psikiater zaman sekarang dalam mengobati pasiennya.

b.  Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak, yaitu di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk tentang cara berbuat baik serta cara menghindarkan keburukan, yang di lengkapi dengan riwayat dari kasus yang pernah di alami oleh para sahabat nabi.

c. Tasawuf yang berintikan metafisika, yaitu di dalamnya terkandung ajaran yang melukiskan hakikat ilahi, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak, serta melukiskan sifat-sifat Tuhan, yang menjadi alamat bagi orang-orang yang akan tajalli kepada-Nya.

3.    Abad keempat hijriyah

 Abad ini di tandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan pada abad ketiga hijriyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Akibatnya, kota baghdad yang hanya satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.

 Perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak mengurangi perkembangan tasawuf di kota baghdad. Bahkan, penulisan kitab-kitab tasawuf di sana mulai bermunculan, misalnya kitab Qutubul Qultib fi Mu’amalatil Mahbub, yang diakarang oleh Abu Thalib Al-Makki (meninggal di Bahgdad tahun 386 H). Dalam pengajaran ilmu tasawuf di berbagai negeri dan kota, para ulama tersebut menggunakan sistem tarekat, sebagaimana yang dirintis oleh ulama pendaahulunya. Sistem tersebut berupa pengajaran dari seorang guru terhadap murid-muridnya yang bersifat teoritis serta bimbingan langsung mengenai cara pelaksanaannya yang disebut “suluk” dalam ajaran tasawuf.

4.    Abat kelima hijriyah

 Pada abad ke lima ini muncullah imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasar Al-Qur’an dan Assunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Disisi lain, ia melancarkan kritikal tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazalilah yang berhasil memancangkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliranAhlussunnah Wal Jama’aah dan bertentengan dengan tasawuf Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Bustami terutama mengenai soal karakter manusia. Tasawuf pada abad kelima hijriyah cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya kelandasan Al-Qur’an dan assunnah. Al- Qusyairi dan Al-harawi dipandang sebagai tokoh sufi yang paling menonjol pada abad ini yang memberi bentuk tasaawuf sunni.

5.    Abad keenam hijriyah

Sejak abad keenam hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf sunni semakin meluas keseluruh pelosok dunia islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokoh sufi yang mengembangkan tarekat-tarekat dalam rangka mendidik murid-muridnya, seperti Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (meninggal pada taahun 561 H).

 Al-Ghazali dipandang sebagai pembela taasawuf akhlaqi. Paandangan tasawufnya seiring dengan para sufi aliran pertama, para sufi abad ketiga dan keempat hijriah. Di samping itu, pandangan-pandangannya seiring dengan Al-Qusyairi dan Al-Harawi. Namun dari segi kepribadian , keluasan pengetahuan dan kedalaman tasawuf Al-Ghazali lebih besar di banding dengan semua tokoh di atas. Ia sering dikliaim sebagai seorang sufi terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khazanah tasawufan di dunia islam.

C. Tokoh – Tokoh Tasawuf Akhlaqi

Hasan Al-Bashri (21-110 H)

a. Biografi Singkat

Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabiin. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M.) dan wafat pada hari kamis bulan rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M.). Ia dilahirkan dua malam sebelum khalifah Umar bin Khaththab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.

Dialah yang mula–mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu–ilmu kebatinan, kemurnian akhlaq, dan usaha menyucikan jiwa di Mesjid Bashrah. Ajaran–ajarannya tentang kerohanian senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi. Sahabat–sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu pun mengakui kebesarannya. Bahkan, ketika ada orang datang kepada Anas bin Malik, sahabat Nabi yang utama untuk menanyakan persoalan agama, Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “bergurulah kepada Syekh ini. Saya sudah saksikan sendiri keistimewaannya. Tidak ada seorang tabiin pun menyerupai sahabat Nabi selainnya.

Karier pendidikan Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam di Bashrah secara khusus dan daerah-daerah lainnya secara umum. Tak heran pula kalau ceramah-ceramahnya dihadiri seluruh kelompok masyarakat. Di samping dikenal sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Di antara karya tulisnya berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyyah dan tafsir-tafsir Al-Quran.

 

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf

Abu Na’im Al-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut, ”Sahabat takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah.” Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya.

Lebih jauh lagi, Hamka telah mengemukakan sebagian ajaran-ajaran tasawuf Hasan Al-Basri berikut ini:

Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tenteram lebih baik daripada rasa tenteram yang menimbulkan perasaan takut.

Dunia adalah negeri tempat beramal.

Tafakur membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapa pun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ betapa pun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ betapa pun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan

Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan berapa kali ditinggalkan mati suaminya.

Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada di antara dua perasaan takut : Takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.

Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, akan kiamat yang akan menagih janjinya.

Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal saleh.

 

Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar filsafat Islam, menyatakan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Namun, lanjutnya, setelah kami teliti, ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalian dirinya yang mendasari tasawufnya itu.

Di antara ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri dan senantiasa menjadi buah bibir kaum sufi adalah :

“Anak Adam!

Dirimu, diriku!

Dirimu hanya satu,

Kalau ia binasa, binasalah engkau

Dan orang yang telah selamat tak dapat menolong mu.

Tiap-tiap nikmat yang bukan surga adalah hina.

Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka adalah mudah.

Al–Muhasibi (165–243 H)

a. Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Al–Harits bin Asad Al–Bashri Al–Baghdadi Al–Muhasibi. Tokoh sufi ini lebih dikenal dengan sebutan Al–Muhasibi. Tokoh sufi ini lebih dikenal dengan sebutan Al–Muhasibi. Ia dilahirkan di Bashrah, Irak, tahun 165 H/781 M. Dan meninggal di negara yang sama pada tahun 243 H/857 M. Ia adalah sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti tasawuf, hadis, dan fiqh. Ia merupakan figur sufi yang dikenal senang tiada menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. Ia juga sering kali mengintrospeksi diri menurut amal yang dilakukannya.

Al–Muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala menghadapi madzhab–madzhab yang dianut umat Islam, Al–Muhasibi menemukan kelompok–kelompk. Di antara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan.  Namun jumlah mereka sangat sedikit.

Al–Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat di tempuh melalui ketakwaan terhadap Allah, melaksanakan kewajiban–kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulullah. Tatkala sudah melaksanakan hal–hal di atas, menurut Al–Muhasibi, seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.

b. Ajaran – Ajaran Tasawuf

Makrifat

Al–Muhasibi menjelaskan tahapan–tahapan makrifat sebagai berikut:

a. Taat. Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat. Taat merupakan wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan ungkapan-ungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan sebagian orang. Di antara implementasi kecintaan kepada Allah memenuhi hati dengan sinar. Sinar ini kemudian melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.

b. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan  tahap makrifat selanjutnya.

c. Pada tahad ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah–khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan oleh Allah.

d. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sebagian sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.

 

2. Khauf dan Raja’

Dalam pandangan Al–Muhasibi, khauf(rasa takut) dan raja’(pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia terkesan mengaitkan kedua sifat itu dengan etika–etika keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati pula dengan dua sifat di atas, seseorang secara bersamaan disifati pula dengan sifat–sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya, adalah ketakwaan, pangkal ketakwaan, pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (muhasabat an-nafs), pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah, sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.

Khauf dan raja’ dapat dilakukan dengan sempurna hanya dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam hal ini, ia terkesan pula mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan dengan janji serta ancaman Allah. Al-Muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-Quran jelas berbicara tentang pembalasan pahala dan siksaan. Ajakan-ajakan Al-Quran pun sesungguhnya dibangun atas dasar targhib (sugesti) dan tarhib (ancaman). Al-Quran jelas pula berbicara tentang surga dan neraka.

Al-Qusairy

a. Biografi Singkat

Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriyah. Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran Sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun praktis.

Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin Hawazin, lahir tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Di sinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qusyairi selalu menghadiri majelis gurunya, dan dari gurunya itulah, Al-Qusyairi menempuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari syariat. Oleh karena itu, Al-Qusyairi lalu mempelajari fiqh pada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi (wafat tahun 405 H), dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr bin Farauk (wafat tahun 406 H). Selain itu, ia pun menjadi murid Abu Ishaq Al-Isfarayni (wafat tahun 418 H) dan menelaah banyak karya Al-Baqillani. Dari situlah, Al-Qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Al-Asy’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling tangguh aliran tersebut dalam menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassamah, dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia mendapat serangan keras dan dipenjara selama sebulan lebih atas perintah Tughul Bek karena hasutan seorang menterinya yang menganut aliran Mu’tazilah Rafidhah. Bencana yang menimpa dirinya itu, yang bermula tahun 445 H, diuraikannya dalam karyanya, Syikayah Ahl As-Sunnah. Menurut Ibnu Khalikan, Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu “mengompromikan syariat dengan hakikat,” Al-Qusyairi wafat tahun 465 H.

 

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf

Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlussunah

Seandainya karta Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah, sebagaimana pernyataannya.

“Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-prinsip tawawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlus Sunnah, yang tidak tertandingi serta mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bisa mewujudkan sifat sesuatu diadakan ketiadaaanya. Karena itu, tokoh aliran ini, Al-Junaid mengatakan bahwa tauhid adalah pemisah hal yang lama dengan hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun didasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan seperti dikatakan Abu Muhammad Al-Jariri bahwa barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu ke dalam jurang kehancurannya.”

2. Kesehatan Batin

Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan pakaian mereka ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah, lebih penting ketimbang pakaian lahiriah. Sebagaimana perkataannya,

“Duhai, saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada para sufi sezamannya). Sebab, ketika hakikat realitas-realitas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para sufi yang mengada-ada dalam berpakaian. Setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang batin itu bertentangan dengan yang lahir adalah keliru serta bukannya yang batin. Dan setiap tauhid yang tidak dibenarkan Al-Quran maupun As-Sunnah adalah pengingkaran Tuhan dan bukan tauhid; dan setiap pengenalan terhadap Allah (makrifat) yang tidak dibarengi kerendah hatian maupun kelurusan jiwa adalah palsu dan bukannya pengenalan terhadap Allah.”

3. Penyimpangan Para Sufi

Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan pedas, Al-Qusyairi mengemukakan suatu penyimpangan lain dari para sufi abad kelima Hijriyah.

“Kebanyakan para sufi menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada. Dalam bekas mereka, tidak ada yang tinggal dari kelompok tersebut, kecuali bekas-bekas mereka.” Kemah itu hanya serupa kemah mereka. Kaum wanita itu, kulihat, bukan mereka.”

Pendapat Al-Qusyairi di atas barangkali terlalu berlebihan. Namun, apa pun masalahnya, paling tidak, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan tingkah laku.

 

Al-Ghazali

a. Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Tusi al-Syafi’I; dan lebih dikenal dengan nama al-Ghazali. Dia dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di suatu kampung yang bernama Gazalah, di daerah Tus yang terletak di wilayah Khurasan.

Ayahnya, Muhammad adalah seorang penenun dan mempunyai toko tenun di kampungnya. Karena penghasilannya yang kecil, maka ia tidak dapat menutupi kebutuhan hidup keluarganya. Sungguhpun hidup sangat miskin, ayahnya itu seorang pecinta ilmu yang bercita-cita tinggi. Ia selalu berdoa, semoga Tuhan memberinya putra-putra yang berpengetahuan luas dan mempunyai ilmu yang banyak. Dan ia adalah seorang muslim yang saleh yang taat menjalankan agama. Tetapi sayang, ajalnya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan segala keinginan dan doanya tercapai. Ia meninggal sewaktu Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, masih kecil.

Selagi masih kecil, mereka dititipkan kepada seorang sufi, teman ayahnya agar bisa dididik. Karena ayahnya yang tidak berkecukupan, dan karenanya harta warisan yang ditinggalkannya untuk kedua anaknya itu tidak banyak jumlahnya, maka tidak berapa lama penerima titipan yang sufi itu lalu menyerahkan mereka ke sebuah madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Guru al-Ghazali yang utama di madrasah ini adalah Yusuf al-Nassaj, seorang sufi terkenal.

Pada masa kecilnya, al-Ghazali juga belajar pada salah seorang faqih di kota kelahirannya, yaitu Ahmad bin Muhammad al-Razakani. Lalu dia pergi ke Jurjan dan belajar pada Imam Abu Nasr al-Isma’ili. Setelah itu kemballi ke Tus dan terus pergi ke Nisapur. Di sini dia belajar pada salah seorang teolog aliran Asy’ariyah yang terkenal, Abu al-Ma’ali al-Juwaini, yang bergelar Imam al-Haramain. Tidak hanya ilmu agama yang dia pelajari di sini, tetapi juga filsafat, sehingga dia diakui dapat mengimbangi keahlian gurunya yang dihormatinya itu. Dengan tidak ragu Imam al-Haramain mengangkatnya sebagai dosen fakultas pada Universitas Nizamiyah. Bahkan dia sering menggantikan gurunya di kala gurunya berhalangan, baik untuk mewakilinya dalam memimpin maupun untuk menggantikannya dalam mengajar.

Setelah gurunya, Imam al-Haramain meninggal (478H/1085 M), al-Ghazali pindah ke Mu’askar dan menetap di sana selama kurang lebih lima tahun. Dikatakan, pindahnya al-Ghazali ke sana adalah atas permintaan Perdana Menteri Nizam al-Mulk yang sangat tertarik kepadanya. Dia diminta untuk memberikan pengajian tetap sekali dua minggu di hadapan para pembesar dan para pakar, di samping kedudukannya sebagai penasihat Perdana Menteri.

Dalam kesempatan al-Ghazali berada di Mu’askar, dia sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan di istana Perdana Menteri Nizam al-Mulk. Melalui pertemuan-pertemuan itulah, agaknya, al-Ghazali mulai muncul sebagai ulama yang berpengetahuan luas dan dalam, sehingga pada tahun 484 H/1091 M ia diangkat oleh Nizam al-Mulk menjadi Guru Besar di Universitas Nizamiyah Baghdad. Tetapi kedudukannya ini tidak lama dipegangnya meskipun dari sana keharuman namanya tersebar ke mana-mana melalui tulisan-tulisannya, baik dalam ilmu fiqh-bidang keahlian pokoknya maupun melalui tulisan-tulisannya di bidang filsafat, teologi dan lain sebagainya.

Selama periode Baghdad, al-Ghazali menderita keguncangan batin sebagai akibat dari sikap keragu-raguannya. Dalam puncak keragu-raguannya sewaktu berada di Baghdad itu, pertanyaan yang selalu membentur di hatinya adalah apakah pengetahuan yang hakiki itu, apakah ia diperoleh melalui indera atau melalui akal, ataukah dengan jalan lain. pertanyaan-pertanyaan inilah yang pada akhirnya memaksanya untuk menyelidiki kebenaran pengetahuan manusia. Pertama-tama, dia meragukan semua pengetahuan yang telah dicapai manusia pada masanya. Keraguan ini seperti diceritakannya sendiri di dalam kitabnya Al-Munqiz min al-Dalal, hampir dua bulan lamanya dan selama itu, katanya, hampir seperti kaum filosof. Tetapi untunglah akhirnya Allah SWT berkenan menyembuhkan penyakit keraguan itu. Ini terjadi, demikian pengakuan al-Ghazali, tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan, tetapi dengan nur yang diberikan Allah ke dalam kalbunya.

Al-Ghazali meninjau kembali jalan hidup yang selama ini dilaluinya. Menurutnya, dia telah tenggelam dalam samudera godaan dan rintangan. Segala pekerjaannya, termasuk mengajar yang dipandang mulia, dia tinjau sedalam-dalamnya. Jelas, katanya, dia sedang berada di jalan yang salah, dia perhatikan berbagai ilmu ynag ridak bermanfaat untuk perjalanan ke akhirat. Niat dan tujuan dalam mendidik dan mengajar, menurutnya, tidak sebenarnya ikhlas karena Allah, tetapi dicampuri oleh motivasi ingin kedudukan dan kemasyhuran. Dia, katanya, sedang berdiri di pinggir jurang yang curam, di atas tebing yang terjal, dan hampir jatuh atau jelasnya, dia nyaris jatuh ke dalam neraka dan akan segera tercampak ke dalamnya, jika tidak mau mengubah sikap.

Di antara karya al-Ghazali yang populer, yaitu; al-Munqiz min al-Dalal; Tahafut al-Falasifah; al-Iqtishad fi al-I’tiqad; al-Wajiz; Ihya’ ‘ulum ad-Din; Minhaj al-Anwar; ar-Risalah al-Lauduniyah; Bidayah al-Hidayah; al-Adab di ad-Din, Raudah at-Talibin wa Umdah as-Salikin san Kitab Arbain.

 

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf

Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunnah wal Jamah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan, sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karya nya seperti Ihya Ulum Ad-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, dan Ayuhal Walad.

Menurut Al-Ghazali, jalan tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari segala sesuatu yang selain Allah dan berhias dengan selalu mengingat Allah. Ia pun berpendapat bahwa sosok sufi adalah menempuh jalan kepada Allah, dan perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini, tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.

1. Makrifat

Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, makrifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh makrifat bersandar pada sirr, qalb, dan ruh. Selanjutnya, Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat itulah ketiganya akan menerima illuminasi dari Allah. Pada waktu itu pulalah, Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah. Disini, sampailah ia ke tingkat makrifat.

Di dalam kitab Ihya’Ulum Ad-Din, Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama dan orang arif(sufi). Untuk itu, ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa si Fulan ada di dalam rumah. Keyakinan orang awam dibangun atas dasar taklid dengan hanya mengikuti perkataan orang bahwa si Fulan ada di rumah, tanpa diselidiki lagi. Bagi ‘ulama, keyakinan adanya si Fulan di rumah dibangun atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang terdengar walaupun tidak kelihatan orangnya. Adapun orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui suara dibalik dinding. Lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si Fulan benar-benar berada di dalam rumah.

Makrifat seorang sufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si Fulan ada di dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya, makrifat menurut Al-Ghazali tidak seperti makrifat menurut orang awam maupun menurut ulama mutakallim, tetapi makrifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq ruhani dan kasyf ilahi. Makrifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawash auliya’ tanpa melalui perantara, langsung dari Allah. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun, keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah.

2. As-Sa’adah

Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Di dalam kita Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian juga, seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.

Kenikmatannya qalb sebagai alat memperoleh makrifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena makrifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan-kenikmatan yang lain. Sebagaimana perasaan dapat bertemu presiden akan lebih bangga dan senang daripada perasaan bertemu menteri. Hal ini dapat dianalogikan dengan perasaan kalau dapat berhubungan dengan Allah, Tuhan penguasa alam ini, seseorang tentunya akan lebih senang dan bangga. Inilah kesenangan dan kebahagiaan sejati yang tiada taranya.

Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Sebab, qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.

 

D. Manfaat Mempelajari Tasawuf Akhlaqi

Adapun manfaat dalam mempelajari tasawuf akhlaki sebagai berikut :

Seseorang akan dapat memperoleh posisi baik di dalam masyarakat.

Akan disenangi orang dalam pergaulan.

Akan terhindar dari hukuman yang sifatnya manusiawi dan sebagai makhluk yang diciptakan Allah.

Orang yang bertakwa dan berakhlak akan mendapatkan pertolongan dan kemudahan dalam memperoleh keluruhan kehidupan dan sebutan yang baik dalam masyarakat. Jasa seseorang yang berakhlak mendapatkan perlindungan dari segala penderitaan dan kesukaran hidup.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan:

1. Tasawuf akhlaqi ialah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan terpuji.

2. Dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak yaitu tahap Takhalli, tahap Tahalli, dan tahap Tajalli.

3. Tokoh-tokoh dari tasawuf akhlaki ini adalah Hasan Al-Bashri, Al–Muhasibi, Al-Qusairy dan Al-Ghazali.

4. Pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut, ”Sahabat takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah.”

5. Al–Muhasibi terkesan mengaitkan sifat khauf dan raja’ itu dengan etika–etika keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati pula dengan dua sifat di atas, seseorang secara bersamaan disifati pula dengan sifat–sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya, adalah ketakwaan, pangkal ketakwaan, pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (muhasabat an-nafs), pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah, sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.

6. Tasawuf pada masa Al-Qusairy mulai menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan tingkah laku.

7. Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunnah wal Jamah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Jamil. 2013. Akhlak Tasawuf. Ciputat: referensi.

M. Solihin dan Rosihon Anwar.2011. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Muzakkir. 2009. Studi Tasawuf. Bandung: Cipta Pustaka.

http://tasawufakhlaqi.blogspot.com/

http://ucikasih.blogspot.com/2013/06/normal-0-false-false-false-en-us-x-  none.html

 

 

 

 

MAKALAH TASAWUF IRFANI

 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf adalah membersihkan hati dan, berjuang meninggalkan pengaruh budi yang asal kita memadamkan sifat-sifat yang merupakan kelemahan kita, menjauhkan diri dari seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal. Dalam tasawuf Irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antar manusia tetapi juga membahas mengenai apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Hal tersebut merupakan tingkatan ikhlas yang paling tinggi karena semuanya hanya untuk Allah SWT. 

Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul untuk segenap umat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali tahnuts dan khalwat digua hira, disamping untuk mengasingkan diri dan kehidupan masyarakat Mekah yang sibuk dengan hal-hal yang menghinggapi masyarakat disekitarnya pada waktu itu.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian tasawuf irfani ?

2. Bagimana hakikat tasawuf irfani ?

3. Siapa sajakah tokoh-tokoh tasawuf irfani ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf irfani

2. Untuk mengetahui hakikat tasawuf irfani

3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf irfani

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Irfani

Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyikapi hakikat kebenaran atau makrifah diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah). Ilmu itu diperoleh karena manusia yang melakukan tasawuf berupaya melakukan tasfiyat al-qalb. Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog secara batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan atau makrifah dimasukkan Allah ke dalam hatinya, hakikat kebenaran tersingkap lewat ilham (intuisi).

Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu Irfan dan tasawuf Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, dimana perjalanan suluk (riyadha) seorang hamba kepada Allah Swt. akan meniscayakan suatu bentuk pengetahuan yang lebih hakiki daripada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan afrimasi (presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki derajat tinggi. Ajaran Irfan sudah ada bersama kehidupan manusia.

Sedangkan irfani teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud secara ontologis, mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta. Dengan demikian, ‘irfani ini menyerupai teosofi (falsafah ilahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, ‘irfani juga mendefinisikan berbagai prinsip dan problemnya. Hanya saja kalau filsafat mendasarkan argumentasinya pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfani mendasarkan diri pada ketersingkapan mistik yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa rasional untuk menjelaskan apa yang telah mereka lihat dengan mata hati dan segenap eksistensi mereka dengan menggunakan bahasa rasional.

Tokoh-tokoh yang mengembangkan tasawuf ‘irfani antara lain:

1. Rabi’ah al-Adawiyah (96 H-185 H)

2. Dzannun al-Misri (180 H- 246 H)

3. Junaid al-Bagdadi (W. 297 H)

4. Abu Yazid al-Bustami (200 H-261 H)

5. Jalaluddin Rumi, Ibnu ‘Aradi, Abu Bakar As-Ssyinili, Syekh Abu Hasan al-Khurqani, dan lainnya.

Jika seseorang tidak menginginkan akalnya hanya terbatasi oleh materi dan memandang dunia ini sebagai materi semata, begitu pula apabila ia tidak ingin melihat bahwa dunia ini hanya bersifat rasional, dan pada waktu yang sama, ia juga tidak menafikan wujud materi, sebenarnya ia telah memiliki pola pemikiran Irfani. Tidak seluruh Irfani memiliki substansi ajaran agama baik dahulu maupun sekarang.

Jika kita ingin menelaah Irfan Islam secara global, ada empat periode yang dapat kita jadikan sebagai patokan utama:

1. Dari sejak kemunculan Irfan hingga masa Hallaj dan Rabi’ah

2. Dari sejak masa Rabi’ah hingga masa Bayazid dan Abu Sa’id Abul Khair

3. Dari masa Abul Khair hingga Ibnu Arabi

4. Dari masa Ibnu Arabi hingga masa kini

B. Hakikat Tasawuf Irfani

Tasawuf Irfani membahas mengenai apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Hal tersebut merupakan tingkatan ikhlas yang paling tinggi karena semuanya hanya untuk Allah SWT. Orang yang Irfan kepada Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan). Pada awalnya Irfan adalah pengganti istilah tasawuf dalam perspektif kaum syi’i. Irfan terbagi menjadi dua bagian, yaitu Irfan Ilmi dan Irfan Amali. Irfan Ilmi bersifat teoritis, sementara Irfan Amali bersifat praktis. Menurut Murtadha Mutahari, Irfan Amali menjelaskan hubungan vertikal antara hamba dan Allah SWT. Disamping itu membahas tanggung jawab bersama terhadap dirinya sendiri dan dunia yang ada disekitarnya. Oleh karena itu, Irfan Amali lebih mirip dengan akhlak dalam tasawuf. Adapun Irfan Ilmi berhubungan dengan ontologi yang membicarakan Tuhan, dunia dan manusia.

Dalam pandangan seorang arif, kesempurnaan manusia tidaklah terletak pada gambaran mental yang utuh tentang alam semesta, tetapi terletak pada kemampuan untuk kembali kepada sumber segala sesuatu, kemampuan untuk mengatasi jarak antara dirinya dengan zat Allah dan dalam dekapan-Nya untuk meleburkan diri hingga ia menjadi abadi dalam ketakterhinggaan-Nya. Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu Irfan dan tasawuf Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, dimana perjalanan suluk (riyadha) seorang hamba kepada Allah SWT. Ajaran irfani sudah ada bersama kehidupan manusia. Jika seseorang tidak menginginkan akalnya hanya terbatasi oleh materi dan memandang dunia ini sebagai materi semata, begitu pula apabila ia tidak ingin melihat bahwa dunia ini hanya bersifat rasional, dan pada waktu yang sama ia juga tidak menafikan wujud materi, sebenarnya ia telah memiliki pola pemikiran Irfan. Tidak seluruh Irfan memiliki substansi ajaran agama, baik dahulu maupun sekarang.

Adapun beberapa bagian dari metode Irfani:

1. Riyadhah, adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya. Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh dari berbuat maksiat atau dosa.

2. Tafakur (refleksi), secara harfiyah tafakur berarti memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis, dan terperinci.

3. Tazkiyat An-Nafs. Secara harfiyah (etimologi) tazkiyat an-nafs terdiri dari dua kata, yaitu tazkiyat dan an-nafs. Kata tazkiyat berasal dari bahasa arab yakni isim mashdar dari kata zakka yang berarti penyucian. Kata an-nafs berarti jiwa dalam arti psikis. Dengan begitu dapat diketahui tazkiyat an-nafs bermakna penyucian jiwa.

4. Dzikrullah. Istilah zikr berasal dari bahsa arab , yang berarti mengisyaratkan, mengagungkan, menyebut atau mengingat-ingat. Berzikir kepada Allah berarti dzikrullah, atau mengingatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah dengan sebaik-baiknya, Tuhan yang Maha Agung dan Maha Suci. Dzikrullah adalah tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah pengalaman ruhiyah (batin).

C. Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani

1. Rabi’ah Al-Adawiyah

Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al;Adawiyah Al-Bashriyah Al;Qaisiyah. Diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M ATAU 99 H/717 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota tersebut pada tahun 185 H/801 M.

Rabi’ah Al-Adawiyah tercatat dalam perkembangan mistisme dalam Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah SWT. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa tajut dan pengharapan kepada Allah SWT. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah SWT.

Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat. Rabi;ah menaytakan doanya =, ‘Tuhanku,akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?’ Tiba – tiba terdengar suara, ‘Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.” Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Rabi’ah, yaitu hub al-hawa dan hub-anta ahl lahu, kami kutip tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qulub sebagaimana dijelaskan Badawi memberikan penafsiran bahwa makna hubb al-hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah SWT.

Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat materiil, tidak spiritual karenanya hubb di sini bersifat hubb indriawi. Walaupun demikian, hubb al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan berkurang karena bertambhanya dan berkurangnya nikmat. Sebab, Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi memandang sesuatu yang ada di balik nikmat. Adapun al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indriawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta kepada Dzat yang dicintai.

2. Dzun An-Nun Al-Misri

a. Pengertian Makrifat

Dzu An-Nun Al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M dan meninggal pada tahun 246 H/856 M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberi Allah SWT kepadanya.

Al-Misri adalah pelopor paham makrifat. Berikut pandangan Dzun An-Nun Al-Misri tentang hakikat makrifat :

1) Sesuungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mustakalimin, dan ahli balaghah, melainkan makrifat terhadap keesaam Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah SWT. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah SWT dengan hatinya sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.

2) Makrifat yang sebenarnya adalah Allah SWt, menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang murni, seperti matahari tidak dapat dilihat melainkan dengan cahayanya. Salah seorang hamba yang senantiasa mendekat kepada Allah SWT. merasa hilang darinya, lebur dalam kekuasaanya. Ia merasa sebagai hamba yang berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah SWT, pada lidah mereka, ia melihat degan penglihatan Allah SWT dan berbuat dengan perbuatan Allah SWT.

Kedua pandangan Al-Misri ini menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah SWT tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat batin, yaitu Tuhan menyinari hati, manusia, dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan-pendekatan ini, sifat rendah-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat keatas dan selanjutnya ia menyandang sifat-sifat luhur, seperti yang dimiliki Tuhan, sampai akhinrnya ia sepenuhnya hidup di dalam-Nya dan melalui dirinya.

Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam, yaitu:

1)  Pengetahuan untuk seluruh muslim

2)  Pengetahuan khusus untuk para filsuf

3)  Pengetahuan khusus untuk para wali Allah SWT

Dalam perjalanan rohani, Al-Misri mempunyai sistematika tertentu tentang jalan menuju tingkat makrifat. Dari teks-teks ajarannya, Abdu Al-Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sistematika Al-Misri sebagai berikut :

a. Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri menjawab, “ Orang yang ridak mengenal jalan menuju Allah SWT dan tidak ada usaha untuk mengenal-Nya. “

b. Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al-inabah, harus dimulai dengan meminta dengan cara ikhlas dan benar, thariq al-ihtiba’, tidak mengisyaratkan apa-apa pada seseorang. Ini urusan Allah SWT semata.

c. Di sisi lain, Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu darij dan wadil. Darij adalah orang berjalan menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah yang berjalan (melayang) di atas kekuatan makrifat.

Adapun tanda-tanda seorang arif, menurut Al-Misri adalah sebagai berikut:

a. Cahaya makrifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya.

b. Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir.

c. Banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan.

Paparan Al-Misri menunjukkan bahwa seorang arif yang sempurna selalu melaksanakan perintah Allah SWT terikat hanya kepada-Nya, senantiasa bersama-Nya dalam kondisi apapun, dan semakin dekta serta menyatu kepada-Nya.

b. Pandangan Dzu An-Nun Al-Misri tentang maqamata dan ahwal

Pandangan Al-Misri tentang maqamat adalah pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah, ash-shabr, dan ar-rida. Menurut Al-Msiri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khawas. Orang awam bertobat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan oleh al-abrar dianggap sebagai dosa oleh al-muqarrabin. Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang menagtajan bahwa tobat adalah “engkau melupakan dosamu.” Pada tahap ini orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran Tuhan dan zikir yang berkesinambungan.

Al-Misri membagi tobat menjadi tiga macam, yaitu :

1) Orang bertobat dari dosa dan keburukannya.

2) Oarang bertobat dari kelalaian dan kelafaan mengingat Tuhan.

3) Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.

Keterangan Al-Misri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk dialog yang bersumber dari sebuah riwayat. Suatu ketika, ia sedang menjenguk orang yang sedang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Misri berkata, “Tidak termasuk cinta yang benar, bila seseorang tidak sabar dalam menhadapi cobaan Tuhan.” Orang sakit itu menjawab, “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmataan dari cobaan tersebut.” Ketika kedua tangan dan haknya dibelenggu dihadapan orang banyak ia berkata, “Ini adalah salah satu pemberian Tuhan dan karunia-Nya. Semua perbuatan Tuhan merupakan nikmat dan kebaikan.”

Berkenaan dengan maqam at-tawakkal, Al-Misri mendefinisikan sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memilki daya dan kekuatan. Intinya adalah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, disertai dengan perasaan tidak memilki kekuatan. Ungkapan bahwa hilangnya daya dan kekuatan seolah-olah mengandung arti pasif atau “mati”, dikemukakan oleh Abu Ya’qub An-Nahrujuri bahwa at-tawakal adalah kematian jiwa tatkala ia kehilangan peluang baik menyangkut urudan dunia atau akhirat.

Ketika ditanya tentang ar-ridha, Al-Misri menjawab bahwa ar-rudha adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan. Berkenaan dengan ahwal, Al-Misri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan) sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-tanda orang mencintai Allah SWT adalah mengikuti kekasih-Nya, yaitu Nabi Muhammad SAW dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah, dan sunnahnya. Artinya, orang-rang yang menicntai Allah SWT senantiaa mengikuti sunnah Rasul, tidak menabaikan syariat.

3. Abu Yazid Al-Bustami

Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyab, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk agama Islam di Bustam.

Ajaran tasawufterpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar AL-Kalabadzi mendefinisikan, “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaanya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu. Pemcapaian Abu Yazid ke tahap fana/ setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah SWT.

Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkanlah diri (nafsu) mu dan kemarilah.” Abu Yazid juga pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya, “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup.”

Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya, dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf, baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah SWT. Paham ini tidak dapat dipisahkan dari paham fana’. Jika seorang sufi mengalami fana’ maka, ketika itu juga ia mengalami baqa’.

Keterkaitan antara baqa’ dan fana’ diterangkan dalam pernyataan dari Al-Qusyairi, “Barang siapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, ia sedang fana’ dari syahwatnya. Tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah,… barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan, ia sedang fana’ dari keinginannya,berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan inabahnya…

Tahapan selanjutnya yang dialami para sufi setelah melewati fase fana’ dan baqa’ adalah ittihad. Akan tetapi, dalam literatur klasik penjelasan mengenai ittihad ini tidak ditemukan. Dalam tahapan ttihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Dalam paparan Harun Nasution, ittihad adalah salah satu tingkatan seorang sufi yang telah merasa bahwa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu tingkatan ketika menicintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”. Dengan mengutip A.R. Al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang dilihat itu hanya satu wujud, atau bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dengan yang dicintai, yaitu antara seorang sufi dengan Tuhan. Dalam ittihad, “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu.” Sufi yang bersangkutan karena fana’ nya, ia tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara bahwa dirinya adalah Tuhan.

Abu Yazid yang dengan fana’ nya meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Ia berkata bahwa ia telah berada dekat dengan Tuhan. Dikisahkan bahwa, suatu ketika ada seseorang yang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintunya. Abu Yazid menanyakan siapakah yang hendak ia temui. Seseorang itu menjawab, ia hendak menemui Abu Yazid. Abu Yazid menjawabnya dengan mengelak dan mengatakan bahwa tidak ada Abu Yazid di rumah tersebut, kecuali Allah Yang Maha Kuasa, Maha Tinggi. Ucapan-ucapan Abu Yazid ini memberi kesan negatif dan terdengar seperti syirik kepada Allah SWT. Oleh karena itu, dalam sejarah para sufi, beberapa ada yang ditangkap bahkan dipenjarakan, sebab ucapannya yang membingungkan golongan awam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tasawuf irfani adalah tasawuf yang berusaha menyikapi hakikat kebenaran atau makrifah diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah).

Orang yang irfan/makrifat kepada Allah SWT adalah yang benar-benar mengenal Allah SWT melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan). Irfan terbagi menjadi dua bagian, yaitu irfan ilmi dan irfan amali. Irfan ilmi bersifat teoritis, dan irfan amali bersifat praktis.

Terdapat beberapa tokoh yang termasuk tasawuf irfani. Diantaranya Rabi’ah Al-Adawiyah yang tercatat pada perkembangan mistisme sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (muhabbah) kepada Allah SWT. Dzun An-Nun Al-Misri yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid Al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anwar, Rosihan. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Al-Aththar, Farid As-Sin. 1979. Muslim Saints and Mystics. Terj. A.J. Arberry. Routledge, and Kegal Paul.

The Encyclopedia of Islam. Leiden: E.J. Brill.

Al-Aththar, Fariduddin. 1983. Warisan Para Auliya. Bandung: Pustaka.

http://pbsbstainpamekasan.blogspot.com/2017/12/makalah-tasawuf-irfani.html?m=1. Diakses pada 12 Februari 2020. Pukul 18.00